Selama ini perusahaan pelayaran rakyat terpaksa mempertahankan operasionalnya secara asal-asalan dan hanya memenuhi ala kadarnya berbagai ketentuan regulasi yang ada.
Selain itu perusahaan pelayaran telah didera oleh biaya perawatan dan suku cadang. Akibatnya, mereka sering melakukan kanibalisme suku cadang permesinan dan konstruksi. Kanibalisme itulah yang menyebabkan performansi daya angkut kapal semakin buruk. Daya angkut kapal yang secara teknis disebut dengan istilah deadweight ton (DWT) semakin menurun.
Tak bisa dimungkiri, angkutan laut khususnya pelayaran rakyat merupakan katalisator pertumbuhan ekonomi di pelosok Nusantara, pengembangan wilayah dan integrator bangsa. Namun, kondisi riil menyatakan bahwa sebagian besar infrastruktur tersebut dalam kondisi keropos dimakan usia.
Pemerintah jangan hanya memperhatikan infrastruktur Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) pada selat yang padat seperti halnya Selat Sunda dan Selat Bali. Sedangkan operasional ASDP di selat atau pulau terpencil lainnya dalam kondisi yang rawan. Kondisi kapal yang beroperasi untuk penyeberangan antar pelabuhan banyak yang bermasalah. Apalagi cuaca ekstrem dan gelombang pasang semakin sering terjadi.
Saatnya pemerintah memberikan insentif permodalan dan keterampilan teknis kepada usaha pelayaran rakyat. Para praktisi pelayaran rakyat mesti disadarkan dan diberi pengetahuan yang baik lewat training terkait dengan regulasi dan masalah teknis. Juga memahami berbagai konvensi yang dikeluarkan oleh The United Nations Convention on the Law of the Sea ( UNCLOS ).Yakni regulasi International Maritime Organization (IMO) yang mengatur keamanan angkutan laut, pencegahan polusi serta persyaratan, pelatihan dan pendidikan awak kapal. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H