Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajah di Balik Masker (1)

26 Juni 2020   10:48 Diperbarui: 26 Juni 2020   10:41 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia mudah bergaul dengan semua kalangan, tapi tidak punya teman akrab atau yang spesial. Semua bisa diikuti, komunikatif dan menjaga adab. Hanya sedikit saja yang mengikuti. Entah mengapa.

Semasa SMA ia aktif di beberapa eskul. Senantiasa di depan dan lebih sering mengambil peran pendukung yang terdepan. Kecuali pada keadaan tertentu, berisiko dan penuh tantangan utamanya. Tipe petarung kata orang-orang. Tak mudah menyerah. Begitu pertarungan usai, ia kembali ke posisi awal. Tak mau berlama-lama di sisi terdepan.

Kamu terlalu vokal, idealis sejati. Ini bukan masanya! Musimnya pragmatis, hedun dan instan. Realistis kata orang-orang. Masa bodoh orang lain. 

Mau hidup, terserah. Matipun siapa peduli. Hidup matinya, urusanmu. Bukan kepentinganku. Hanya keuntungan jadi batasnya. Rugi tentu tak sudi. 

***

Malam itu, Desta dan Santi masih membincangkan reportase situasi terakhir Jakarta yang kian mencekam. Banyak korban jiwa dari para demonstran tertembus peluru tajam di sekitar Semanggi. Keduanya begitu antusias mengikuti semua sumber berita. Tapi radio dan internet tetap favorit. 

Setelah kerusuhan merembet ke Solo, mereka telah menduga akan terjadi di kotanya. Selain cerita almarhum ayah, peristiwa sebelumnya pernah mereka alami. Meski tak sebesar saat ini. 

"Mbak, tinggal nunggu ledakan. Kayaknya gak nyampe seminggu. Gimana sikap kita?", Desta ingin memastikan jawaban.

"Sok tahu kamu dik", sambil tersenyum Santi meninggalkan kamar adiknya yang acak-acakan.

Dua hari kemudian, setelah waktu shalat Maghrib, telepon rumahnya berdering keras. Santi segera mengambil gagang telepon dan mengangkatnya.

Rona wajah perempuan itu nampak sangat serius dan sedikit tegang. Lalu terdengar suara memanggil. Ibu dan sang adik mendekat, ikut mendengarkan percakapan Santi dan seorang lelaki yang suaranya sangat dikenal Desta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun