Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pesta Budaya Kebumen dalam Bingkai Kemeriahan Cap Go Meh 2019 - [ Bagian 2, Terakhir]

21 Februari 2019   11:19 Diperbarui: 21 Februari 2019   11:29 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Drumband SMP Pius Bakti Utama Kebumen. Dokumen pribadi

Karya adi busana tematik dalam suatu karnaval, kirab atau pesta budaya menjadi trend setelah Jember sukses menyelenggarakan pertama kali pada 2001 yang terinspirasi dari arak-arakan Reyog Ponorogo di jalanan. Dari tampilan yang asal jadi kemudian dikemas dalam konsep peragaan busana oleh Dynand Fariz bertajuk Jember Fashion Carnival.

 Setelah itu, banyak kota lain meniru dengan beragam nama dan tema. Satu diantaranya adalah Kebumen sejak 2014. Dan satu tokoh di balik layar Kebumen Carnival yakni Widpraz. 

Sebagai implementasi ciri khas atau tematik, karya-karya Widpraz yang bernilai sekitar 1 - 2 juta rupiah per busana biasa dan sekitar 25 juta untuk yang istimewa banyak diilhami oleh bahan-bahan alami seperti sabut kelapa, pandan dan sebagainya. Ia memberi contoh tema pelestarian lingkungan hidup dari aktivitas perburuan ikan dengan cara pengeboman.

Sisik ikan dimanifestasikan dengan bahan pandan atau gedebog pisang. Sedangkan bomnya dibuat dari tali pandan yang direkatkan pada bola-bola plastik mainan anak. Posisi bom menggantung seperti posisi kerah baju. Dampak kerusakan alam yang ditimbulkan oleh car

Odong-odong diikutsertakan dalam Kirab Budaya Cap Go Meh 2019/2570 di Kebumen. Dokumen pribadi.
Odong-odong diikutsertakan dalam Kirab Budaya Cap Go Meh 2019/2570 di Kebumen. Dokumen pribadi.
Pada Bagian 1  telah diuraikan secara ringkas tentang kemeriahan perayaan Cap Go Meh 2019/2570 Imlek yang diselenggarakan oleh Keluarga Besar Kelenteng Khong Hwie Kiong Kebumen. Atraksi barongsai dan liong sayangnya tidak tertangkap kamera saya karena keseruannya ada di lokasi yang cukup jauh dari jangkauan alat sederhana. 

Meskipun demikian, kehadiran beragam peserta dari banyak komponen masyarakat di sekitar kota Kebumen khususnya tidak mengurangi kemeriahan para partisipan yang diundang oleh panitia. 

Komunitas tari Cepetan dari Desa Wadasmalang Kecamatan Sadang yang berbukit padas di Utara kota Kebumen baru terangkat (kembali) ke ranah publik sekitar seperempat abad lalu. Kegigihan seorang Aris Panji Ws. , seorang pegiat budaya "garis keras" membuat tarian bernafaskan legenda ini diakui keberadaannya. 

Cepetan dapat diartikan laksana atau gambaran imajinatif tentang cepet. Mahluk astral yang dihadirkan para orang tua untuk menakut-nakuti sang anak di waktu tertentu (sandekala) jelang matahari terbit atau terbenam. 

Sehingga, sosok yang dihadirkan jelas menakutkan seperti nampak pada gambar di bawah ini. Konon, tarian rakyat desa Wadasmalang itu ditujukan untuk menakut-nakuti para serdadu kompeni. Layaknya sebuah legenda, cerita yang bermula dari jaman penjajahan Belanda itu ditularkan secara turun temurun. 

Cepetan, tarian rakyat dari Desa Wadasmalang Kecamatan Sadang Kab. Kebumen. Dokumen pribadi.
Cepetan, tarian rakyat dari Desa Wadasmalang Kecamatan Sadang Kab. Kebumen. Dokumen pribadi.
Selain atraksi dari para penari Cepetan, yang unik dalam pesta budaya Kebumen dalam bingkai kemeriahan perayaan hari ke 15 di bulan pertama tahun baru Imlek ini adalah "reuni tak sengaja" dari sebuah komunitas yang kemudian diberi nama Sekolah Rakyat Melu Bae  (SRMB) yang ditulang-punggungi Aris Panji dan Mas Torro Mantara yang multi talenta dalam berseni musik. 

Nama Melu Bae yang dicetuskan oleh mas Torro muncul di tengah kegiatan Ngamen Puisi di Gedung DPRD dan beberapa sekolah di awal pemerintahan Rustriningsih sebagai Bupati perempuan pertama di Kebumen dengan banyak atribut dan sebutan. Satu pengamen di antaranya adalah Slamet Esser. 

slamet-esser-action-1-jpg-5c6de59c43322f1be105d6d7.jpg
slamet-esser-action-1-jpg-5c6de59c43322f1be105d6d7.jpg
Slamet Esser adalah seniman yang berenergi luar biasa dengan banyak ide "liar". Setelah pecah kongsi dari SRMB ia mendirikan Guyub Larak yang senantiasa menghadirkan "darah segar berkesenian pinggiran". Ia mengisi satu hajatan budaya yang banyak kontroversi, Gelar Panggung Teater dan Gebyar Seni Akhir Tahun yang hanya bertahan dua kali (2010 dan 2011). 

 Ide paling orisinil adalah wayang kartun dengan tokoh utama Panjul dan Prenthul. Panjul adalah representasi sosok birokrat berpenampilan seniman perlente dengan topi khas. Sedangkan, Prenthul adalah sosok seniman idealis yang sering dimanfaatkan idealismenya oleh Panjul.

 Slamet Esser mengambil contoh kehidupan dirinya yang sangat sederhana sebagai pengumpul sampah warga di lingkungannya. Pedagang eceran koran dan tabloid yang kian tergerus jaman serta perajin wayang berbahan limbah kertas bekas kardus kemasan makanan. 

Kita tinggalkan kisah dramatis pegiat seni dan budaya tradisional. Perlakuan yang diterima oleh para "Panjul" kepada seniman kontemporer dengan seabreg prestasi gemilang seperti Widpraz tak berbeda jauh. Ketika saya tanyakan soal apresiasi "Panjul" di  Kabupaten Termiskin Pertama di Provinsi Jawa Tengah , ia jawab perlakuannya lebih baik. 

Mereka mengapresiasi karya seninya bukan sebagai produk handycraft yang cenderung berharga murah. Tapi sebagai satu karya seni berbentuk adi busana. Meskipun begitu, ia tak pernah merasa lelah jika diminta oleh mewakili tanah kelahirannya di berbagai ajang. Berperan banyak sebagai narator, ilustrator maupun penerjemah. Semua itu dilakukan dengan dasar keihlasan berkontribusi bagi kemajuan daerahnya. 

Widpraz, seniman busana carnival di tengah kemeriahan perayaan Cap Go Meh Kelenteng Khong Hwie Kiong Kebumen 2019. Dokumen pribadi.
Widpraz, seniman busana carnival di tengah kemeriahan perayaan Cap Go Meh Kelenteng Khong Hwie Kiong Kebumen 2019. Dokumen pribadi.
Bobby, satu penampil karya busana carnival Widpraz di dalam Kirab Budaya Cap Go Meh Kelenteng Khong Hwie Kiong Kebumen 2019. Dokumen pribadi.
Bobby, satu penampil karya busana carnival Widpraz di dalam Kirab Budaya Cap Go Meh Kelenteng Khong Hwie Kiong Kebumen 2019. Dokumen pribadi.
Di antara penonton yang berdesakan, ada rombongan kecil anak sekolah yang tengah menikmati jajanan di depan pagar Kelenteng Khong Hwie Kiong. Ternyata, mereka itu para siswa SD N Kebumen 1 yakni Dini, Adel dan Caca yang didampingi para ibu tengah menikmati kemeriahan Kirab Budaya Cap Go Meh 2019. Ketiganya adalah anak asuh saya dalam olahraga bridge. Suasana akrab ini sedikit mengurangi rasa gerah akibat terik matahari dan rasa jengah dengan cerita-cerita dramatis para seniman penampil di dalam kegiatan bertema " Damai dan Sejahtera Indonesiaku". 

Gaya anak asuh calon atlet Bridge Kebumen. Dari kiri ke kanan: Adel-Caca dan Dini didampingi mama Caca. Dokumen pribadi.
Gaya anak asuh calon atlet Bridge Kebumen. Dari kiri ke kanan: Adel-Caca dan Dini didampingi mama Caca. Dokumen pribadi.
Satu hal lain yang tidak dapat dipisahkan dari kemeriahan Pesta Budaya Kebumen dalam bingkai kemeriahan perayaan Imlek 2570 adalah keberadaan para pedagang makanan. Saya tertarik pada sebuah gerobak penjaga makanan Takoyaki dan Cilur (aci bercampur telur) yang harganya sangat bersahabat. 

Sebutir Takoyaki hanya dihargai Rp 1.250,- atau goceng (Rp 5.000,-) dapat 4 butir. Sementara itu, Cilur hanya dihargai seceng (Rp 1.000,-) per tusuk berisi empat biji. Menurut Trisni Priyastuti, ia memang memilih segmen pasar jajanan anak. Kemampuannya mengolah makanan berbahan dasar aci (tepung kanji atau tapioka) ia dapatkan dari pergaulan selama dirinya bekerja di Bandung. Perempuan berambut pop jaman 1980-an ini tak mau difoto. 

Gerobak dagangan Takoyaki dan Cilur-nya Trisni Priyastuti di sela kemeriahan Kirab Budaya Cap Go Meh Kelenteng Khong Hwie Kiong Kebumen 2019. Dokumen pribadi.
Gerobak dagangan Takoyaki dan Cilur-nya Trisni Priyastuti di sela kemeriahan Kirab Budaya Cap Go Meh Kelenteng Khong Hwie Kiong Kebumen 2019. Dokumen pribadi.
Takoyaki ala Trisni Priyastuti. Dokumen pribadi.
Takoyaki ala Trisni Priyastuti. Dokumen pribadi.
Trisni adalah gambaran aktual ibu jaman now. Perempuan beranak satu ini berasal dari keluarga pegiat kuliner. Ibunya yang lebih akrab dipanggil mbak Was adalah pemain lama yang pernah menjalani profesi serupa Trisni. Ketika membuka warung di depan rumahnya, mbak Was Mustanji punya pelanggan setia dari beragam kalangan. Sebagai satu pelanggan setia, saya merekomendasikan masakan mbak Was kepada banyak orang. 

Tak heran jika putrinya mengikuti jejak sang ibu bergelut di dunia kuliner. Terlebih ketika keinginannya membuka usaha yang baru berjalan sekitar empat bulan itu didukung sang suami, Sasyam. Pasangan muda ini optimis jika dagangannya akan berkembang. Seperti kebanyakan orang Jawa, mereka juga berpegang pada pesan para leluhur " Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak itu baik. Tapi yang baik pastilah yang banyak". Percakapan yang kian seru terpaksa dihentikan karena ada pesanan dalam jumlah besar yang tengah ditunggu pembeli. 

Drumband SMP Pius Bakti Utama Kebumen. Dokumen pribadi
Drumband SMP Pius Bakti Utama Kebumen. Dokumen pribadi
Perayaan Cap Go Meh 2019 bertajuk Kirab Budaya memang pantas diapresiasi. Apalagi bagi pengurus Kelenteng Khong Hwie Kiong yang menjadi rumah ibadah bagi penganut Budha, Khong Hu Chu dan Tao ini pada hari-hari biasa cukup kesulitan memelihara kebersihannya. Karena pengunjung lokal nampaknya kurang antusias memelihara nilai-nilai budaya yang dibawa oleh leluhur pendiri kelenteng itu. Hanya pada perayaan seperti Cap Go Meh ini kebersihan, keindahan dan kerapihannya terjaga. Foto di bawah ini contohnya yang saya ambil Oktober 2018 lalu nampak berdebu dan banyak terdapat sarang laba-laba.

Koh Then Lay, Pengurus Kelenteng Khong Hwie Kiong Kebumen di satu piohio . Dokumen pribadi.
Koh Then Lay, Pengurus Kelenteng Khong Hwie Kiong Kebumen di satu piohio . Dokumen pribadi.
Sayangnya, saya tak berkesempatan untuk mengungkapkan "keprihatinan" atas aset budaya ini kepada anggota keluarga besar mereka. Semoga, lewat tulisan ini pesan tadi dapat sampai tujuan. Bagaimanapun keadaannya, keberadaan Kelenteng Khong Hwie Kiong adalah artefak budaya masyarakat Tionghoa di Kebumen. Berarti juga sebagai aset budaya lokal yang sepatutnya dilestarikan dengan penuh rasa tanggung jawab. Apalagi dengan keberadaan UU Pemajuan Kebudayaan yang mengamanatkan pelestarian aset budaya lokal dalam Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) yang mulai tahun ini sudah ada DAK (Dana Alokasi Khusus)-nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun