Hari ke seribu ia tinggal dalam belenggu sesal tak berujung. Coretan dinding gua ada di kedua sisinya. Di sebelah kanan deretan angka terwakili jumlah pagar. Beberapa kalimat berhuruf kanji yang rapi. Tanda penulisnya seorang berpendidikan. Banyak anggota Tentara Jepang adalah wajib militer. Meski tak sedikit yang berasal dari petani kebun. Salah satunya adalah Kobayashi -san dari Perefectur Kagawa.
Pagi ini ia pandangi laut luas. Tampak dari kejauhan, sebuah kapal besar tengah lego jangkar. Beberapa pesawat tempur masih melintas di atasnya. Sesekali melesat ke Utara tanpa menjatuhkan bom jika sedang bermanuver di udara. Menjelang siang, dua pesawat tempur terbang rendah di atas kerumunan orang desa yang tengah membuat sebagian dari mereka langsung tiarap. Tapi tak sedikit yang bersikap biasa sesuai perintah Pak Carik. Tetap serius dengan pekerjaan masing-masing. Pak Carik nampak tengah berbicara dengan seorang pemuda dengan sesekali memandang langit yang mulai digelayuti awan hitam berarak ke arah desa mereka.
***
Sarno merasa bersemangat hari ini. Lebih dari enam bulan tak pernah melihat suasana di luar gua. Ia telah hafal jalan-jalan rahasia menuju pantai atau desa terdekat. Jika ke pantai ia harus bawa jaring atau alat pancing untuk menghindari kecurigaan nelayan setempat yang biasa menambatkan perahunya di pantai bawah gua. Kalau ke desa ia tak perlu berpura-pura, cukup berbusana ala pengembara. Meski tak lancar, ia tahu dialek lokal.Â
Pagi ini ia bermaksud ke pasar desa untuk membeli bumbu. Ada sedikit uang yang tersisa dalam kantong kecil. Setelah berpamitan dengan Kobayashi san, ia menapaki jalan rahasia dengan hati-hati.Â
Sesampai jalan penghubung antar desa, ia berbelok arah ke kiri menuju pertandingan di depan balai desa. Betapa kagetnya melihat banyak rumah hancur di sepanjang perjalanan. Sekira 300 meter dari pertigaan yang dituju , Sarno bertemu dua perempuan tua yang memanggul tampah dan bakul penuh singkong dan ubi rebus yang masih hangat. Dengan sopan Sarno menyapa perempuan pembawa bakul.Â
" Selamat pagi Bu. Mau dibawa kemana makanan itu? Ke pasarkah?",, Sarno bertanya .
" Bukan Den. Ini untuk makan siang penduduk desa yang sedang kerja bakti di perbatasan desa. Anda bukan orang sini Den..".
Sarno agak kikuk dipanggil dengan sebutan itu. Sudah menjadi tradisi masyarakat desa jika bertemu orang asing.
" Jika diijinkan, saya ingin membantu", kata Sarno meyakinkan.Â
Perempuan pembawa tampah, semacam nampan bulat dari anyaman bambu menyela, " Silakan Den, ikut kami. Tapi agak jauh jaraknya".
Sarno menawarkan diri membawa tampah yang ditaruh di atas kepala, tapi ditolak halus. Begitu pula dengan bakul itu.Â
Sepanjang jalan mereka terdiam. Entah apa yang sedang dipikirkan kedua perempuan desa. Sarno maklum jika mereka bersikap waspada. Di dekat perbatasan desa, sejumlah lelaki tampak sedang memperbaiki rumah secara gotong royong. Ada yang memasang dinding anyaman bambu (gedheg), merapikan atap dan meratakan tanah. Seseorang tengah baya melihat rombongan kecil ini dan memberi aba-aba agar semua orang yang sedang bekerja bakti segera beristirahat. Makanan sudah datang, katanya .Â
" Pak Kadus, ini ada titipan dari Pak Carik", perempuan yang membawa bakul menyodorkan bungkusan kecil dari anyaman pandan. Orang lokal menyebutnya dengan slepen atau dompet tembakau.Â
" Dan ini Den Sarno...pak Kadus", gantian pembawa tampah menyela.Â
Mereka berkumpul pada satu titik majan beralas daun pisang. Orang desa menyebutnya dengan istilah kepungan. Sarno disilakan duduk di samping Pak Kadus. Selesai makan siang dengan umbi-umbian para lelaki bergegas turun ke selokan yang sangat jernih airnya. Membersihkan tubuh ala kadarnya dan menuju ke bangunan yang masih berupa kerangka untuk menunaikan shalat dhuhur berjamaah. Pak Kadus menjadi imam dan Sarno berdiri persis di belakang sang imam. Selesai shalat, pak Kadus memberi waktu agar Sarno mengenalkan diri.Â
Semua orang tercengang mendengar cerita Sarno. Kurang lebih delapan bulan yang lalu, ia diberi perintah oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta untuk orientasi medan di sekitar pesisir di Selatan Gombong setelah Cirebon diduduki Tentara Belanda. Ia diberi waktu dua pekan sesampai di lokasi. Sebelum kembali ke Jogja, ia harus menemui komandan lapangan atau wakil MBT di Gombong, Karanganyar atau Kebumen.Â
Ketika akan menuju Gombong dengan berjalan kaki, ia mampir di Desa Sugihwaras menemui anggota keluarga dari seorang staf MBT. Tugas ini cukup mudah karena kepandaian Sarno berbahasa lokal meski dengan dialek yang agak kaku. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Ahmad, saudara sepupu temannya, bersedia jadi penunjuk jalan. Di sepanjang jalan yang dilalui menuju Gombong, Sarno banyak bercerita tentang situasi keamanan di kantong-kantong pertahanan TRI (Tentara Republik Indonesia) setelah ibukota RI pindah ke Jogja.Â
Ketika memasuki perbatasan desa Meles, hujan turun sangat lebat. Sarno dan Ahmad berlarian mencari tempat berteduh. Air telah menggenangi jalan desa dan semakin meninggi. Karena mempertahankan bawaannya, Sarno terpeleset dan dibawa arus air yang kian kuat. Ahmad berusaha menolong. Naas tak dapat ditolak. Tubuh Sarno semakin menjauh dari Ahmad yang telah mendapatkan pegangan kuat di sebuah rumpun bambu. Ketika sadar, Sarno telah berada di tepi sungai. Tubuhnya tersangkut akar pohon besar. Dengan tubuh penuh luka dan rasa letih luar biasa, ia berusaha sekuat tenaga naik ke permukaan. Dengan kaki terseret, Sarno menemukan sebuah pondok kosong tak jauh dari sungai. Ia pingsan dan ditemukan oleh Kobayashi -san.Â
***
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H