Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Trip

Teratai Blambangan Atmosphere, Resto Kampung Pasarpari Bernuansa Pulau Dewata

5 November 2018   00:23 Diperbarui: 5 November 2018   00:25 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pagi di Teratai Blambangan Atmosphere Kebumen. Dokpri


Seperti aliran Kali Luk Ulo yang jadi sumber kehidupan masyarakat Kampung Pasarpari, berkelok-kelok menyerupai jalan ular sanca, kehadiran kedai makan Teratai Blambangan Atmosphere adalah satu dari berbagai puncak proses kreatif Suryanto. Pelukis yang sering dipanggil Ki Surya Menggala sangat suka nuansa eksotik Pulau Dewata. 

Di depan ornamen arsitektural Bali, Penulis bersama Pemilik Teratai Blambangan Atmosphere, Suryanto mengisi Malam Minggu dengan berkaraoke bersama. Dokpri
Di depan ornamen arsitektural Bali, Penulis bersama Pemilik Teratai Blambangan Atmosphere, Suryanto mengisi Malam Minggu dengan berkaraoke bersama. Dokpri
Perjalanan hidup manusia tiada yang pernah tahu ujung pangkalnya selain Sang Maha Pencipta. Tak ada bayangan sedikitpun saat seorang Suryanto dan istrinya, Kasiatun akan mengubah rumah masa tuanya jadi sebuah restoran di sebuah gang kecil  dan di kota kecil pula. Apalagi jadi sebuah resto berkonsep. Semua mengalir begitu saja seperti aliran Kali Luk Ulo yang ada di sekitarnya.

Mereka hanya berpikir untuk memanfaatkan lahan seluas 53 ubin miliknya jadi rumah pribadi dan studio lukis yang diidamkan sebelum kembali ke tanah kelahiran, Pasarpari Kelurahan Kebumen. Kala itu, Suryanto masih mengembara di kota Kembang Bandung. Hasil kerja kerasnya selama ini ia tabung dan dibelikan rumah yang bertanah sempit dan ada bekas kolam ikan gurami. Setelah dibeli, kolam kosong itu ditebari ikan-ikan hasil pancingan di Kali Luk Ulo dan tempat lain oleh seorang saudara yang dipercaya merawat rumah kolam itu.

Suryanto mengakrabi dunia seni sejak remaja. Di masa itu, seniman bukan profesi yang diimpikan oleh teman sebayanya. Hobi melukis sebenarnya telah ia mulai sejak SD. Seperti kebanyakan anak seusianya, Suryanto kecil tak ambil pusing dengan cemooh atau ejekan orang-orang di sekeliling kehidupannya. Ia terus mengasah bakat keseniannya dengan bahan dan alat seadanya. Kantong terigu bekas ia sulap jadi kanvas. Cat "sepeda" dan sisa cat kayu atau besi dari para tukang bangunan adalah material inti untuk menyalurkan hobi lukisnya. 

Lukisan pasir Suryanto tahun 2004. Dokumen @SuryaArt
Lukisan pasir Suryanto tahun 2004. Dokumen @SuryaArt
Pemandangan alam dan binatang adalah obyek utama goresan kuas yang ia beli di toko buku. Satu pelukis yang sering mengambil obyek jembatan kereta api "Renville" yang membentang di atas Kali Luk Ulo, Pak Dayat, ia ikuti sebagai guru lukisnya. Dari beliau ia dapatkan ilmu lukis otodidak, karena Pak Dayat hanya memberikan contoh langsung. Suryanto remaja menginjak dewasa mengamati cara pelukis itu mencampur warna, teknik sapuan dan lain-lain teknik melukis pemandangan alam di bawah rumahnya. 

Suryanto dewasa terus mengembara, mencari jati dirinya. Ia berguru kepada siapapun yang mau berbagi ilmu atau pengalaman. Tidak hanya di sekitar Kebumen dan Gombong. Ia sesekali menyambangi kampung seniman lukis di Wirobrajan Yogyakarta dari sekadar membeli alat dan bahan. Atau  berguru kepalang ajar, bagai rusa padang tak henti. Meski harus numpang kereta barang, ia lakukan demi  niat dan usaha pengembangan dirinya. Sampai suatu ketika ia memutuskan untuk hijrah ke kota Kembang Bandung pada media dasawarsa 1990-an. Hanya berbekal tekad maju, Suryanto tak peduli jika di kota kreatif itu akan jadi gelandangan. Yang pertama dipikirkan adalah proses berkesenian ia lakukan di habitat yang menurutnya sesuai. Singkat kata, ia memang berkembang dan mampu bertahan pada jalur pilihan hidupnya.

Karya kreatif Suryanto, dari Blumbang (kolam ikan tradisional) jadi Teratai Blambangan. Dokpri.
Karya kreatif Suryanto, dari Blumbang (kolam ikan tradisional) jadi Teratai Blambangan. Dokpri.
Pergulatan hidupnya bersama orang-orang kreatif di  Kota Kreatif Asia ini mendewasakan dirinya. Ia terus mengasah diri dengan berbagai jenis ketrampilan hidup. Meski tak ikut membidani, tapi Suryanto mewarnai jejak perjalanan Bandung Creative City dengan cara serta kemampuannya. Sampai suatu ketika saat mudik dan bertemu saya di depan rumah tuanya. Kapan kamu menambatkan biduk yang ikut dalam perjalanan hidupmu? Ia hanya tersenyum dan menunjukkan seringai khasnya. 

Selang beberapa tahun tak bersua, dari almarhumah ibu kandung saya, tersiar kabar bahwa ia telah menjatuhkan pilihan pada seorang gadis tetangga. Pek-nggo (ngapek tonggo/ menikahi tetangga dekat rumahnya), Kasiatun. Kejutan, pikir saya. Pernah terdengar kabar angin ia akan menikahi seorang mojang Priagan, anak tetangga di tempat kosnya. Akhirnya, kamu harus tunduk pada "takdir". Mereka dikaruniai seorang anak perempuan cantik yang kini menginjak 9 tahun. 

Banner di depan Resto, satu-satunya penunjuk arah yang dipasang di halaman. Kesederhanaan atau keyakinan diri, hanya Suryanto yang tahu. Dokpri
Banner di depan Resto, satu-satunya penunjuk arah yang dipasang di halaman. Kesederhanaan atau keyakinan diri, hanya Suryanto yang tahu. Dokpri
Perubahan besar dalam merencanakan masa tuanya terjadi ketika Suryanto bertemu dengan seorang juru masak asli dari Gombong, jebolan Malindo Resto yang sudah punya nama dan beberapa cabang. Dari pertemuan singkat dan saling berkunjung, akhirnya muncul gagasan membuat sebuah restoran. Suryanto bersikukuh dengan konsep "kolam ikan warisan (blumbang)"-nya.  Agar nampak artistik dan bernuansa khas, ia buat dengan model pemancingan. Tempat berteduh para pemancing digantikan gazebo. Satu dua gazebo yang dibuat dalam rancangan awal display resto, akhirnya menjadi banyak. Memenuhi atau mengelilingi area kolam. Yah.. begitulah proses kreatif Suryanto di bidang kuliner yang semula sangat asing meskipun orangtuanya adalah pemilik warung sate di dalam Pasar Tumenggungan Kebumen. 

Suasana pagi di Teratai Blambangan Atmosphere Kebumen. Dokpri
Suasana pagi di Teratai Blambangan Atmosphere Kebumen. Dokpri
Resmi berdiri pada 27 Mei 2013, dimulai dari konsep rumah yang berkolam ikan kemudian muncul ide mengembangkan jadi Resto berkonsep gazebo. Konsep ini terus berkembang menjadi seperti sekarang bernuansa Bali. Nama Blambangan sendiri adalah plesetan dari kata blumbang, Tutur Kasiatun saat diminta menjelaskan alasan pemilihan nama Blambangan. Sederhana memang, tapi di sini lah kunci yang membuka munculnya ide-ide kreatif sang suami yang seniman lukis itu.  

Salah satu gazebo yang kemudian diubah menjadi tempat makan yang nuansa Bakunya cukup kentara dari balutan kain kotak. Dibuat menghadap kolam ikan dengan suasana pandangan luas. Dokpri
Salah satu gazebo yang kemudian diubah menjadi tempat makan yang nuansa Bakunya cukup kentara dari balutan kain kotak. Dibuat menghadap kolam ikan dengan suasana pandangan luas. Dokpri
Apa yang paling berkesan untuk nama Blambangan? Raja bertampang raksasa, Menak Jinggo. Lalu, apa yang khas dari kerajaan Blambangan selain rajanya? Suryanto-pun tak mau disebut gaptek. Ia lalu bertanya kepada mesin penjelajah internet raksasa, mBah Google. Murah meriah dan langsung membuat otak Suryanto bekerja cepat. Blambangan itu di Banyuwangi yang punya kedekatan budaya dengan Pulau Dewata. Bali adalah tema utama lukisan-lukisan karyanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun