Penyusunan Perpres Publisher Rights Macet, Adakah Keadilan untuk Kreator Konten ?
Harian KOMPAS edisi 17 Juli 2023 menyatakan bahwa penyusunan regulasi publisher rights yang sudah berada di tangan pemerintah masih berlarut-larut. Padahal Presiden Joko Widodo sudah berjanji dan memberi arahan bahwa perpres itu rampung dalam waktu satu bulan sejak peringatan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2023. Publik menduga kemacetan itu karena pemilik platform digital global sangat digdaya dimata pemerintahan di muka bumi ini.
Arahan Presiden itu telah ditindaklanjuti dengan mengajukan izin prakarsa melalui Kementerian Sekretariat Negara serta pembahasan bersama pemangku kepentingan mengenai materi rancangan Perpres berjudul Kerja Sama Platform Digital dan Media untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Secara garis besar isi rancangan perpres tersebut memuat substansi kewajiban kerjasama platform digital dengan perusahaan pers di Indonesia.
Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa 60 persen belanja iklan di negeri ini telah diambil platform asing. Ironisnya justru pada tahun politik sekarang ini, belanja iklan politik oleh politisi maupun partai politik lebih mempercayai platform asing sebagai media untuk marketing politik.
Sejak sepuluh tahun yang lalu dunia telah memasuki era platform, seperti yang digambarkan oleh Phil Simon penulis buku "The Age of The Platform. Yang telah mengupas bagaimana Amazon, Apple, Facebook, dan Google telah mengubah bisnis sangat revolusioner. Platform tidak mengenal batas-batas nasionalisme dan telah mendobrak paham ekonomi yang ada di dunia.
Kini siapapun bisa membuat atau membangun platform lokal untuk bisnisnya. Platform lokal semakin mudah dibuat dengan biaya yang relatif murah. Masalahnya platform lokal sebagus apapun sangat tergantung dengan bobot dan kontinuitas konten. Premis "Content is The King" masih berlaku dan semakin relevan. Ironisnya banyak media di dalam negeri yang telah membangun platform lokal justru kurang menghargai hasil karya kreator konten anak negeri.
Media mainstream yang ada saat ini, meskipun milik konglomerat yang asetnya luar biasa, namun kebanyakan perusahaan media tidak lagi memberi penghargaan terhadap konten karya anak bangsa. Salah satu contohnya kini tidak ada lagi imbalan terhadap penulis artikel, baik opini, feature, pendapat, analisa hingga cerpen di media mainstream. Padahal karya konten tersebut sudah terpilih oleh sidang redaksi dan memenuhi kriteria sebagai produk media yang menarik dan aktual.
Terpinggirnya kepentingan kreator konten oleh konglomerat media dan media pemerintah menimbulkan semacam hukum alam berupa menjauhnya publik dari platform lokal dan lebih menggandrungi platform asing. Dengan fenomena seperti diatas belanja iklan secara hukum alam juga mengalir kepada platform asing.
Tidak adanya penghargaan terhadap jam kerja, kreativitas dan buah pikir dari para kreator konten yang notabene juga tergolong citizen journalism membuat publik menyalurkan hasil karyanya ke platform asing. Apalagi media asing cukup menjanjikan dalam hal monetisasi terhadap karyanya. Selain itu publik menganggap platform asing lebih bergengsi.
Hampir semua lembaga negara hingga BUMN telah membuat platform dengan biaya yang kelewat besar. Sayangnya, sebagian besar platform tersebut tidak banyak dikunjungi orang. B Bahkan platform plat merah itu sebagian besar kekurangan konten. Begitupun dengan platform lembaga penyiaran publik (LPP), juga sepi dari pengunjung dan terjadi krisis konten yang dibutuhkan publik. Anggaran negara yang dikucurkan kepada LPP kurang menghasilkan manfaat yang signifikan. Hanya berorientasi proyek dan sekedar menghabiskan anggaran rutin saja. Akhirnya yang menjadi lembaga penyiaran publik yang "sejati" justru platform Tik Tok, Youtube, Instagram, Whatsapp dan lain-lain.
Sebaiknya rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang akan diterbitkan terkait dengan eksistensi platform asing memiliki arah yang jelas yakni pembentukan ekosistem yang ideal bagi pengembangan konten lokal. Mengingat platform merupakan ekosistem yang sangat berharga dan berpengaruh yang dapat dengan cepat dan mudah mengukur, mengubah dan menggabungkan plank atau fitur-fitur baru, pengguna, konsumen, vendor dan rekanan.
Perusahaan raksasa seperti Google dan perusahaan-perusahaan kecil hingga UMKM yang berbasis lokalitas mestinya bisa bersinergi dalam platform yang notabene merupakan model bisnis yang tidak memandang ukuran dan jenis usaha atau industri.Tak bisa dimungkiri, kini platform telah menjadi model bisnis paling penting.
Tahapan Pemilu 2024 menjadi momentum untuk mengembalikan hakikat penyiaran kepada publik. Tak bisa dimungkiri bahwa platform industri penyiaran di Indonesia kini merupakan irisan dari entitas bisnis dan elite politik. Hal itu berimplikasi terjadinya framing proses demokrasi. Fenomena seperti ini sudah diingatkan oleh beberapa ilmuwan, di antaranya Noam Chomsky dan Robert McChesney yang menyatakan bahwa konglomerasi media atau industri penyiaran bisa merusak demokrasi dan nilai-nilai kerakyatan.
Keniscayaan Lembaga penyiaran lokal mesti merangkul dan memberi penghargaan yang layak kepada kreator konten. Penyiaran lokal perlu merancang platform yang berbasis keindonesiaan. Media lokal seperti radio, televisi, koran, dan pariwara usaha, dan penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu membangun plank yang saling melengkapi yakni produk, layanan, atau komunitas yang terintegrasi dengan platform lain. Tidak ada pihak yang lebih baik dalam hal mengembangkan konten lokal kecuali masyarakat lokal itu sendiri. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H