Beberapa pemerintah daerah selama ini berani mengklaim telah menerapkan sistem sanitary landfill dalam mengelola sampah. Namun pada kenyataannya sistem yang mereka gunakan tak lebih dari sekedar menumpuk sampah. Menurut para pakar dari perguruan tinggi, pada saat ini sangat jarang TPA sampah di Indonesia yang menerapkan sistem sanitary landfill dalam arti yang sebenar-benarnya. Yang mereka lakukan hanya sekedar menumpuk sampah lalu begitu saja menimbunnya ke dalam tanah. Sistem Sanitary Landfill yang sejati tentunya harus memenuhi desain teknis tertentu sehingga sampah yang dimaksudkan ke tanah tidak mencemarkan tanah dan air tanah.
Sejarah telah mencatat peristiwa tragis di tempat pembuangan sampah Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Dimana tempat pembuangan sampah telah menimbulkan malapetaka akibat ledakan gas metana yang terkandung dalam tumpukan sampah itu. Tragedi yang menewaskan 157 jiwa itu oleh pemerintah dijadikan Hari Pengelolaan Sampah Nasional (HPSN).
Mestinya hingga 2022 di Indonesia sudah dibangun 12 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang beroperasi. Dua belas pembangkit tersebut diharapkan mampu menghasilkan listrik hingga 234 Megawatt (MW) dari sekitar 16 ribu ton sampah per hari. Publik menilai pembangunan PLTSa lambat. PT PLN (Persero) pun disebut-sebut menjadi salah satu penyebab.Namun PLN berdalih pembangunan PLTSa bukan menjadi tanggungjawab PLN, tetapi dikembalikan kepada pemerintah daerah masing-masing.
Hingga kini PLN telah membeli listrik PLTSa dengan harga US$ 13,3 per kWh. Ini mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Presiden Jokowi telah mengeluarkan Kepres tentang program sampah menjadi listrik untuk tujuh kota di Tanah Air. Kota Bandung yang termasuk dalam Keppres tersebut, namun hingga kini masih belum membangun infrastruktur pembangkit listrik dari sampah.
Pembangkit sampah layaknya sebuah instalasi yang sepanjang hari ada ratusan hingga ribuan truk sampah dengan bak tertutup rapat memasuki tempat itu. Truk itu menumpahkan sampah ke conveyor yang menuju bunker bawah tanah.
Awalnya sampah yang telah didapat dikumpulkan di TPA. Kemudian dengan teknologi  Refused Derived Fuel (RDF) sampah tersebut diolah agar menjadi limbah padatan yang memiliki nilai kalor yang tinggi. Selanjutnya tungku dibakar  menggunakan minyak. Setelah suhu mencapai hingga 900 derajat celcius, barulah sampah yang telah dikumpulkan sebelumnya digunakan sebagai bahan bakar tungku tersebut. Hasil panas yang dihasilkan tungku inilah yang digunakan untuk memanaskan air dalam boiler sehingga menghasilkan uap. Kemudian uap yang dihasilkan dapat menggerakkan turbin yang terhubung dengan generator sehingga dapat menghasilkan listrik. Semua gas dari proses pembakaran dikumpulkan, disaring, dan dibersihkan dengan teknologi pengendalian pencemaran udara sebelum dilepaskan ke atmosfer. (TS)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H