Negara ASEAN mulai menerapkan interkoneksi Quick Response (QR) cross border yang diinisiasi oleh Bank Indonesia. Mulai dari Thailand, Malaysia dan segera menyusul negara lainnya. Konektivitas sistem pembayaran menuju ekonomi ASEAN yang lebih integratif membutuhkan ekosistem dan arsitektur tata kelola uang digital dengan standar internasional.
Model tata kelola keuangan digital dalam sistem pembayaran ASEAN perlu didasarkan pada teknologi yang aman, mampu mendorong pertumbuhan inklusif, bisa mewujudkan masyarakat yang tangguh dan demokratis, serta dapat memberdayakan seluruh lapisan masyarakat, termasuk yang paling rentan.
Pekerja Migran Indonesia di luar negeri, khususnya yang bekerja di kawasan ASEAN merupakan segmen yang rentan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun demikian pekerja migran memiliki potensi ekonomi yang luar biasa bagi bangsa dan kampung halamannya melalui aliran remitansi. Alangkah berdosa jika negara kurang bertanggung jawab terhadap kondisi pekerja migran, baik dari aspek kesejahteraan sosial, perlindungan hukum dan pengembangan diri.
Langkah Bank Indonesia dalam membangun platform konektivitas sistem pembayaran tentunya mempermudah para buruh migran untuk mengalirkan remitansi dan transaksi lainnya bagi diri dan keluarganya yang tinggal di desa. Aktivitas buruh migran saat ini tidak sekedar bekerja untuk majikan dan perusahaan di luar negeri, tetapi juga sangat sibuk dalam aktivitas untuk pengembangan diri melalui pendidikan dan kursus-kursus vokasional.
Hubungan antara pekerja migran dengan BI boleh dianalogikan sebagai simbiosis mutualisme . Setiap tahun pekerja migran mengalirkan dana dari luar negeri ke Indonesia (remitansi) senilai miliaran dolar AS. Remitansi turut menjaga fundamental ekonomi nasional. Setiap dolar AS yang dipasok para pekerja migran ke dalam negeri turut menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi impor (imported inflation).
Pekerja migran lebih banyak bekerja di sektor informal, seperti asisten rumah tangga atau pengasuh anak, pekerja pertanian, pekerja konstruksi, pekerja pabrik, perawat lansia, pekerja toko, restoran, atau hotel, sopir, dan pekerja kapal pesiar.
Tahun 2022 pekerja migran Indonesia menyumbang devisa 9,71 miliar dollar AS atau sekitar Rp 148,5 triliun. Angka tersebut mencapai 23 persen dari investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) di Tanah Air. Bank Indonesia mencatat, ada 3,44 juta pekerja migran Indonesia pada 2022. Jumlah tersebut meningkat 6 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 3,25 juta orang. Dari jumlah tersebut tersebut, jumlah pekerja migran Indonesia paling banyak berada di kawasan ASEAN, yakni di Malaysia dengan jumlah 1,67 juta orang. Jumlah itu setara dengan 48,1 3 persen dari total pekerja migran Indonesia hingga akhir tahun lalu. Posisinya disusul oleh Arab Saudi dengan jumlah pekerja migran Indonesia sebanyak 837.000 orang. Kemudian, jumlah pekerja migran Indonesia yang berlokasi di Hong Kong sebanyak 339.000 orang.
Bank Indonesia bersama perbankan nasional setelah sukses mewujudkan ekosistem konektivitas sistem pembayaran ASEAN perlu membuat skema atau program khusus yang bertujuan untuk membuat para buruh migran memiliki kompetensi dan proses nilai tambah diri setelah selesai kontrak kerja. Program yang pernah diselenggarakan oleh perbankan nasional antara lain yang bertajuk Mandiri University yang telah melatih kewirausahaan bagi ribuan buruh migran yang tersebar di belahan dunia perlu dilanjutkan dengan konten pembelajaran yang lebih sesuai dengan tantangan zaman. Filosofi program diatas pada prinsipnya mentransformasikan buruh menjadi majikan serta mempersatukan keluarga melalui entrepreneurship atau kewirausahaan.
Bank Indonesia perlu bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pakar sosial untuk merumuskan rekayasa sosial dan pendekatan budaya untuk mengoptimalkan aliran remitansi buruh migran agar lebih berdaya guna untuk kesejahteraan keluarga dan pembangunan desa. Sebaiknya kita belajar kepada salah satu negara yang dinilai berhasil mengembangkan model pengelolaan remitansi. Negara itu antara lain Filipina, dimana aliran remitansi di negeri itu difokuskan untuk program peningkatan human capital investment. Karena permasalahan terkait dengan buruh migran menyangkut tingkat pendidikan dan kompetensi yang memadai.
Prospek wiraswasta buruh migran saat ini mendapat perhatian serius di seluruh dunia. Saatnya bagi Indonesia untuk mendorong buruh migran dan keluarganya untuk bertransformasi menjadi pengusaha atau wirausaha. Bank Indonesia perlu mendorong terwujudnya platform otentik yang khas ketenagakerjaan Indonesia untuk mengimplementasikan berbagai macam aplikasi bidang ketenagakerjaan. Khususnya untuk pekerja migran.
Dimasa mendatang sebaiknya pekerja migran diberi buku digital kompetensi diri dan kartu angkatan kerja elektronik. Kita perlu belajar dari American Workforce Network (AWN). Adalah jaringan pekerja nasional Amerika yang tugas utamanya adalah memberikan/menyediakan informasi kepada perusahaan agar mereka dapat menemukan pekerja yang cocok; sementara sistem yang sama diharapkan dapat membantu para calon pekerja dalam mencari dan mengembangkan karir mereka. Termasuk di dalam jaringan kerja AWN adalah organisasi yang tergabung dalam berbagai badan dan organisasi nasional termasuk LSM yang mengurusi tenaga kerja. AWN adalah partner utama dari Employment Training Administration (ETA), semacam Balai Pendidikan dan Pelatihan Pekerja Departemen Tenaga Kerja Amerika.
Bank Indonesia dan pemangku kepentingan buruh migran perlu bersinergi untuk menyelenggarakan pendidikan nonformal dan difusi inovasi untuk keluarga buruh migran di desa. Penyelenggaraan pendidikan nonformal yang selama ini kurang diminati perlu dibenahi. Lembaga ditingkat kecamatan yakni PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dan SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) di tingkat kabupaten/kota sebaiknya segera ditransformasikan menjadi wahana difusi inovasi. Dalam teori sosiologi, difusi inovasi sering dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Sedang inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial itu pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Pakar sosiologi Rogers dan Shoemaker menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial.
Transformasi pendidikan non-formal menjadi wahana difusi inovasi sebaiknya dimulai dengan pembelajaran yang berhubungan dengan motivasi, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan taraf kehidupan keluarga buruh migran. Pekerja migran Indonesia perlu ditransformasikan menjadi pelaku UMKM yang tangguh di kawasan ASEAN. Sebagian besar pekerja migran ingin menggeluti UMKM jika sudah habis kontrak.
Konektivitas sistem pembayaran ASEAN merupakan momentum untuk membenahi strategi pengembangan UMKM di ASEAN, khususnya di Indonesia. Seperti kita ketahui bersama pengembangan UMKM merupakan bagian yang terintegrasi dalam penyatuan ekonomi di antara negara-negara anggota ASEAN. Berdasarkan Cetak Biru Pengembangan UMKM di ASEAN, ASEAN SME Blue Print dan ASEAN Strategic Action Plan for SME Development perlu positioning daya saing UMKM Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan menyusun strategi peningkatan daya saing.
Meskipun UMKM termasuk di dalamnya usaha skala mikro mencakup 96 persen dari keseluruhan usaha di negara-negara ASEAN, kontribusinya dalam pembentukan nilai tambah masih terbatas, UMKM berkontribusi sebesar 42 persen dari total PDB negara-negara ASEAN.
Statistik sebaran UMKM berdasarkan sektor menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM Indonesia, yaitu sekitar 48,9 persen bergerak dalam bidang usaha primer (pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan). UMKM yang bergerak dalam bidang perdagangan sekitar 28,8 persen sedangkan yang bergerak dalam industri pengolahan hanya 6,4 persen dan sisanya sekitar 2,1 persen tersebar di sektor lain.
Struktur usaha diatas relatif berbeda dengan negara lain di ASEAN yang UMKMnya kebanyakan berada di sektor perdagangan, jasa, dan industri pengolahan. Lebih dari 40 persen UMKM di Malaysia, Thailand, dan Filipina berada pada sektor jasa, bahkan untuk Malaysia jumlah UMKM yang berada pada sektor jasa mencapai 93,1 persen. UMKM di Kamboja, Laos, dan Vietnam kebanyakan berada pada sektor perdagangan dengan porsinya berturut-turut adalah 59,6 persen; 62,9 persen; dan 39,8 persen. Sementara UMKM pada sektor industri pengolahan banyak ditemui di Thailand dengan share sebesar 23,7 persen; Filipina sebesar 16,6 persen, dan Vietnam sebesar 15,7 persen. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H