Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Mitigasi Kekeringan, Mestinya Tak Asal-asalan

5 Juni 2023   13:11 Diperbarui: 5 Juni 2023   17:35 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bencana kekeringan (Shutterstock)

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memproyeksikan El Nino kemungkinan mulai terjadi di Indonesia sekitar bulan Juni dan semakin intens pada bulan Agustus 2023. 

Dilain pihak Kementerian Pertanian (Kementan) berencana membentuk gugus tugas dalam menghadapi cuaca ekstrim El Nino. Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan, gugus tugas harus berbasis wilayah, sebab setiap wilayah membutuhkan penanganan yang berbeda.

Selama ini untuk mengatasi kekeringan pemerintah daerah melakukan langkah mitigasi asal-asalan. Belum ada mitigasi kekeringan yang tangguh dan sistemik. Padahal kekeringan bisa mendegradasi kualitas lingkungan dan menyebabkan krisis sosial hingga ke titik nadir. 

Kekeringan yang melanda negeri ini semakin mengenaskan karena pembangunan infrastruktur pengairan masih minim. Kebutuhan air untuk rumah tangga hingga kebutuhan ternak di berbagai daerah bisa terjadi krisis

Masalah kekeringan di negeri ini sangat ironis. Pasalnya Indonesia memiliki potensi sumber daya air nomor lima terbesar di dunia. Seharusnya pemerintah daerah tanggap dan antisipatif dengan berbagai inovasi untuk mengatasi dampak kekeringan.

Perlu kreativitas dan kapasitas inovasi daerah dalam menghadapi kekeringan. Inovasi tersebut sebaiknya searah usaha mekanisasi pertanian. Antara lain membagikan langsung hasil inovasi alat mesin pertanian (Alsintan) seperti perangkat irigasi suplemen dan pompa air ke berbagai daerah untuk mengatasi kekeringan.

Inovasi mekanisasi pertanian juga menyangkut perangkat irigasi suplemen untuk tanaman, yakni teknologi yang diperlukan sebagai pelengkap apabila curah hujan tidak mencukupi untuk mengkompensasikan kehilangan air tanaman yang disebabkan oleh evapotranspirasi. Irigasi suplemen bertujuan untuk memberikan air yang dibutuhkan tanaman pada waktu, volume dan interval yang tepat.

Pemerintah telah membentuk Dewan Sumber Daya Air (DSDA) lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2017. Sayangnya, lembaga yang menangani permasalahan air dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden kini fungsinya belum efektif dan stagnan kegiatan lapangan untuk mengatasi kekeringan. 

Mestinya dewan air mampu menjalankan mitigasi kekeringan yang baik, menyangkut hal teknis pengairan untuk usaha pertanian, air baku rumah tangga maupun program sosial untuk menghadapi dampak kekeringan.

Kini seluruh bangsa di dunia menaruh perhatian besar terhadap pengadaan air baku untuk kebutuhan rumah tangga dan sistem irigasi pertanian dengan menerapkan inovasi teknologi yang sesuai dengan tajuk revolusi Industri 4.0. 

Seperti misalnya penerapan irigasi pertanian sistem tetes yang dilengkapi dengan aplikasi spasial atau sistem informasi geografis dan berbagai sensor yang dikendalikan secara digital.

Kekeringan merupakan fenomena alam yang menyangkut neraca air antara inflow dan outflow atau antara presipitasi dan evapotranspirasi. Kekeringan hendaknya jangan hanya dilihat sebagai fenomena fisik cuaca saja, tetapi harus disikapi sebagai fenomena alam yang terkait erat dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap air. Oleh sebab itu perlu mitigasi dan manajemen yang mengedepankan solusi teknologi dan daya inovasi daerah.

Mitigasi kekeringan mestinya dikoordinasi oleh DSDA. Perlu mencontoh program mitigasi dari National Drought Mitigation Center (NDMC) Amerika Serikat. Misi lembaga itu adalah mengkaji secara ilmiah dari berbagai disiplin ilmu terkait dengan kekeringan. 

Kemudian berkoordinasi dengan eselon atau kementerian terkait, seperti kementerian pekerjaan umum, pertanian, sosial, dan pemerintah daerah lalu melaksanakan aksi nyata untuk mengurangi kerawanan akibat kekeringan dengan berbagai solusi yang menekankan hasil inovasi.

Perlu digarisbawahi, Amerika Serikat yang merupakan negara maju dengan kondisi infrastruktur pengairan yang sudah bagus, tetapi data menunjukkan bahwa setiap tahunnya 15 persen dari wilayah negara maju itu masih mengalami kekeringan yang parah. Kekeringan tersebut memicu kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan banyak korban jiwa.

Tidak banyak yang menyadari bahwa planet bumi telah mengalami degradasi atau penurunan kemampuan irigasi pertanian. Degradasi yang lebih parah lagi justru terjadi di Indonesia yang notabene merupakan negara agraris. Degradasi tersebut menyebabkan penurunan produksi pangan atau biji bijian.

Muka air tanah di negara negara produsen pangan besar seperti Cina, India, dan Amerika Serikat menurun setiap tahun. Misalnya, di Cina bagian utara setiap tahun terjadi penurunan air tanah yang sangat signifikan. 

Kondisi di atas menyebabkan penurunan kemampuan irigasi pada wilayah pertanian yang banyak menggunakan pompa air tanah. Bersamaan dengan penurunan muka air tanah adalah peningkatan temperatur udara.

Para ahli ekologi tanaman menyatakan bahwa setiap peningkatan temperatur satu derajat celcius bisa menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan seperti gandum, padi, dan jagung sebesar 10 persen. Sekedar catatan, selama tiga dasawarsa terakhir temperatur rata rata permukaan bumi meningkat sebesar 0,7 derajat celcius.

Kegiatan riset dan inovasi untuk mengatasi kekeringan telah menjadi perhatian dunia. Kegiatan riset itu salah satunya dilakukan oleh MIT School of Engineering bekerja sama dengan Pontifical University of Chile yang melakukan penelitian di Gurun Atacama yang dikenal sebagai salah satu daerah terkering di bumi.

Dalam riset tersebut dibuat semacam jala yang ditempatkan di dataran tinggi yang terselimuti kabut. Jala yang dibentangkan tersebut bisa mengumpulkan kabut lalu mengubahnya menjadi air yang bisa dimanfaatkan sebagai air minum maupun untuk mengairi lahan pertanian. Teknologi yang diterapkan dalam menjala air itu merupakan teknologi biomimicry. 

Teknologi itu ditemukan oleh Gareth McKinley, Professor Mechanical Engineering MIT yang terinspirasi dari Kumbang Namib yang merupakan serangga yang hidup di daerah kering. Kumbang Namib memiliki mekanisme untuk mengumpulkan kabut sebagai upaya memenuhi kebutuhan airnya.

Meskipun 75 persen Planet Bumi tertutup oleh air, banyak negara di seluruh dunia mengalami kekurangan pasokan air tawar. Banyak air di laut, tetapi mengubah air laut yang berkandungan garam menjadi air tawar atau desalinasi selama ini sangat mahal.

Karena sumber air tawar semakin berkurang, warga dunia dipaksa berpikir keras untuk berinovasi guna menemukan cara desalinasi yang lebih murah. Arah inovasi untuk mengubah air laut menjadi tawar pada prinsipnya ada dua metode dasar. Yakni destilasi melalui penguapan dan desalinasi dengan penyaringan melalui membran khusus yang menghalangi molekul garam lewat. 

Desalinasi dengan saringan telah mencapai hasil yang memuaskan berkat inovasi saringan polimer yang memiliki stabilitas kimia dan mekanis yang lebih baik.

Kini teknologi desalinasi sudah berhasil menghemat biaya karena prosesnya lebih sederhana, dan lebih sedikit bahan kimia digunakan dalam menjalankan prosesnya. 

Menurut Asosiasi Desalinasi Internasional, ada lebih dari 19.000 pabrik atau instalasi desalinasi di seluruh dunia yang mampu memproses lebih dari 92 juta ton air setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun