Karya adi busana tematik dalam suatu karnaval, kirab atau pesta budaya menjadi trend setelah Jember sukses menyelenggarakan pertama kali pada 2001 yang terinspirasi dari arak-arakan Reyog Ponorogo di jalanan. Dari tampilan yang asal jadi kemudian dikemas dalam konsep peragaan busana oleh Dynand Fariz bertajuk Jember Fashion Carnival.
 Setelah itu, banyak kota lain meniru dengan beragam nama dan tema. Satu diantaranya adalah Kebumen sejak 2014. Dan satu tokoh di balik layar Kebumen Carnival yakni Widpraz.Â
Sebagai implementasi ciri khas atau tematik, karya-karya Widpraz yang bernilai sekitar 1 - 2 juta rupiah per busana biasa dan sekitar 25 juta untuk yang istimewa banyak diilhami oleh bahan-bahan alami seperti sabut kelapa, pandan dan sebagainya. Ia memberi contoh tema pelestarian lingkungan hidup dari aktivitas perburuan ikan dengan cara pengeboman.
Sisik ikan dimanifestasikan dengan bahan pandan atau gedebog pisang. Sedangkan bomnya dibuat dari tali pandan yang direkatkan pada bola-bola plastik mainan anak. Posisi bom menggantung seperti posisi kerah baju. Dampak kerusakan alam yang ditimbulkan oleh car
Meskipun demikian, kehadiran beragam peserta dari banyak komponen masyarakat di sekitar kota Kebumen khususnya tidak mengurangi kemeriahan para partisipan yang diundang oleh panitia.Â
Komunitas tari Cepetan dari Desa Wadasmalang Kecamatan Sadang yang berbukit padas di Utara kota Kebumen baru terangkat (kembali) ke ranah publik sekitar seperempat abad lalu. Kegigihan seorang Aris Panji Ws. , seorang pegiat budaya "garis keras" membuat tarian bernafaskan legenda ini diakui keberadaannya.Â
Cepetan dapat diartikan laksana atau gambaran imajinatif tentang cepet. Mahluk astral yang dihadirkan para orang tua untuk menakut-nakuti sang anak di waktu tertentu (sandekala) jelang matahari terbit atau terbenam.Â
Sehingga, sosok yang dihadirkan jelas menakutkan seperti nampak pada gambar di bawah ini. Konon, tarian rakyat desa Wadasmalang itu ditujukan untuk menakut-nakuti para serdadu kompeni. Layaknya sebuah legenda, cerita yang bermula dari jaman penjajahan Belanda itu ditularkan secara turun temurun.Â
Nama Melu Bae yang dicetuskan oleh mas Torro muncul di tengah kegiatan Ngamen Puisi di Gedung DPRD dan beberapa sekolah di awal pemerintahan Rustriningsih sebagai Bupati perempuan pertama di Kebumen dengan banyak atribut dan sebutan. Satu pengamen di antaranya adalah Slamet Esser.Â
 Ide paling orisinil adalah wayang kartun dengan tokoh utama Panjul dan Prenthul. Panjul adalah representasi sosok birokrat berpenampilan seniman perlente dengan topi khas. Sedangkan, Prenthul adalah sosok seniman idealis yang sering dimanfaatkan idealismenya oleh Panjul.
 Slamet Esser mengambil contoh kehidupan dirinya yang sangat sederhana sebagai pengumpul sampah warga di lingkungannya. Pedagang eceran koran dan tabloid yang kian tergerus jaman serta perajin wayang berbahan limbah kertas bekas kardus kemasan makanan.Â
Kita tinggalkan kisah dramatis pegiat seni dan budaya tradisional. Perlakuan yang diterima oleh para "Panjul" kepada seniman kontemporer dengan seabreg prestasi gemilang seperti Widpraz tak berbeda jauh. Ketika saya tanyakan soal apresiasi "Panjul" di  Kabupaten Termiskin Pertama di Provinsi Jawa Tengah , ia jawab perlakuannya lebih baik.Â
Mereka mengapresiasi karya seninya bukan sebagai produk handycraft yang cenderung berharga murah. Tapi sebagai satu karya seni berbentuk adi busana. Meskipun begitu, ia tak pernah merasa lelah jika diminta oleh mewakili tanah kelahirannya di berbagai ajang. Berperan banyak sebagai narator, ilustrator maupun penerjemah. Semua itu dilakukan dengan dasar keihlasan berkontribusi bagi kemajuan daerahnya.Â
Sebutir Takoyaki hanya dihargai Rp 1.250,- atau goceng (Rp 5.000,-) dapat 4 butir. Sementara itu, Cilur hanya dihargai seceng (Rp 1.000,-) per tusuk berisi empat biji. Menurut Trisni Priyastuti, ia memang memilih segmen pasar jajanan anak. Kemampuannya mengolah makanan berbahan dasar aci (tepung kanji atau tapioka) ia dapatkan dari pergaulan selama dirinya bekerja di Bandung. Perempuan berambut pop jaman 1980-an ini tak mau difoto.Â
Tak heran jika putrinya mengikuti jejak sang ibu bergelut di dunia kuliner. Terlebih ketika keinginannya membuka usaha yang baru berjalan sekitar empat bulan itu didukung sang suami, Sasyam. Pasangan muda ini optimis jika dagangannya akan berkembang. Seperti kebanyakan orang Jawa, mereka juga berpegang pada pesan para leluhur " Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak itu baik. Tapi yang baik pastilah yang banyak". Percakapan yang kian seru terpaksa dihentikan karena ada pesanan dalam jumlah besar yang tengah ditunggu pembeli.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H