Setengah Hati Hilirisasi Batu Bara, Bagaimana Kelanjutan Kompor DME ?
Publik banyak mendengar tentang gembar-gembor program hilirisasi hasil tambang mineral dan batu bara (minerba). Istilah hilirisasi juga banyak disinggung dalam Sidang Tahunan MPR, DPR, dan DPD RI pada Rabu, 16 Agustus 2023. Mulai dari Presiden RI Joko Widodo, Ketua MPR, Ketua DPR semuanya menyinggung tentang program hilirisasi minerba.
Publik mempertanyakan tentang hilirisasi batu bara yang hingga saat ini masih belum terwujud. Batu bara terus di ekspor besar-besaran dalam bentuk sangat mentah, bahkan batu bara yang tergolong jenis kalori rendah juga terus dieksploitasi. Padahal di dunia sudah sangat lazim tentang teknologi hilirisasi batu bara menjadi jenis energi yang lebih bersih dan bernilai tambah tinggi. Sedang di Indonesia hingga kini batu bara diekspor mentah-mentah, dan sebagian dibakar begitu saja di berbagai PLTU di dalam negeri. Tak bisa dimungkiri, PLTU sudah pasti menyebabkan polusi udara yang luar biasa dan merusak lingkungan.
Kedaulatan energi kini menjadi persoalan seluruh bangsa di dunia. Indonesia saat ini juga tengah dihimpit oleh persoalan subsidi energi yang kian membengkak dan kurang tepat sasaran. Kondisi Indonesia kian parah karena minimnya kegiatan riset dan inovasi untuk lepas dari jerat impor energi.
Konsumsi energi di Indonesia masih didominasi oleh energi fosil (minyak bumi,gas bumi, dan batubara) sedangkan energy baru dan terbarukan (EBT) masih bersifat alternatif dan programnya masih setengah hati. Ketergantungan terhadap energi fosil menimbulkan Kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi. Minyak mentah merupakan jenis energi yang dominan di impor dengan pertumbuhan rata-rata 4.3 % per tahun seiring berjalannya program RDMP (Refinery Development Master Plan) dan GRR (Grass Root Refinery).
Sedangkan untuk gas,walaupun saat ini Indonesia masih menjadi negara pengekspor gas, namun impor gas dalam bentuk LNG dan LPG juga semakin meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan rumah tangga dan komersial serta menurunnya cadangan dan produksi gas bumi.
Kebijakan nasional untuk hilirisasi batu bara kurang totalitas. Program pemerintah yang memberikan insentif kepada perusahaan pertambangan batu bara yang menjalankan program hilirisasi kurang mendapat sambutan. Pengusaha semakin keranjingan mengekspor batu bara mentah karena harganya masih tinggi.
Pengusaha tidak mau repot-repot terlibat program hilirisasi batu-bara. padahal program hilirisasi batu bara telah digembar-gemborkan menjadi salah satu energi alternatif pengganti LPG sebagai energi rumah tangga. Kompor LPG akan bertransformasi menjadi kompor Dimethyl Ether (DME). Namun hingga kini program itu hilang begitu saja tertiup angin lalu.
Dari sisi lingkungan, penggunaan DME disebut lebih baik dibanding LPG karena mudah terurai di udara dan meminimalisir gas rumah kaca hingga 20 persen. DME adalah bahan bakar multi source dan dapat diproduksi dari banyak sumber, diantaranya dari gas alam, batubara, limbah plastik, limbah kertas,limbah pabrik gula, dan biomassa.
Karena gas karbon monoksida dan hidrogen (disebut syngas) sebagai bahan baku DME maupun metanol bisa dihasilkan dari reaksi gas metana dengan uap air, maka bisa dikatakan Indonesia memiliki potensi menjadi produsen DME terkemuka dunia karena memiliki cadangan gas alam termasuk metan yang sangat besar.
Dengan nilai kalori untuk gas hasil gasifikasi batubara sebesar 900 -- 1200 Kkal/Nm3. Hal tersebut dapat dikatakan cukup berpotensi untuk memberikan dampak emisi yang cukup tinggi. Kegiatan gasifikasi yang selama ini dilakukan oleh masyarakat secara tradisional ( gasifikasi mini ) menimbulkan permasalahan serius seperti limbah B3 dari batu bara itu sendiri.
Perlu melatih dan memperbaiki proses gasifikasi mini oleh masyarakat. Juga pengawasan kegiatan yang menggunakan gasifikasi mini ini agar sewaktu-waktu terjadi hal yang mencemari lingkungan dapat segera dilakukan langkah penyelesaian.
Â
Menimbang PLTN Gantikan PLTU
Kebijakan energi nasional perlu menimbang pembangunan PLTN. Besaran investasi pendirian satu PLTN sekitar 40 triliun rupiah. Pembangkit tersebut bisa menghasilkan daya sekitar 33 GigaWatt.Untuk sumber daya reaktor bisa menggunakan cadangan mineral berupa plutonium yang terdapat di Bangka Belitung atau menggunakan uranium yang bisa diperoleh dari Kalimantan.
Menurut Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Indonesia kedepan minimum membutuhkan pembangunan empat buah PLTN. Namun, beberapa kalangan dan pakar masih menyangsikan kemampuan dari praktisi nuklir di Indonesia untuk mengoperasikan PLTN.
Masalah efisiensi, umur operasi PLTN serta tingkat keamanan masih menjadi faktor utama resistensi. Apalagi pembangunan PLTN di Indonesia rencananya melalui skema yang sangat tergantung kepada pihak asing. Lebih mengkhawatirkan lagi sepuluh tahun pertama umur operasional PLTN konsesinya diberikan penuh kepada pihak asing. Setelah itu baru diserahkan dengan kondisi kinerja reaktor yang sudah menurun dan membutuhkan berbagai perawatan dan penggantian suku cadang. Selama ini keandalan PLTN tidak pernah mencapai 80 persen seperti yang direncanakan, tapi hanya 57 persen hingga 60 persen.
Sikap masyarakat Indonesia terkait PLTN ibarat terkena Sindrom NIMBY (Not In My Backyard), jangan bangun PLTN di dekat rumah kami. Pembangunan PLTN memerlukan dialog yang jujur dan terbuka. Karena pilihan terhadap PLTN adalah pilihan yang sulit, karena berhadapan dengan risiko tinggi.
Energi nuklir telah membawa harapan di banyak kalangan sebagai solusi untuk mengakhiri krisis energi. Efisiensi yang dihasilkan energi nuklir terbukti sangat tinggi. Penelitian membuktikan hanya dengan 360 gram uranium sudah dapat mencukupi kebutuhan listrik untuk 1.000 rumah penduduk dalam waktu satu tahun. Akan tetapi resiko kebocoran reaktor nuklir juga terbukti sangat tinggi.
Data menunjukkan perbandingan bahaya radiasi nuklir terhadap aktivitas lain yakni dengan membandingkan tingkat resiko pada bidang lain. Sebagai contoh radiasi sebesar 1 milirem radiasi hanya menurunkan harapan hidup sebesar 1,5 menit. Aktivitas lain yang mempunyai dampak mengurangi harapan hidup 1,5 menit antara lain setara dengan menyebrang jalan 4 kali atau merokok 3 kali hisapan. Dalam hal kesetaraan itu merokok satu batang sampai habis sama dengan risiko 10 mrem radiasi.
Bila polusi yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik di luar PLTN diekuivalenkan dengan besaran mrem maka perbandingan resikonya adalah polusi udara dari pembakaran batu bara 150 mrem/tahun atau Polusi udara dari bahan bakar minyak 60 mrem/tahun. Sebagai perbandingan dapat ditunjukkan bahwa pada kecelakaan Three Mile Island, radiasi yang dikeluarkan rata-rata hanya 1,25 mrem/orang.
Dari aspek lain, dampak operasi PLTN dan batubara dapat dibandingkan sebagai berikut. Dalam operasi normal PLTN, hasil pembakarannya selalu disimpan dalam teras reaktor sedangkan dalam operasi normal PLTU maka hasil pembakaran harus dikeluarkan secara terus menerus melalui cerobong yang notabene mengandung S02, NOx, dan CO2. Pembuangan S02 dan NOx ke udara merupakan polusi yang luar biasa dan menyebabkan hujan asam, sedangkan pelepasan CO2 akan menimbulkan pemanasan global. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H