Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dewi Perssik vs Pak RT, Potret Pranata Sosial yang Sedang Sakit

2 Juli 2023   12:02 Diperbarui: 2 Juli 2023   12:05 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dewi Perssik  ( Sumber gambar : KOMPAS.com/ANDIKA ADITIA)

Dewi Perssik vs Pak RT, Potret Pranata Sosial yang Sedang Sakit

Peristiwa Dewi Perssik (DP) yang bersitegang dengan Ketua RT karena masalah sapi kurban mendapat perhatian masyarakat luas. Berawal dari DP yang unjuk perasaan karena sapi miliknya yang akan dijadikan hewan kurban "ditolak" oleh Ketua RT tempat tinggalnya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Usaha mediasi diantara keduanya telah dilakukan oleh lembaga pemerintah dan aparat keamanan. Namun proses mediasi justru menemui jalan buntu dan gagal mewujudkan sambung rasa. Bahkan terjadi teriakan-teriakan dan suasana yang semakin memanas karena kondisi emosional membawa-bawa unsur politik hingga menyebut soal ras.

Terlepas dari siapa yang benar dan salah, perselisihan tersebut merupakan potret atau indikasi pranata sosial yang sedang sakit. Dari kacamata Sosiologi, pengertian pranata sosial adalah sistem norma dan hubungan sosial yang terorganisir dan mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

Banyak yang lupa, bahwa RT itu singkatan dari Rukun Tetangga. Semua pihak mestinya menjunjung tinggi arti rukun. Memaknai nilai-nilai kerukunan untuk menghadapi persoalan sehari-hari yang timbul di lingkungan permukiman.

Orang bijak mengemukakan peribahasa rukun agawe santosa, crah agawe bubrah yang artinya kurang lebih "rukun menjadi kuat dan sejahtera, bertengkar menimbulkan kerusakan atau perpecahan". Seluruh warga RT mestinya menghayati dan mengamalkan kerukunan tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama dan stratifikasi sosial.

Menurut DP, dari tahun ke tahun selama lima tahun terakhir dia selalu melakukan kurban di daerah tempat tinggalnya tersebut. Selama itu pula tidak pernah ada penolakan dan pertentangan. Tetapi di tahun politik sekarang ini, persoalan sepele justru membesar menjadi berita nasional yang menjadi bahan tertawaan.

Kasus yang serupa DP, tetapi tidak sama, yakni modus pertentangan antara warga dengan pengurus RT dan RW, serta antar RT dan RW banyak mewarnai republik ini sehari-harinya. Masalah bantuan sosial (bansos) paling banyak mencuatkan persoalan antara RT/RW dengan warga, juga dengan pihak kelurahan atau desa.

Eksistensi Ketua RT dan RW sering menjelma menjadi semacam jabatan politik atau penguasa permukiman. Tidak jarang pemilihan RT dan RW diwarnai dengan intrik-intrik politik yang justru membuat perpecahan warga. Orientasi menjadi Ketua RT atau RW tidak sedikit yang bersifat pragmatis hingga berbau transaksional. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan jabatan RT dan RW untuk mencari tambahan rezeki. Apalagi penyaluran bansos, jaminan sosial dan alokasi dana desa melibatkan RT dan RW sebagai ujung tombak.

Padahal menurut Undang-Undang bentuk pemerintahan terkecil adalah desa/kelurahan, namun masyarakat banyak yang salah mengerti, dikiranya RT dan RW itu merupakan bentuk birokrasi pemerintahan terkecil.

Menipisnya hakikat rukun dalam tataran RT dan RW merupakan indikasi sakitnya/rusaknya pranata sosial. Nilai kerukunan, toleransi, aksi gotong royong, dan kesetiakawanan sosial telah terkikis oleh kepentingan bisnis dan modus-modus korupssi serta pungutan liar. Jangan dikira korupsi belum merambah RT dan RW. Modus-modus korupsi yang kecil-kecil tetapi ekornya panjang justru sering terjadi. Memang masih banyak pengurus RT/RW yang bersih dari korupsi dan pungli.Namun biasanya sosok yang idealis seperti itu banyak godaannya. Sehingga mereka tidak ingin berlama-lama menjabat.

Dalam situasi sekarang ini, memang sulit mencari sosok RT dan RW yang ideal untuk segenap warga. Tarik ulur kepentingan bisnis dan kepentingan politik praktis menjadikan posisi Ketua RT dan RW menjadi dilematis.

Terkait dengan pembenahan lembaga RT dan RW, saya jadi teringat kepada Walikota Surabaya. Menurut pengamatan saya, Eri Cahyadi yang akrab disapa Cak Eri gemar membuat gebrakan terkait dengan perbaikan pelayanan publik. Gebrakannya untuk memberantas pungli dan korupsi juga menyasar lembaga di tingkat paling bawah. Tak segan-segan Cak Eri mengancam mencopot ketua Rukun Tetangga, Rukun Warga, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) yang terlibat pungutan liar. Eri menegaskan kepada seluruh ketua RT/RW dan LPMK agar mentaati Peraturan Wali Kota Nomor 112 Tahun 2022. Eri menegaskan agar ketua RT/RW dan LPMK bekerja sesuai kontrak kinerja melayani masyarakat dan bebas dari pungli ketika ada warga yang membutuhkan pelayanan.

Sikap tegas kepala daerah yang anti pungli patut diacungi jempol. Pasalnya menurut ilmu anti korupsi yang namanya pungli atau korupsi kecil-kecilan itu tidak boleh dibiarkan tumbuh subur. Karena korupsi kecil-kecilan itu memiliki ekor yang panjang atau jumlahnya bisa tumbuh banyak jika dibiarkan begitu saja. Dalam ilmu pemberantasan korupsi, pungli di tingkat bawah biasa disebut long tail corruption. Yakni kasus korupsi yang nominal atau jumlahnya relatif kecil sehingga kurang efektif bila diproses dengan prosedur hukum normal.

Selama ini pungli di tingkat bawah dibiarkan terjadi karena proses hukum untuk menangani tidak sebanding dengan beban biaya perkara yang dikeluarkan aparat dalam menyidik kasus itu.

Namun begitu, menurut hemat saya di republik ini perlu tindakan hukum yang tegas dan shock terapi untuk menghilangkan korupsi hingga di tingkat RT,RW dan desa atau kelurahan. Keniscayaan, penyaluran program penanggulangan kemiskinan memerlukan data rumah tangga sasaran (RTS) yang akurat. Sehingga data RTS yang biasa disebut data kemiskinan mikro tersebut kredibel. Pengumpulan datanya harus dilakukan secara objektif. Jangan diserahkan begitu saja pengumpulan data tersebut kepada RT dan RW. Pengumpulan data rumah tangga sasaran harus didasarkan pada kriteria rumah tangga miskin yang diperoleh dari survei kemiskinan agregat yang sangat teliti. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun