Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) rencananya pada medio Agustus 2023 mulai dioperasikan. Tiga bulan pertama tarifnya akan digratiskan dengan prioritas penduduk yang bertempat tinggal di dekat sepanjang rel KCJB.
Mencuat pertanyaan publik siapa penumpang yang nantinya secara intens atau teratur mau menggunakan kereta cepat. Dan faktor apa yang bisa menyebabkan publik mau berganti moda transportasi ke KCJB. Bagaimana pula peran berarti oleh pemerintah daerah yang ditempati stasiun KCJB. Karena peran pemda selama tahap pembangunan kurang signifikan. Bahkan postur pekerja terampil dan ahli kereta cepat sebagian besar bukan penduduk lokal. Hanya jenis pekerjaan seperti satpam, supir, cleaning service dan kuli yang menjadi jatah penduduk lokal.
Data di negara yang telah mengoperasikan kereta cepat menyatakan bahwa ridership atau layanan kereta cepat di negara-negara maju sering dibandingkan dengan ridership moda transportasi udara. Ridership layanan kereta cepat biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan ridership penerbangan jika waktu tempuh antara 3-4 jam. Sedangkan jika waktu tempuh di atas 4 jam, moda transportasi udara lebih tinggi tingkat penggunaannya dibandingkan dengan kereta cepat.
Sangat menarik survei yang pernah dilakukan J. H. Lee dan Chang terhadap layanan kereta cepat Korea Train Express (KTX). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan ridership yang signifikan di antara moda transportasi lainnya setelah KTX pada jalur-jalur tertentu beroperasi. Terjadi penurunan pada jumlah penumpang yang menggunakan pesawat terbang, kereta api konvensional dan kendaraan pribadi.
Bagaimana dengan koridor KCJB, mengingat letak stasiun yang telah dibangun ternyata bukan kawasan yang memiliki faktor ridership tingkat tinggi. Kita lihat saja salah satu stasiun KCJB misalnya Tegalluar, yang terletak di Kecamatan Bojongsoang yang merupakan DAS Citarum, oleh masyarakat disebut kawasan jin buang anak alias kawasan yang sangat sepi dan sejak dahulu merupakan langganan banjir bandang. Stasiun KCJB kondisinya kini di tengah sawah dan rawa yang sepi. Tidak jauh dari stasiun telah dibangun depo pemeliharaan KCJB yang letaknya lebih dekat dengan wilayah kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung.
Bagaimana cara meningkatkan faktor ridership agar stasiun Tegalluar tidak merana kesepian. Studi menunjukkan untuk bersaing dengan penerbangan, frekuensi kereta harus berangkat lebih sering, tetapi juga harus bagus tingkat okupasinya, atau hampir mengisi seluruh kapasitas kursi untuk menghasilkan pendapatan tiket yang cukup guna menutupi biaya operasional. Selain itu indeks populasi kota dan konsentrasi kegiatan ekonomi di kawasan pusat bisnis dan dekat stasiun kereta cepat merupakan penentu penting.
Melihat kondisi stasiun Tegalluar dan Padalarang, perlu strategi mengubah klaster atau jenis penumpang KCJB, dari yang rencana sebelumnya yang membidik segmen pekerja atau pebisnis menjadi penumpang yang rutin menjadi segmen wisatawan dalam negeri. Karena sulit bagi pebisnis atau pekerja yang naik KCJB dan harus sambung menyambung lagi dengan moda lain jika sampai di stasiun Padalarang maupun stasiun Tegalluar. Kondisi ini jelas tidak praktis dan buang-buang waktu. Apalagi kereta diesel (KRD) yang menjadi feeder KCJB dari stasiun Padalarang ke stasiun KA konvensional di Kota Bandung masih membutuhkan waktu dan juga menghadapi masalah laten berupa kemacetan di sekitar Stasiun Hall Bandung. Lengkap sudah potensi penderitaan bagi penumpang KCJB jika bermaksud berpacu dengan waktu. Masalah laten ini perlu segera diatasi oleh pemerintah pusat dan daerah. Begitupun kawasan-kawasan kumuh yang menempati atau menyerobot tanah Kemenhub yang ada di kanan-kiri sepanjang jalur KA Padalarang-Cimahi-Cimindi-Ciroyom-St Hall Bandung perlu dibenahi. Jangan terjadi lagi lemparan-lemparan batu ke gerbong KA yang selama ini sering terjadi dan melukai penumpang.
Satu-satunya harapan agar nantinya KCJB tidak kekurangan penumpang dan tidak bangkrut karena terlalu mahalnya nilai investasi dan terus merongrong APBN adalah mengubah segmentasi penumpang yakni untuk wisatawan dalam negeri. Segmen ini tentunya memiliki animo yang tinggi ingin menikmati sensasi wisata naik kereta cepat. Strategi untuk mengubah segmentasi penumpang KCJB dari moda angkutan penumpang saja menjadi kereta wisata membutuhkan peran pemerintah daerah untuk membangun infrastruktur wisata di dekat stasiun Tegalluar, seperti pembangunan terminal bus dan kendaraan, hotel dengan tarif yang murah serta membangun wahana wisata dan pusat industri kreatif dan kebudayaan. Selain itu Stasiun Tegalluar juga perlu dibangun infrastruktur konektivitas dengan stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) dan Masjid Agung Al Jabbar yang letaknya di seberang jalan tol, tidak jauh dari stasiun Tegalluar.
Eksistensi KCJB mendatang bisa bangkrut dan mangkrak jika terbelit masalah teknis dan non teknis. Perlu pengembangan model bisnis KCJB sesuai dengan tren dunia. Kita bisa menengok inovasi dan riset yang dilakukan oleh perusahaan KA nasional Prancis SNCF. Selama ini SNCF merupakan pusat dunia terkait dengan pengembangan kereta berkecepatan sangat tinggi. Yakni Train Grande Vitesse (TGV) yang terus menerus berinovasi membuat rekor dunia dalam hal kecepatan tempuh.
Selain aspek kecepatan, SNFC juga melakukan berbagai riset dan inovasi terkait dengan value conscious. Penelitian SNFC menyatakan pada saat ini faktor kecepatan saja tidaklah cukup untuk menjadi daya tarik. Karena itulah SNFC juga berinovasi terhadap layanan, antara lain bekerja sama dengan Disneyland untuk merancang gerbong TGV yang memiliki fasilitas pariwisata dan hiburan fantastis.
Keniscayaan, pengadaan kereta cepat yang dibeli dari luar negeri mestinya juga disertai dengan inovasi model bisnis, serta tahapan penguasaan teknologi dan industri. Serta bisa dilakukan secara mandiri oleh SDM bangsa Indonesia. Proyek kereta cepat jangan bersifat mercusuar pembangunan oleh rezim penguasa. Pembangunan dan mega proyek yang tergesa-gesa dan tanpa perencanaan yang matang menyebabkan gagal menjadi wahana transformasi teknologi dan industri. Idealnya transformasi tersebut disertai dengan tahapan-tahapan yang jelas. Yakni tahapan penguasaan teknologi kereta cepat yang didukung dengan persiapan SDM teknologi dengan berbagai spesialisasi dan kompetensinya.
Termasuk penguasaan KCJB jenis CR400AF yang merupakan hasil pengembangan tipe CRH380A oleh CRRC Qingdao Sifang China. CR400AF memiliki lebar 3,36 meter, tinggi 4,05 meter, dengan panjang kepala kereta 27,2 meter dan intermediate kereta 25 meter. CR400AF akan menempuh jarak 142,3 kilometer Jakarta-Bandung dalam waktu 36 menit untuk perjalanan langsung, hingga 46 menit dengan kondisi perjalanan berhenti di setiap stasiun. Satu rangkaian CR400AF terdiri dari 8 kereta (cars), dengan komposisi empat kereta bermotor dan empat kereta tanpa motor. Dengan komposisi ini memungkinkan kereta CR400AF memiliki kecepatan desain hingga 420 kilometer per jam dan kecepatan operasional 350 kilometer per jam. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H