Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jejak Dewi Samudera di Pinggir dan Benua Atlantis dalam Kali Luk Ulo

31 Oktober 2018   07:31 Diperbarui: 31 Oktober 2018   07:58 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bentuk bangunan arsitektural Klenteng Khong Hwie Kiong Kebumen. Dokpri.

Dewi Samudra atau Thian Siang Seng Bo atau Tianshang Shengmu (pinyin) adalah gelar yang dianugerahkan Kaisar Dao-guang pada dinasti Qing (1840) pada Mazu.  Dikenal sebagai bagian dari mitologi Tiongkok yang dibawa serta oleh para penjelajah dan sisa pasukan Kublai Khan di wilayah sepanjang Pantai Utara dan Selatan Pulau Jawa. 

Dewi Samudera adalah seorang gadis nelayan bernama Lin Moniang berasal dari Pulau Meizhou di Kabupaten Putian, Propinsi Fujian yang dilahirkan pada tahun 960 Masehi. 

Selanjutnya, sebagaimana dipaparkan oleh  Djoko Darmawan  , peneliti budaya Tionghoa, Dewi Samudera adalah idola bagi rakyat jelata yang mendapat gelar kehormatan sebagai Dewi Surgawi. 

Kelenteng Tridharma memang identik dengan masyarakat keturunan Tionghoa pemuja Dewi Samudera.  Begitu pula dengan Kelenteng Khong Hwie Kiong yang berdiri di tanah wakaf yang diprakarsai oleh seorang pelaut berpangkat letnan pasukan Kublai Khan,  Liem Kik Gwan bersama sejumlah warga yang memerlukan "tempat berteduh". 

Berdiri kokoh di bibir Kali Luk Ulo, Pasarpari Kelurahan Kebumen, kelenteng ini nampak sepi dari aktivitas spiritual sebagaimana layaknya sebuah tempat peribadatan.

Pada kunjungan pagi ini saya cukup beruntung dapat bertemu dan mendapat penjelasan panjang lebar dari koh Lin Tjen Lay yang usianya tak jauh berbeda di sela olahraga paginya. 

Pria yang menggeluti usaha mebeler berkualitas menengah atas ini menyambut hangat kedatangan saya. Apalagi saat saya mengaku tetangga dekat yang tinggal di sekitar 200m jaraknya dari Kelenteng itu.

Selama ini, masyarakat sekitar Kelenteng yaitu Pasarpari yang berada di sebelah Selatan, Pasarrabuk di Utara dan Keposan di Timur hanya tahu bahwa Kelenteng Khong Hwie Kiong adalah tempat peribadatan Khonghucu atau Budha. Ternyata, sesuai penuturan Tjen Lay, penganut Tao juga beribadat di Kelenteng ini. Karena itu, Kelenteng ini juga disebut Kelenteng Tridharma. Nama yang sama dipakai juga untuk Yayasan sosial pengurus kematian bagi umum. 

Halaman depan sisi Barat Kelenteng Khong Hwie Kiong yang menghadap Kali Luk Ulo. Dokpri.
Halaman depan sisi Barat Kelenteng Khong Hwie Kiong yang menghadap Kali Luk Ulo. Dokpri.
Sejarah Klenteng Khong Hwie Kiong tak dapat dilepaskan dari sejarah kota Kebumen. Pada Perang Kemerdekaan I, Kelenteng ini tak luput dari imbas serangan bumi  hangus tentara kolonial Belanda yang dibantu sekutu. Hanya tersisa dua tiang dan sedikit dinding di bagian belakang. Puing ini menjadi saksi sejarah sebelum akhirnya Kelenteng itu dibangun ulang pada tahun 1969 seperti bentuk bangunan yang ada saat ini. 

Jika berkunjung ke Kelenteng ini, kita akan melewati dua pintu. Pintu pertama berfungsi sebagai pintu gerbang. Warna khas merah menghias seluruh permukaan pagar dan bangunan di dekatnya.  Sedangkan pintu kedua adalah pintu utama untuk akses ke luar masuk bangunan inti. Setelah melewati naga kembar yang melilit tiang, kita akan menemukan benda berbentuk prisma serupa cerobong asap. Fungsinya sebagai simbol manunggaling kawula lan Gusti  (integrasi spiritual antara manusia   dan Penciptanya),  tutur koh Tjen Lay. Bentuk dasarnya menyerupai prisma dengan cerobong kubikal di tengah. Cerobong inilah yang menjadi jalan integrasi spiritual itu.

Cerobong kubikal yang menandai integrasi spiritual pemeluk Tridharma. Dokpri.
Cerobong kubikal yang menandai integrasi spiritual pemeluk Tridharma. Dokpri.
Seperti nampak pada gambar di atas, persis di ujung bawah cerobong terdapat meja khusus dari bahan logam dicat warna emas pudar yang menyatu dengan tempayan (baskom). Tempayan itu menjadi tempat menampung abu persembahan dari ratusan atau ribuan set batang hio. Di sebelahnya terdapat sebuah meja marmer dengan panjang sekitar 3m. Di meja itu terdapat 1 kaleng bulat untuk menampung hio (piohio) yang akan dipakai sebagai media persembahan. Setiap orang yang akan melakukan ritual persembahan diberi tiga batang hio. Hio pertama untuk menghormati Thien (Dewi Samudera), kedua bagi keluarga dan terakhir untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup orang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun