Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dewi Perssik vs Pak RT, Potret Pranata Sosial yang Sedang Sakit

2 Juli 2023   12:02 Diperbarui: 2 Juli 2023   12:05 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dewi Perssik  ( Sumber gambar : KOMPAS.com/ANDIKA ADITIA)

Menipisnya hakikat rukun dalam tataran RT dan RW merupakan indikasi sakitnya/rusaknya pranata sosial. Nilai kerukunan, toleransi, aksi gotong royong, dan kesetiakawanan sosial telah terkikis oleh kepentingan bisnis dan modus-modus korupssi serta pungutan liar. Jangan dikira korupsi belum merambah RT dan RW. Modus-modus korupsi yang kecil-kecil tetapi ekornya panjang justru sering terjadi. Memang masih banyak pengurus RT/RW yang bersih dari korupsi dan pungli.Namun biasanya sosok yang idealis seperti itu banyak godaannya. Sehingga mereka tidak ingin berlama-lama menjabat.

Dalam situasi sekarang ini, memang sulit mencari sosok RT dan RW yang ideal untuk segenap warga. Tarik ulur kepentingan bisnis dan kepentingan politik praktis menjadikan posisi Ketua RT dan RW menjadi dilematis.

Terkait dengan pembenahan lembaga RT dan RW, saya jadi teringat kepada Walikota Surabaya. Menurut pengamatan saya, Eri Cahyadi yang akrab disapa Cak Eri gemar membuat gebrakan terkait dengan perbaikan pelayanan publik. Gebrakannya untuk memberantas pungli dan korupsi juga menyasar lembaga di tingkat paling bawah. Tak segan-segan Cak Eri mengancam mencopot ketua Rukun Tetangga, Rukun Warga, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) yang terlibat pungutan liar. Eri menegaskan kepada seluruh ketua RT/RW dan LPMK agar mentaati Peraturan Wali Kota Nomor 112 Tahun 2022. Eri menegaskan agar ketua RT/RW dan LPMK bekerja sesuai kontrak kinerja melayani masyarakat dan bebas dari pungli ketika ada warga yang membutuhkan pelayanan.

Sikap tegas kepala daerah yang anti pungli patut diacungi jempol. Pasalnya menurut ilmu anti korupsi yang namanya pungli atau korupsi kecil-kecilan itu tidak boleh dibiarkan tumbuh subur. Karena korupsi kecil-kecilan itu memiliki ekor yang panjang atau jumlahnya bisa tumbuh banyak jika dibiarkan begitu saja. Dalam ilmu pemberantasan korupsi, pungli di tingkat bawah biasa disebut long tail corruption. Yakni kasus korupsi yang nominal atau jumlahnya relatif kecil sehingga kurang efektif bila diproses dengan prosedur hukum normal.

Selama ini pungli di tingkat bawah dibiarkan terjadi karena proses hukum untuk menangani tidak sebanding dengan beban biaya perkara yang dikeluarkan aparat dalam menyidik kasus itu.

Namun begitu, menurut hemat saya di republik ini perlu tindakan hukum yang tegas dan shock terapi untuk menghilangkan korupsi hingga di tingkat RT,RW dan desa atau kelurahan. Keniscayaan, penyaluran program penanggulangan kemiskinan memerlukan data rumah tangga sasaran (RTS) yang akurat. Sehingga data RTS yang biasa disebut data kemiskinan mikro tersebut kredibel. Pengumpulan datanya harus dilakukan secara objektif. Jangan diserahkan begitu saja pengumpulan data tersebut kepada RT dan RW. Pengumpulan data rumah tangga sasaran harus didasarkan pada kriteria rumah tangga miskin yang diperoleh dari survei kemiskinan agregat yang sangat teliti. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun