Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajah di Balik Masker (1)

26 Juni 2020   10:48 Diperbarui: 26 Juni 2020   10:41 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Oh... begitu. Nampaknya kamu kesandung lagi. Dikhianati orang di sekitar yang datang dengan wajah memelas. Tanpa daya. Hemmm..."

Desta menatap wajah kakak perempuannya sambil menggelengkan kepala. 

***

Santi mendengar penuh perhatian penjelasan teman-teman. Ini persoalan serius yang tak bisa dibiarkan. Sejak semula memang ia tak sejalan dengan orang di balik kabut yang mereka bicarakan. Gaya dan cara yang berulang. Tak ada rasa bersalah dan selalu mencari kambing hitam. 

Orang sama, pola sama. Nuansa beda tak mengapa. Bak sutradara kawakan, skenario bisa dibuat dadakan. Tak hanya tahu bulat yang bisa. 

Improvisasi sambil jalan ke ladang gembala. Si Congek  dan si Hitam di-setting hidup berdampingan dengan damai. Dan... keduanya berevolusi jadi domba aduan. 

"Wah... hebat nian sang Sutradara", gumam Santi. 

Agar jalan cerita nampak   alamiahdan mengalir, Si Congek hadir dengan beragam rupa. Berbalut busana kekinian, paling trendy. 

***

Desta orang rumahan, anak kesayangan ibu. Sebutan yang biasa didengar dari orang-orang begitu. Tak apalah. 

Memang, dari pada kelayapan tak jelas arah tujuan, mending berkutat dengan komputer atau menyalurkan hobi membuat kriya.  Atau apapun yang dapat menjadi media ekspresi batinnya. 

Ia mudah bergaul dengan semua kalangan, tapi tidak punya teman akrab atau yang spesial. Semua bisa diikuti, komunikatif dan menjaga adab. Hanya sedikit saja yang mengikuti. Entah mengapa.

Semasa SMA ia aktif di beberapa eskul. Senantiasa di depan dan lebih sering mengambil peran pendukung yang terdepan. Kecuali pada keadaan tertentu, berisiko dan penuh tantangan utamanya. Tipe petarung kata orang-orang. Tak mudah menyerah. Begitu pertarungan usai, ia kembali ke posisi awal. Tak mau berlama-lama di sisi terdepan.

Kamu terlalu vokal, idealis sejati. Ini bukan masanya! Musimnya pragmatis, hedun dan instan. Realistis kata orang-orang. Masa bodoh orang lain. 

Mau hidup, terserah. Matipun siapa peduli. Hidup matinya, urusanmu. Bukan kepentinganku. Hanya keuntungan jadi batasnya. Rugi tentu tak sudi. 

***

Malam itu, Desta dan Santi masih membincangkan reportase situasi terakhir Jakarta yang kian mencekam. Banyak korban jiwa dari para demonstran tertembus peluru tajam di sekitar Semanggi. Keduanya begitu antusias mengikuti semua sumber berita. Tapi radio dan internet tetap favorit. 

Setelah kerusuhan merembet ke Solo, mereka telah menduga akan terjadi di kotanya. Selain cerita almarhum ayah, peristiwa sebelumnya pernah mereka alami. Meski tak sebesar saat ini. 

"Mbak, tinggal nunggu ledakan. Kayaknya gak nyampe seminggu. Gimana sikap kita?", Desta ingin memastikan jawaban.

"Sok tahu kamu dik", sambil tersenyum Santi meninggalkan kamar adiknya yang acak-acakan.

Dua hari kemudian, setelah waktu shalat Maghrib, telepon rumahnya berdering keras. Santi segera mengambil gagang telepon dan mengangkatnya.

Rona wajah perempuan itu nampak sangat serius dan sedikit tegang. Lalu terdengar suara memanggil. Ibu dan sang adik mendekat, ikut mendengarkan percakapan Santi dan seorang lelaki yang suaranya sangat dikenal Desta. 

"Bagaimana Bu? Kenalan kita ingin mengungsi bersama tetangganya malam ini juga", Santi meminta ijin ibunya.

Sang ibu mengangguk tanda setuju. Begitu juga Desta. 

" Bisa Oom! Nanti Desta segera ke sana mengawal. Tunggu ya..", Santi meletakkan gagang telepon dan menyuruh Desta berangkat sekarang.

Berbekal senter, Desta berjalan cepat. Listrik di sekitar kota mati, mungkin sengaja dimatikan untuk keamanan. Dua pasang suami istri yang bertetangga itu telah menunggu kedatangannya. 

Sopir pribadi pemilik toko yang tadi menelepon membukakan pintu dan menyilakan Desta segera masuk. Ia tak banyak bicara. 

Sampai di ruangan yang nampaknya sebagai ruang makan, kedua pasangan suami istri itu nampak cemas. Oom tadi menjelaskan singkat dan segera berkemas. Lewat lorong di belakang rumah, rombongan pengungsi korban kerusuhan etnis ini sampai di rumah keluarga bekas pelajar pejuang kemerdekaan itu dengan selamat.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun