Dalam Rakernas IV PDI Perjuangan Presiden Jokowi menyarankan kepada Ganjar Pranowo nantinya begitu dilantik menjadi Presiden diharapkan langsung kerja kedaulatan pangan. Rakernas mengambil tema Kedaulatan pangan untuk Kesejahteraan Rakyat. Dalam pidatonya Ketua Umum PDIP mengkritik kebijakan pemerintah yang mengimpor gandum dan membuat ketergantungan gandum di Indonesia. Menurutnya, pemerintah seharusnya dapat mengembangkan sumber pangan lainnya sebagai substitusi.
Megawati memaparkan angka impor gandum ada di empat persen di 1970 dan melesat ke 28 persen di tahun 2022. Akibatnya, Mega memprediksi, Indonesia akan mengalami ketergantungan dan konsumsi gandum meningkat 50 persen pada 2030. Bahkan, saat ini pemerintah menerapkan bea masuk nol untuk impor gandum yang masuk ke Indonesia.
"Saya bukan anti gandum. Saya senang hamburger, mie, namun mengingat gandum tidak bisa ditanam di sini guna mengurangi ketergantungannya, bukannya kita memiliki sumber pangan lainnya," kata Mega. Dia lalu mencontohkan sumber pangan lainnya selain beras adalah Anjali, Singkong, Sorgum, Sagu, Jagung, Porang, Talas, Ubi Jalar, dan Pisang.
Volume impor gandum Indonesia yang luar biasa besarnya dalam durasi waktu puluhan tahun sejak rezim orde baru tidak bisa lepas dari politik pangan yang melibatkan supremasi importir gandum dan turunannya. Oligarki importir gandum yang telah menggurita memiliki pengaruh sangat besar dikalangan elit politik tentunya merasa geli dengan pernyataan Megawati di atas.
Mungkinkah pemerintahan baru pengganti Jokowi mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional yang berbasis sumber daya lokal dalam waktu yang singkat. Pentingnya produk substitusi pengganti gandum. Produk substitusi itu bisa dihasilkan dari tanaman umbi-umbian yang ragam jenisnya sangat banyak di negeri ini. Hal itu agar negeri ini tidak terus menerus tersandera oleh masalah produk pangan impor.
Substitusi gandum yang volumenya signifikan, bukan substitusi yang volumenya ecek-ecek atau kecil. Program substitusi gandum akan dihadang oleh kesenjangan produktivitas. Dimana produktivitas pertanian di negara maju dengan negara berkembang sangat timpang. Sistem atau pola pertanian yang ada di dunia ini dapat dibagi menjadi dua pola yang berbeda yaitu; pertama, pola pertanian di negara-negara maju yang memiliki tingkat efisiensi tinggi, dengan kapasitas produksi dan rasio output per tenaga kerja yang juga tinggi.
Kedua, pola pertanian yang tidak atau kurang berkembang yang terjadi di negara-negara berkembang. Tingkat produktivitasnya sangat rendah sehingga hasil yang diperoleh acapkali tidak dapat memenuhi kebutuhan para petaninya sendiri. Sehingga antara negara maju dan negara berkembang muncul suatu kesenjangan yang disebut sebagai kesenjangan produktivitas. Sejak tahun 2000 kesenjangan produktivitas tersebut berkisar 50 banding 1.
Pada awal pemerintahan Jokowi pernah ada program pangan lokal, tetapi program itu ditiup angin malam. Saat itu Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN-RB) mengeluarkan keputusan agar semua instansi pemerintah wajib menyajikan menu makanan dari hasil pertanian lokal. Semisal makanan berbahan dasar singkong. Ternyata program itu hanya berlangsung hitungan hari.
Mestinya program itu merupakan momentum unjuk gigi bagi pengusaha kecil makanan tradisional. Momentum tersebut juga bisa dimanfaatkan oleh pengusaha tepung singkong atau tapioka serta pengusaha pangan lokal lain seperti gula merah dan produk kelapa. Program diatas sebaiknya disertai oleh kementerian terkait lainnya dengan cara pemberian insentif kepada petani dan pengusaha tepung tapioka agar bisa meningkatkan kapasitas dan memperbarui mesin produksinya.
Keragaman pangan lokal bisa menjadi katup pengaman terjadinya krisis pangan. Masalah konsumsi gandum impor yang cenderung meningkat hendaknya diantisipasi dengan produk substitusi. Pengadaan produk substitusi itu bisa dihasilkan dari tanaman umbi-umbian yang ragam jenisnya sangat banyak di negeri ini. Hal itu agar negeri ini tidak terus menerus tersandera oleh masalah produk pangan impor. Sebenarnya banyak orang yang merindukan pangan atau makanan tradisional dan bosan dengan makanan berbasis gandum.
Masalahnya tinggal sejauh mana pemihakan pemerintah dan usaha terus menerus untuk memperbaiki mutu dan kemasan makanan tradisional sehingga lebih adaptif dengan selera pasar. Selama ini industri makanan tradisional secara nyata telah memperkuat ketahanan pangan nasional serta memberikan kontribusi yang berarti bagi ekonomi kerakyatan.
Makanan tradisional juga mewarnai wisata kuliner yang menjadi pesona berbagai daerah. Sayangnya, produsen makanan tradisional masih sarat dengan masalah. Yang paling menonjol adalah kurangnya insentif dan pembinaan sehingga berakibat rentannya perlindungan konsumen. Perhatian pemerintah daerah terhadap produsen makanan tradisional masih sebatas seremonial dan belum ada insentif yang berkelanjutan. Secara harfiah, pengertian makanan tradisional adalah makanan, minuman, dan bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah. Biasanya makanan tradisional diolah dari resep yang sudah dikenal masyarakat lokal dengan bahan-bahan yang juga diperoleh dari sumber lokal. Serta memiliki citarasa yang relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat.
Mestinya pemerintah daerah membuat program progresif yang memberikan insentif langsung kepada produsen makanan tradisional sehingga memiliki tatakelola yang baik. Masih banyak yang harus dibenahi terkait usaha pangan tradisional, seperti sistem yang efektif untuk mencegah gangguan keamanan pangan tradisional.
Pemerintah daerah harus segera memfokuskan pada insentif dan faktor keamanan makanan tradisional. Untuk itu pentingnya memperbaiki lembaga dan infrastruktur keamanan pangan hingga ke daerah. Kiprah dan eksistensi Indonesian Institute of Food Safety sebagai organisasi yang kredibel dibidang keamanan pangan harus segera ditingkatkan. Sebaiknya aktivitas lembaga diatas difokuskan kepada penyuluhan mutu dan keamanan pangan untuk industri makanan tradisional. Sehingga berbagai bahaya yang selama ini mengintai seperti bahaya mikrobiologis pada pangan, detoksifikasi aflatoksin pada proses pengolahan makanan, residu pestisida, dan cemaran logam berat yang terkandung pada bahan pangan bisa diatasi dengan baik.
Pemerintah belum optimal membantu produsen pangan tradisional yang notabene adalah UMKM untuk meningkatkan faktor hegienis, kandungan gizi dan pengemasan. Hingga kini informasi tentang komposisi gizi dan khasiat makanan tradisional belum banyak diekspos secara sistematis. Padahal, tidak jarang para wisatawan asing dan domestik yang ingin mengetahui ikwal pembuatan makanan tradisional.
Sangat disayangkan pada saat ini produsen makanan tradisional masih sering terkendala oleh bahan baku seperti tepung singkong. Kita prihatin melihat fakta bahwa negeri ini telah dibanjiri oleh tepung singkong impor. Padahal, menurut Kementerian Pertanian, Indonesia adalah produsen singkong nomor dua terbesar di dunia setelah Brasil. Pemerintah selama ini belum menggiatkan inovasi teknologi pengolah singkong.
Hingga kini usaha penepung singkong di negeri ini kurang berkembang dengan baik. Padahal tepung singkong yang berkualitas selalu mengalami pertambahan permintaan. Akibatnya, negeri ini terpaksa mengimpor tepung singkong atau tapioka dari luar negeri. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H