Terlihat seekor Burung Blekok sedang merenung pilu di bawah salah satu menara masjid yang berdiri kokoh di tengah Embung Gedebage. Komunitas Burung Blekok yang dahulu hidup riang gembira kini cerai berai akibat pembangunan perumahan elit dan sejumlah infrastruktur bangunan seperti Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), bangunan kereta cepat, gedung pemerintahan, yang semua itu telah menimbun rawa, sawah dan ladang yang sebelumnya merupakan habitat Blekok yang sangat eksotik.
Berdirinya Masjid Al Jabar yang desainnya dibuat oleh Pak Gubernur Ridwan Kamil dilengkapi dengan danau buatan yang cukup luas, yakni Embung Gedebage. Sayangnya danau buatan itu masih terlihat kurang alami. Masih sebatas genangan air dan belum menjadi ekosistem yang serasi dan lestari.Â
Burung Blekok mengeluh kepada Kang Emil lantaran disekitar Embung Gedebage masih gundul, tidak ada tanaman tinggi yang bisa menjadi sarang Blekok. Perlu reklamasi agar situasi Embung Gedebage menjadi ruang terbuka hijau yang dipenuhi oleh tanaman keras yang tepat untuk menjadi habitat Blekok dan binatang yang lain.
Masih hangat dalam ingatan dan penglihatan penulis, bahwa danau buatan Masjid Al Jabbar itu airnya berasal dari aliran beberapa sungai kecil dari arah Gunung Manglayang yang melintasi jalur rel kereta api.Â
Sedihnya, sempadan sungai-sungai kecil itu kini banyak yang rusak, tanggul sungai banyak yang jebol. Mestinya tanggul sungai itu di reklamasi dengan metode yang lebih alami, yakni bioengineering. Sehingga di sekitar tanggul itu tumbuh tanaman besar sepanjang aliran.Â
Begitupun dengan tanggul Embung Gedebage sebaiknya juga memakai konsep di atas, hal ini bisa memperkuat tanggul, menciptakan ekosistem yang lestari dan mengembalikan ekosistem burung-burung yang dahulu menjadi kekayaan keanekaragaman hayati di Bandung Raya.
Keberadaan tanggul untuk sungai, embung, kolam retensi dan danau alami jangan dianggap sepele. Karena tanggul itu bisa menimbulkan masalah besar jika musim hujan.Â
Tanggul juga sangat berperan dalam mengatasi erosi sungai yang selama ini menggunakan metode konvensional perlu ditransformasikan menjadi metode yang ramah lingkungan yaitu dengan metode bioengineering.
Seperti metode Vegetated Rock Gabion, Live Fascine dan Brush Layering. Metode-metode ini mengkombinasikan antara perkuatan akar tanaman dengan konstruksi konvensional dalam hal ini adalah bronjong.Perlu diperhatikan jika mengeruk sedimen sungai, usahakan agar tidak menebang pohon di sekitar tanggul.Â
Tak bisa dipungkiri lagi bahwa pembuatan tanggul selama ini banyak yang asal-asalan dan tidak sesuai dengan standar kualifikasi. Saatnya penetapan garis sempadan sungai secara tegas tanpa pandang bulu, termasuk penertiban dan pembongkaran total bangunan di sempadan dan bantaran sungai dimaksudkan agar perlindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian atas sumber daya air yang ada pada sungai dapat dilaksanakan dengan baik.
Pada medio Juni ini penulis datang ke Embung Gedebage, entah kemana engkau wahai sekawanan Burung Blekok dan Kuntul sang pemilik habitat sejati. Semoga komunitasmu bisa kembali hidup gembira di sekitar embung.Â
Kini Masjid Raya Al Jabbar berdiri amat megah di tengah danau buatan. Arsitekturnya tampak seperti mengapung ketika air mencapai batas permukaan. Arti embung dan kolam retensi sangat berarti di kawasan Bandung Raya. Sangat penting untuk menjaga siklus hidrologi dan mengendalikan bencana hidrometeorologi. Bersyukur adanya masjid, namun bercampur haru dan pilu jika memandangi ekosistem.
Setiap hari penulis selama bertahun tahun berkesempatan memandang kawasan yang saat ini berubah menjadi Masjid Al Jabbar dari atas kereta api komuter KRD trayek Padalarang Bandung Cicalengka.Bunyi dan getaran kereta KRD seolah mengiringi nyanyian sabda alam di sepanjang jalan besi yang membelah kawasan Bandung Raya. Jalur KA warisan Kolonial Belanda itu telah mencatat bermacam peristiwa sejarah.
Penulis melihat sejak tahap awal pembangunan Al Jabbar dan Stadion GBLA dengan aktivitas pengerukan dan penggalian top soil atau tanah bagian atas hingga kedalaman sekitar lima meter. Seribu kali sayang, tanah pusaka Bumi Pasundan yang amat subur terlihat hitam legam dan senantiasa basah itu dibuang, entah kemana. Diganti dengan urugan tanah cadas hingga ribuan bak truk.
Tanah hitam itu sangat subur dan merupakan kerajaan berbagai jenis ikan dan belut yang terkenal memiliki rasa gurih nomor satu di negeri ini.Tanah yang subur loh jinawi itu juga menjadi habitat burung Kuntul Kerbau (Bubulcus Ibis) dan Burung Blekok Sawah (Ardeola Speciosa).
Hingga tahun 2005 dari jendela kereta komuter masih banyak terlihat Blekok dan Kuntul sedang berceloteh dan bersenda gurau. Terlihat mereka sedang berdzikir kepada Ilahi, terlihat berpencar di pinggiran sepanjang jalan baja menuju Stasiun Rancaekek. Kawasan yang dibelah oleh sungai-sungai kecil yang mengalir dari utara ke selatan.
Kini tinggal sedikit , sesekali terlihat satu atau dua Blekok dan Bangau, mereka terusir oleh deru pembangunan perumahan elite dan berbagai infrastruktur. Sedih dan pilu yang terus membiru. mengenang terusirnya sahabat alam, si Blekok dan Kuntul.
 Semoga Kang Emil segera melakukan perbaikan dan membuat habitat baru untuk Blekok dan Kuntul dengan cara menanam ribuan pohon keras di sekeliling Embung Gedebage dan sungai-sungai kecil yang mengalir di sekitarnya. Perlu cara yang ilmiah, yang melibatkan pakar-pakar Biologi dan pencinta alam untuk mengundang kembali keluarga dan kawanan Blekok dan Kuntul agar mau tinggal dan berdzikir bersama di sekitar Masjid Al Jabbar.  (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI