Sumpah Pemuda : Usung Perubahan dan Atasi Kerawanan Generasi Muda
Peringatan Hari Sumpah Pemuda yang ke-95 merupakan momentum untuk mengusung perubahan yang merupakan keniscayaan. Perubahan adalah hukum alam yang terjadi setiap saat. Siapa yang tidak mengusung perubahan akan tergilas oleh zaman.
Jumlah pemuda Indonesia sesuai dengan Undang-undang tentang kepemudaan dengan rentang usia antara 16-30 tahun, menurut data BPS berjumlah 61,8 juta orang. Jumlah tersebut 24,5 persen dari total penduduk Indonesia. Sayangnya potensi demografi pemuda diatas belum dikelola dikelola dengan baik. Akibatnya semakin banyak pemuda Indonesia yang dilanda frustrasi dan terjebak dalam tindak kekerasan dan kriminalitas.
Pemuda mengalami pertarungan hidup yang sengit dan penderitaan abadi karena negara tidak mampu memberikan lapangan kerja yang layak. Apalagi pemerintah masih belum bisa memberikan wahana atau ruang kreatifitas dan akses pendidikan yang berkualitas.
Pemerintah gagal membangun karakter pemuda untuk bersaing dalam era disrupsi saat ini. Hadirnya teknologi digital mestinya menjadikan pemuda semakin kreatif dan produktif. Nyatanya tidak demikian. Teknologi baru digunakan untuk mengonsumsi konsumerisme, sedangkan untuk produktivitas masih langka.
Generasi Genzie Penuh Kerawanan
Peringatan Sumpah ke-95 diwarnai dengan kerawanan generasi Z (Genzie) yang mengalami ketergantungan berat terhadap akses internet. Aspek konektivitas tengah menjadi candu bagi generasi muda kini. Sayangnya hal tersebut belum mendongkrak produktivitas dan nilai tambah ekonomi kebanyakan pemuda. Belanja digital dikalangan generasi Z justru semakin boros namun kurang digunakan untuk hal-hal yang produktif.
Daya saing suatu bangsa ditentukan oleh sejauh mana para pemuda berkreasi dan berinovasi sesuai dengan tren dunia. Seperti yang tergambar dalam kajian lembaga pendidikan terkemuka di Amerika Serikat yakni Harvard Business. Yang menekankan pentingnya mendorong daya saing pemuda di bidang sistem inovasi dan teknologi produksi. Pada prinsipnya sistem inovasi, baik itu produk atau proses merupakan proses belajar. Agar pemuda mampu melakukan kegiatan inovatif maka harus ada upaya meningkatkan kemampuan ilmu dan teknologinya yaitu dengan memperkuat kapasitas learning.
Era ekonomi digital mestinya melahirkan generasi Z yang ideal, yang mampu lakukan konektivitas produktif, konten kreatif, kolaborasi inovasi, dan pengembangan pemikiran kontekstual. Bahkan kini Amerika Serikat telah berusaha keras untuk mengatasi dampak negatif penggunaan internet bagi generasi Z. Kerisauan terhadap dampak negatif perkembangan TIK bagi generasi bangsa tergambar dalam buku Mark Bauerlein yang pernah menjadi best seller. Yakni "The Dumbest Generation". Buku Bauerlein itu mengulas tentang pembodohan dan sifat boros anak-anak di sana akibat akses internet, games, judi online, bahkan konten pornografi yang hingga kini merajai dunia maya.