Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Missing Link, Missing In Action

1 November 2009   21:00 Diperbarui: 29 Oktober 2018   04:07 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai hari ini, keberadaan Herman Fernandez yang dibawa oleh  tentara pendudukan Belanda sebagai tawanan perang dalam pertempuran 1 - 2 September 1947 di Front Gombong Selatan sekitar Desa Sidobunder Kecamatan Puring Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tidak diketahui secara pasti. Apakah pelajar Flores yang bersama Alex Rumambi gugur karena luka tembak, wafat di penjara atau disembunyikan oleh tentara Belanda ? Tidak ada yang dapat memberi informasi jelas. Yang pasti, ia ikut dalam penugasan rombongan pasukan Tentara Pelajar (TP) Yogyakarta yang melapor kepada sataf Markas Darurat di lingkungan Gereja Kristen Jawa dekat stasiun kereta api. Bersama rombongan pasukan dari Perpis (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi) pimpinan Maulwi Saelan, Pelajar Kalimantan dan Maluku serta bantuan pasukan dari Markas Pertahanan Pelajar Yogyakarta, TP Solo, SA/CSA, TRIP dsb.

***

Tentara Pelajar adalah bagian dari sejarah perjuangan menegakkan Proklamasi Kemedekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945. Mereka terdiri dari  para pelajar setingkat SLTP/SLTA dan sebagian kecil mahasiswa yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera bagian Selatan. Di Jawa Timur memakai nama Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), sekitar wilayah Banyumas ada Mas TP dan IMAM ( Indonesia Merdeka Atau Mati), pelajar sekolah teknik (ST/STM) menyebut dirinya Tentara Genie Pelajar (TGP) dan wilayah Semarang Selatan ada Student Army (SA/CSA). Wilayah lain menggunakan nama TP semisal Solo, Cirebon dan Jawa Barat (TP Siliwangi) serta TP Sumatera.

Meskipun berbeda nama dan tempat kedudukan, pada dasarnya mereka adalah kaum terdidik yang militan dan memiliki jiwa nasionalisme sangat tinggi. Tidak semua pelajar dan mahasiswa yang saat itu berusia sekitar 15 - 20 tahun mau menjadi anggota TP atau ikut laskar perjuangan  lainnya. Ada sebagian pelajar yang karena alasan perut atau sebab internal lain lebih suka ikut kaum penjajah sebagai mata2 yang menghianati perjuangan saudara sebangsanya.

Peristiwa 10 November 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan nasional menyisakan banyak kisah heroik. Satu di antaranya berasal dari perjalanan pasukan TP Yogyakarta yang dipimpin Poerbatin, pelajar SMA bagian C Kotabaru. Waktu itu adalah masa libur kenaikan kelas tahun ajaran 1945/46 sekita pertengahan Juli - awal Agustus 1946. Rombongan yang terdiri dari 10 pelajar laki-laki dan 2 perempuan (Sri Hartini yang satu sekolah dengan Poerbatin dan Atiatoen dari Sekolah Guru Putri Yogyakarta). Mereka diperintahkan membawa bantuan logistik (dendeng dan ikan asin) bagi saudara seperjuangan, TRIP. Serta obat2an dan tenaga kepalang-merahan untuk korban pertempuran yang sedang dirawat di RS Darurat PMI di kompleks bruderan Mojoagung Mojokerto. Tugas pertama di lapangan pasca ikut latihan dasar kemiliteran di Military Academy  Kotabaru Yogyakarta  ini menjadi kenangan khusus bagi Atiatoen yang kini hidup tenang dan sehat sebagai pensiunan guru SD berusia 80 tahun.

Perjalanan sejarah TP boleh dibilang sangat pendek. Semula mereka adalah anggota Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Adanya Maklumat Pemerintah 5 Oktober yang disusul dengan perintah Mobilisasi Tentara Keamanan Rakyat yang isinya adalah (disesuaikan ejaannya) sebagai berikut :

Untuk menjaga keamanan rakyat pada dewasa ini, oleh Presiden Republik Indonesia telah diperintahkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat ini terdiri atas rakyat Indonesia yang berperasaan penuh tanggung jawab atas keamanan masyarakat Indonesia dan guna menjaga kehormatan negara Republik Indnesia.

Pemuda dan lain-lainnya yang tegap-sentosa badan dan jiwanya, bekas prajurit Peta, prajurit Hindia Belanda dan Heiho, Barisan Pemuda, Hisbullah, Pelopor dan lain-lainnya, baik yang sudah maupun yang belum pernah memperoleh latihan militer, supaya selekas-lekasnya mendaftarkan diri pada kantor BKR di ibukota kabupaten masing-masing, atau badan lain-lainnya yang ditunjuk oleh residen  (kepala daerah)atau wakilnya.

Merdeka !

Jakarta, 9 Oktober 1945

Komite Nasional Pusat

Ketua

Mr. Kasman Singodimedjo

kemudian dibentuk Bagian Pertahanan pada November 1945 melalui suatu kongres di Yogyakarta. Mengkuti perpindahan ibukota negara, IPI Bagian Pertahanan membentuk Markas Pertahanan Pelajar di Tugu Kulon/ Pakuningratan (sekarang menjadi museum TP) Yogyakarta dan mengganti namanya sebagai Tentara Pelajar. Terdiri dari 3 resimen yaitu : 1) Resimen A untuk Jawa Timur, 2) B di Jawa Tengah dan Cirebon serta 3) Resimen C di Jawa Barat. Selain itu, dibentuk pula satu Batalyon Tentara Genie Pelajar.

Karena perkembangan situasi keamanan negara yang kian tak menentu dan pembentukan Markas Besar Komando Jawa (MBKD), maka TP yang masuk dalam Kesatuan Reserve Umum (KRU) W pada akhir November 1948 berganti nama menjadi Tentara Pelajar Brigade XVII TNI. Ada 5 Detasemen yang masing-masing membawahi wilayah Jatim (I), Solo (II), Yogyakarta (III) dan Siliwangi (IV) serta  TGP (V). Di setiap wilayah dibentuk unit2 yang lebih kecil setingkat kompi, seksi dan sub seksi.

Seperti kisah2 perjuangan pada umumnya, ada nama peristiwa dan tokoh yang melegenda. Misalnya Kusni Kasdut yang menghebohkan karena marampok emas milik negara yang disimpan di Museum Nasional.  Ada juga yang hilang di telan jaman semisal pasangan Jayadi Jepang dan si Jes (Djasmin) yang sering mengeksekusi musuh2nya dengan samurai di Solo pada Agresi Belanda II 1949 .

TP memiliki sejumlah nama besar yang sudah wafat yaitu Martono (mantan Mentrans), Rusmin Nuryadin ( mantan Menhub), Imam Pratignyo (Univ. Pancasila)  dan Kusnadi Hardjasoemantri (mantan Rektor UGM) dll. Atau yang masih hidup seperti Solichin GP (PSSI), Koento Wibisono (UNS/UGM), dan Djoko Woerjo (IPB) dsb. Dari komposisi di atas, kita memperoleh gambaran bahwa mantan anggota TP ada yang berkarir di militer maupun sipil. Hal ini disebabkan oleh Penetapan Presiden RI no 4/1948 yang memberi penghargaan bagi pelajar berbakti dan SK Menhan RI No. 193/MP/50 yang intinya menawarkan pilihan untuk terus berkarir di lingkungan militer atau kembali ke bangku sekolah/ kuliah.

Pelajaran yang mungkin dapat kita petik dari mereka adalah bahwa ketika negara dalam situasi genting, kaum terdidik selalu tampil sebagai kekuatan yang khas dan memberi warna tersendiri. Sangat disayangkan, apresiasi negara/ pemerintah dan masyarakat Indonesia  terhadap TP baru sebatas pemberian nama jalan dan museum kecil. Sementara orang asing menjadikannya sebagai bahan penelitian khusus sebagaimana yang dilakukan oleh Jay Sing Yasdav, mahasiwa asal India, yang memperoleh gelar doktor sejarah (politik) di UGM karena penelitiannya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun