Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

TPA Sarimukti Terbakar, Polusi Udara Ancam Warga, Kenapa Pembangkit Sampah di Bandung Terganjal?

23 Agustus 2023   15:50 Diperbarui: 23 Agustus 2023   15:57 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebakaran TPA Sarimukti Kabupaten Bandung Barat (dok  KOMPAS.com/BAGUS PUJI PANUNTUN)

TPA Sarimukti Terbakar, Polusi Udara Ancam Warga, Kenapa Pembangkit Sampah di Bandung Terganjal ?

Kawasan Bandung Raya darurat sampah dan terancam kabut asap. Memasuki hari kelima, api masih berkobar hebat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu, 23 Agustus 2023.

Sejak terbakarnya TPA Sarimukti, sampah penduduk dan industri di wilayah kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat tidak bisa diangkut. Tumpukan sampah mulai mulai menjadi problem serius. Celakanya tidak sedikit warga yang justru berinisiatif membakar sampah di lingkungannya. Karena musim kemarau ekstrim saat ini tentunya sangat mudah membakar sampah hanya dengan melempar puntung rokok. Hal ini semakin menambah polusi udara di kawasan Bandung Raya.

Gubernur, Walikota dan Bupati tampak semakin mati langkah menangani sampah di wilayah Bandung Raya. Kasus kebakaran hebat di TPA Sarimukti merupakan bukti bahwa sistem manajemen sampah sangat amburadul dan tanpa prosedur yang benar. Sampah terus menjadi masalah laten yang tidak ada solusi yang permanen. Ironisnya peraturan Presiden untuk penanganan sampah di kota besar, khususnya di Bandung dengan cara membangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah hingga kini masih terganjal tanpa sebab yang jelas. Pemprov Jabar belum mampu menjalankan perintah Presiden RI untuk menangani sampah dengan cara yang efektif dan bernilai tambah signifikan.

Sedih sekali melihat upaya petugas pemadam kebakaran yang berusaha memadamkan api di area tumpukan sampah TPA Sarimukti. Kebakaran yang terjadi sejak Sabtu 19 Agustus 2023, meluas ke beberapa sektor di lahan TPA seluas 25 hektar tersebut. Mestinya jika prosedur, metode dan teknologi yang digunakan TPA itu dilakukan dengan benar, maka kebakaran tidak membesar seperti sekarang ini dan bisa ditangani dengan cara lokalisasi kebakaran dengan cepat.

Tak kurang dari Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar, Meiki W Paendong, meminta pemerintah melakukan langkah serius memadamkan api yang membakar TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat. Meiki mempertanyakan tata kelola dan standar operasional prosedur (SOP) TPA Sarimukti dalam penanganan bencana seperti kebakaran.

Bandung yang secara geologis terletak di kawasan cekungan sebenarnya sangat riskan terhadap temperatur ekstrim dan berbagai modus polusi udara yang antara lain disebabkan oleh asap kendaraan bermotor, gas buang industri hingga gas dan partikel hasil pembakaran sampah.

Darurat sampah di Bandung yang sempat menjadi perhatian Presiden Jokowi hingga saat ini belum mendapatkan solusi jitu. Karena pemerintah daerah kesulitan mencari TPA yang ideal serta kebingungan dalam menentukan spesifikasi teknologi. Pembangunan TPA sampah di kawasan Bandung Raya yang rencananya meliputi wilayah timur dan barat tidak bisa dipaksakan asal jadi. Problem darurat sampah akibat overload TPS mestinya tidak menyebabkan jalan pintas dalam membangun TPA. Begitupun alternatif untuk membangun incinerator atau alat pembakar sampah guna mengurangi beban TPS diatas bisa menjadi langkah pemborosan serta dapat melahirkan masalah yang baru. Pasalnya alat atau instalasi yang diklaim sebagai insinerator itu dari aspek teknologi ternyata hanyalah tungku pembakaran biasa yang sangat boros BBM dan harganya kelewat mahal. Sehingga proses pembakaran sampah, utamanya sampah yang sulit diurai seperti sampah industri kimia menjadi tidak sempurna karena spesifikasi incinerator tidak terpenuhi. Yang mana idealnya setiap saat unjuk kerja incinerator terkontrol dengan suhu minimal 1000 derajat celcius. Sehingga segala jenis logam, pecahan kaca, dan plastik akan menjadi abu putih yang tidak berbahaya lagi. Namun pada kenyataannya hampir semua instalasi pembakaran sampah yang diklaim sebagai incinerator ternyata hanya sekedar tungku pembakaran biasa. Tungku itu kebanyakan hanya bersuhu kurang dari 800 derajat celcius dan tidak mampu menghancurkan pecahan kaca atau logam.

Krisis penanganan sampah di Bandung secara garis besar meliputi tiga hal, yaitu lokasi, infrastruktur, dan teknologi. Permasalahan lokasi atau yang lazim disebut TPA sampah selalu saja memicu konflik dengan warga setempat atau sekitar lokasi yang merasa dirugikan akibat polusi yang menurunkan kualitas lingkungan hidup mereka. Pada umumnya teknologi pengelolaan sampah yang diterapkan oleh pemerintah daerah hingga saat ini masih sangat memprihatinkan. Selain masih primitif, juga banyak sistem dan instalasi pengolahan sampah yang sarat dengan penyimpangan.

Selama ini penerapan prinsip Sanitary Landfill yang sebenar-benarnya di TPA Sarimukti belum diterapkan. Dimana Sanitary Landfill adalah suatu sistem pengelolaan sampah yang mengembangkan lahan cekungan dengan syarat tertentu, antara lain jenis dan porositas tanah. Dasar cekungan pada sistem ini dilapisi geotekstil. Yakni lapisan yang menyerupai plastik yang dapat mencegah peresapan lindi ( limbah cair berbahaya ) ke  dalam tanah. Diatas lapisan ini dibuat jaringan pipa yang akan mengalirkan lindi ke kolam penampungan. Lindi yang telah melalui instalasi pengolahan baru dapat dibuang ke sungai. Sistem ini juga mensyaratkan sampah diurug dengan tanah setebal 15 cm tiap kali timbunan yang mencapai ketinggian 2 meter.

 Beberapa pemerintah daerah selama ini berani mengklaim telah menerapkan sistem sanitary landfill dalam mengelola sampah. Namun pada kenyataannya sistem yang mereka gunakan tak lebih dari sekedar menumpuk sampah. Menurut para pakar dari perguruan tinggi, pada saat ini sangat jarang TPA sampah di Indonesia yang menerapkan sistem sanitary landfill dalam arti yang sebenar-benarnya. Yang mereka lakukan hanya sekedar menumpuk sampah lalu begitu saja menimbunnya ke dalam tanah. Sistem Sanitary Landfill yang sejati tentunya harus memenuhi desain teknis tertentu sehingga sampah yang dimaksudkan ke tanah tidak mencemarkan tanah dan air tanah.

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPST Bantar Gebang (sumber : PPID DKI Jakarta via Tribunjakarta.com)
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPST Bantar Gebang (sumber : PPID DKI Jakarta via Tribunjakarta.com)

Sejarah telah mencatat peristiwa tragis di tempat pembuangan sampah Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Dimana tempat pembuangan sampah telah menimbulkan malapetaka akibat ledakan gas metana yang terkandung dalam tumpukan sampah itu. Tragedi yang menewaskan 157 jiwa itu oleh pemerintah dijadikan Hari Pengelolaan Sampah Nasional (HPSN).

Mestinya hingga 2022 di Indonesia sudah dibangun 12 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang beroperasi. Dua belas pembangkit tersebut diharapkan mampu menghasilkan listrik hingga 234 Megawatt (MW) dari sekitar 16 ribu ton sampah per hari. Publik menilai pembangunan PLTSa lambat. PT PLN (Persero) pun disebut-sebut menjadi salah satu penyebab.Namun PLN berdalih pembangunan PLTSa bukan menjadi tanggungjawab PLN, tetapi dikembalikan kepada pemerintah daerah masing-masing.

Hingga kini PLN telah membeli listrik PLTSa dengan harga US$ 13,3 per kWh. Ini mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Presiden Jokowi telah mengeluarkan Kepres tentang program sampah menjadi listrik untuk tujuh kota di Tanah Air. Kota Bandung yang termasuk dalam Keppres tersebut, namun hingga kini masih belum membangun infrastruktur pembangkit listrik dari sampah.

Pembangkit sampah layaknya sebuah instalasi yang sepanjang hari ada ratusan hingga ribuan truk sampah dengan bak tertutup rapat memasuki tempat itu. Truk itu menumpahkan sampah ke conveyor yang menuju bunker bawah tanah.

Awalnya sampah yang telah didapat dikumpulkan di TPA. Kemudian dengan teknologi  Refused Derived Fuel (RDF) sampah tersebut diolah agar menjadi limbah padatan yang memiliki nilai kalor yang tinggi. Selanjutnya tungku dibakar  menggunakan minyak. Setelah suhu mencapai hingga 900 derajat celcius, barulah sampah yang telah dikumpulkan sebelumnya digunakan sebagai bahan bakar tungku tersebut. Hasil panas yang dihasilkan tungku inilah yang digunakan untuk memanaskan air dalam boiler sehingga menghasilkan uap. Kemudian uap yang dihasilkan dapat menggerakkan turbin yang terhubung dengan generator sehingga dapat menghasilkan listrik. Semua gas dari proses pembakaran dikumpulkan, disaring, dan dibersihkan dengan teknologi pengendalian pencemaran udara sebelum dilepaskan ke atmosfer. (TS)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun