Atletik acapkali disebut induknya semua cabang olahraga. Ada tiga nomor utama dalam cabang ini yaitu lari, lompat dan lempar. Setiap nomor masih dapat diklasikasikan lagi menjadi sub-sub yang senantiasa menjadi cabang olimpik (dilombakan di arena Olimpiade).Â
Di nomor yang paling bergensi, lari cepat (sprint) 100m, ada nama-nama legendaris semisal Carl Lewis (USA), Ben Johnson (Canada) dan Usain Bolt  dari negeri para reggae Jamaika, yang disebut-sebut sebagai manusia tercepat di muka bumi.Â
Di Indonesia sendiri, punya beberapa nama sprinter terkenal seperti Moch. Sarengat, Purnomo, Mardi Lestari dan terakhir adalah Lalu Muhammad Zohri  yang mendapat pujian atas penampilan gemilangnya di Kejuaraan Dunia Atletik Yunior U20 di Finlandia,  11 Juli 2018 lalu sebagai pelari tercepat dan mengalungi medali emas pada nomor paling bergensi 100m.Â
Mengalahkan atlet dari Amerika Serikat, pemegang posisi pertama Yunior dunia, Anthony Schwartz (10,22 detik). Pemuda yang biasa dipanggil Jonri ini mampu menembus catatan waktu 10,18 detik.Â
Sekaligus memecahkan rekor di nomor sama yang dipegang Mardi Lestari 28 tahun sebelumnya. Â Rekor demo rekor terus dipecahkan dan mengantarkan dirinya ikut dalam ajang olahraga terakbar dunia, Olimpiade Tokyo 2020 setelah menembus limit 10,05 detik. Ia mencatatkan waktu 10,03 detik yang memecahkan rekor nasional atas namanya dan pelari sebelumnya, Suryo Agung Wibowo di arena SEA Games 2009.
Bangsa Indonesia patut bangga memiliki atlet berprestasi dunia seperti Zohri. Sebagai warganya, apakah kita tahu bahwa catatan prestasi itu tidak datang dengan tiba-tiba dan tanpa keterlibatan pihak lain?Â
Pelatih yang mengantar ke jenjang prestasi misalnya ? Atau orang-orang yang ada di balik layar dengan beragam peran dan kontribusi. Sebelum meraih sukses sebagaimana dikisahkan di atas, Zohri adalah anak kampung dari NTB (Nusa Tenggara Barat) namanya mulai mengorbit saat mengikuti Pekan Olahraga Nasional (PON) Remaja 2016 di Surabaya. Atlet yang dibina PPLP NTB ini meraih emas dan berkesempatan mengikuti berbagai ajang lari di tingkat nasional maupun internasional.Â
Kabupaten Kebumen yang senantiasa dinyatakan sebagai daerah termiskin secara statistika di Jawa Tengah sebenarnya memiliki banyak atlet potensial berprestasi melalui tangan-tangan dingin para pelatihnya yang sangat berdedikasi di cabang olahraga masing-masing. Di cabang atletik, nama Edy Suparman sangat dikenal.Â
Ia mampu mengantar banyak atlet remaja dan yunior menjadi anggota pelatda (pelatihan daerah) Jawa Tengah maupun pelatnas (pelatihan nasional). Guru olahraga (pendidikan jasmani dan kesehatan) di salah satu SD di Kecamatan Sruweng ini.
Dalam kesempatan di tengah waktu luang mengikuti Pelatihan Pelatih Olahraga oleh Koni Kabupaten Kebumen, 9 - 10 Oktober 2019 lalu, Â sempat memaparkan rasa gelisahnya. Ketika anak asuhnya yang ada di Pelatnas sedang berlibur di kampung halaman dan ingin tetap berlatih di bawah asuhannya.Â
Stadion yang pernah menjadi pasar darurat bagi Pasar Tumenggungan di masa kepemimpinan Bupati Buyar Winarso kondisinya sangat kurang terawat.Â
Selain dibuat dari lantai semen yang keras dan tidak standar, track atletik ini sepanjang pengetahuan penulis tak pernah diperbaiki dengan selayaknya setelah peruntukan yang salah kaprah dan banyak mendapat protes dari warga masyarakat itu. Apalagi kondisi lapangan sepakbolanya yang mirip arena pacuan kuada. Berdebu, bergelombang dan banyak rumput yang mengering.Â
Kondisi mengenaskan ini berbanding terbalik dengan "tuntutan prestasi" yang selalu menjadi alasan para pengambil keputusan untuk pengucuran dan besaran dana pembinaan cabang-cabang olahraga.Â
Sekadar ilustrasi, setelah adanya dua peristiwa OTT KPK atas semua petinggi Kabupaten Kebumen  (Sekretaris daerah, Bupati dan Ketua DPRD), tahun 2018 tidak ada satu senpun dana pembinaan yang dikucurkan oleh Pemerintah Kabupaten karena dialihkan untuk mengongkosi keberangkatan Kontingen Olahraga Kabupaten Kebumen ke POR Provinsi di Kota Solo.Â
Dana Hibah yang nilainya sangat kecil, berkisar 1 miliyar . Sedikit di atas Kabupaten Wonosobo yang peringkat kemiskinannya setingkat lebih baik, KONI Kabupaten Wonosobo mendapatkan kucuran dana hibah 700 jura rupiah.Â
Meski nilai nominalnya lebih kecil, mereka boleh berbangga hati dengan tambahan bonus yang nilainya setara. Sementara itu, Kabupaten Kebumen pemberian tali asih kepada para atlet berprestasi tertunda lebih dari setahun.Â
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H