Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gurumu, Guruku dan Guru Kita

19 Desember 2018   11:36 Diperbarui: 19 Desember 2018   11:37 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Almarhumah Ibu Atiatoen dan alm. Bpk. Sudjarwo di kantor PWRI Ranting I Kebumen yang menempati ruang depan rumah kami. Dokpri

Hari yang  sungguh istimewa buatku. Hampir semua grup media sosial yang kuikuti menayangkan ucapaan " Selamat Hari Guru ", 25 November. Keistimewaan guru diakui oleh lebih banyak orang di segala jaman. 

Guru mampu mengantarkan murid-muridnya lebih jauh dan tinggi dari yang mampu dicapainya. Guru juga mampu mengantarkan sang murid ke pintu gerbang sukses yang berlapis-lapis. Dan guru juga mampu menundukkan kerasnya sikap murid yang bandel, kurang ajar serta hal-hal yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai perilaku negatif menjadi sebaliknya. 

Karena  guru senantiasa berpedoman pada kesabaran dan keteladanan selain bahan ajar dengan segala kelengkapannya. Itu  cerita guru tua , sangat jadul. Jaman rikiplik katanya.

***

Pagi menjelang siang itu sang mentari masih tersenyum ceria. Burung-burung pipit dan gereja seolah berlomba menyapa hari dengan berlompatan di antara dahan pohon jambu biji yang tengah bergelantungan dengan warna kuning yang memerah.

Tiba-tiba terdengar teriakan memanggil namaku. Seketika hilang semua keindahan yang baru saja melintas mata. 

" Yan... !", hanya sekali suara itu.

" Masya Allah... Astaghfirullah.. Bu..!!", hanya itu juga yang mampu keluar dari mulutku.

Darah berceceran di seluruh permukaan lantai kamar mandi dan kamar ibu yang menyatu. Melihat keadaan itu, satu helaan nafas, kesadaran yang biasanya selalu terjaga telah hilang. 

" Kuat mas.... kuat mas..!!", istriku berteriak menyadarkan.

Selama ini, sejak keputusan untuk meneruskan jejak ibu sebagai suka relawan kemanusiaan, telah puluhan atau bahkan ratusan kali mengalami kejadian yang lebih berat dari situasi yang kualami di kamar ibu. 

Seolah tak ada lagi rasa takut dan jijik pada korban yang beraneka rupa keadaannya. Tsunami Aceh dan gempa Jogja sangat banyak menemui kejadian yang menguatkan rasa itu. 

Tapi... ini ibu kandung, mengapa aku sempat goyah dan jadi penakut??

Tuhan menyadarkan diriku lewat istri. Lalu... aku beranjak cepat setelah mengangkat dan membaringkan tubuh beliau yang kian menyusut beberapa bulan terakhir. Kuambil satu kotak besar peralatan pertolongan pertama. 

Kesadaranku telah pulih sepenuhnya meski tangan sedikit gemetar. Sambil berdoa, semua energi kutumpahkan untuk memelihara kesadaran ibu. Darah telah membasahi sekujur tubuh perempuan yang dikenal luas sangat perkasa ini. 

Selalu menyembunyikan rasa sakit dengan suara lantang saat kakak bertanya tentang kabar kesehatannya . Juga kepada teman atau saudara dekat. Apalagi para keponakan dan cucu-cucu keponakan. 

Siapapun yang pernah mengenalnya, para murid dan teman-teman guru. Di manapun orang yang cukup dekat akan selalu mengenang sikap tegas , berdisiplin tinggi ala militer dan pantang menyerah dengan keadaan sesulit apapun. 

Begitulah sosok guru jaman dulu. Ditempa kerasnya kehidupan di masa penjajahan dan awal kemerdekaan. Idealisme seorang guru yang patut diteladani ucapan dan tindakannya (di-gugu lan di-tiru - Jawa ).  Sosok yang tak hanya memberi  isian bermanfaat bagi kehidupan saat itu. Mengarahkan jalan dari kegelapan ke suasana hidup yang lebih terang. 

Ada semangat hidup yang senantiasa dipompakan tentang suasana yang akan hadir dari kemerdekaan. Disiplin dan tanggung jawab, nasihat yang selalu disampaikan ketika ditanyakan pedoman hidupnya.

Perjalanan hampir empat dasawarsa. Dari sekolah darurat di banyak tempat pengungsian. Langkah pertama langsung berhadapan dengan para murid anak-anak nelayan yang usianya sebaya dengan dirinya di bumi Kartini. Bergeser kian mendekat ke rumah karena kehendak ayah. Sampai akhirnya di puncak titik jenuh, jengah dengan perilaku....

Tak genap sebulan setelah peristiwa itu. Satu rumah sakit khusus dan dua lainnya jadi saksi bisu keteguhan hati. Setelah sepuluh hari tak sadarkan diri, beliau kembali ke pangkuanNya tepat saat adzan Maghrib berkumandang. Diiringi doa sang menantu. 

Dan saat aku tak bernyali melawan hujan di tengah jalan. Beliau meninggalkan kenangan teramat dalam pada usia 80 tahun dan seminggu.

Selamat jalan guruku, gurumu dan guru kehidupan kita. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan menempatkan dirimu di tempat yang paling layak di sisiNya. Doa kami senantiasa menyertai. Aamiin yaa robbal 'alamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun