Mohon tunggu...
Totenk Mahdasi Tatang
Totenk Mahdasi Tatang Mohon Tunggu... Aktor - pembina Sanggar Lidi Surabaya

Aktor teater, penyair, dramawan,

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Senna Si Mata Elang (3)

26 Desember 2012   22:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:59 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ini bukan catatan penutup

Bukan pula sajak penutup

Meski angka tahun masehi ini, segera tutup .

Tulisan ini akan jadi serupa kaca

Memantulkan jejak singgah, pada perbatasan kota

Menggambarkan warna kota, dalam sosok gadis remaja

Mencoretkan tuturan nasib, dengan tinta gadis kelana bernama Senna .

Senna gadis urban usia belasan

Ibunya air bening dari tanah tumenggung Surajaya

Ayahnya langit malam yang setia dia sapa, tanpa pernah berbalik sapa

Parasnya ayu, berkulit kuning lansap, semampai tubuhnya

Desah nafasnya adalah zdikir tanpa reda

Helakan Cerita, Cita, Cinta, dan Fatamorgana .

Hiruk-pikuk Kota dengan segala angkuhnya

yang semakin sulit hadirkan kesempatan untuk peduli sesama,

Telah mendidik Senna menjadi sosok tangguh laksana Singa betina

Melegalkan berbagai cara,

Demi pertahankan hidup dan perbaikan lingkarannya

Lingkaran cinta seekor singa

Adalah dia dan turunan atau leluhurnya

Maka mereka yang diluar lingkaran,

Adalah musuh bahkan mangsa

Senna telah tumbuh menjadi sang singa betina

Namun berotak ular, bermata elang

Pikirannya cerdik, pandangannya jeli

Hatinya sulit ditafsir, jiwanya selalu sepi

Sebentuk cita terus dia kejar

Terhalang apapun, tak ada gentar

Sedikit saja cita terlihat samar

Dipaculah tubuhnya dengan berbagai usaha yang semakin gencar

Hingga arah mana yang dituju, sering kali dia tak sadar

Gelap telah dia angkat sebagai sahabat

Didalam gelap baginya tak ada kelam apalagi suram yang pekat

Gelap adalah keluasan cakrawala, yang menyimpan berbagai kemungkinan harap

Kacamata moral disingkirkan sudah

Mata bathin diredupkan, mata dendam kompas penunjuk arah

Entah mengarah apa siapa, yang pasti dendamnya punya sejarah

Mungkin berasal dari pencarian sosok ayah,

Mungkin pula dari romansa asmara yang bertitik pasrah

Yang pasti lensa dendamnya, menuju banyak pria bermata jalang

Dan ketika berlabuh dari satu pria kepria mata jalang lainnya

Senna adalah sang oportunis yang tak pernah kalah

Pendekar perempuan yang tak izinkan hatinya terlibat bertualang

Maka pria ketiga, kedelapan, keseratus, dan mungkin entah keberapa

Bersiap mendekap peluknya untuk binasa .

Dibalik segala bentuk aksi, buah dari naluri ularnya

Senna sangatlah sadar akan banyak lini yang tak lantas lalai diabaikan

Dari wahana pendidikan, hingga lini religi keyakinan

Selalu ada usaha untuk menyeimbangkan ketimpangan

Pertemanannya dengan banyak orang – orang tak beruntung

Dari gadis kecil kota yang terpaksa mengemis, hingga jompo dikampung

Semakin memberi suntikan semangat tinggi untuk terus bertarung

Percakapan intim dengan teman – temannya diberbagai kesempatan telah sisakan renung

Renung yang lahirkan senjata serupa mental, sebagai modal mengarung .

Senna simata elang

Masih terus melayang

Dia sang singa betina yang tetap siaga memangsa

Hingga dia sendiri tak paham

Seberapa hebat mimpi yang dipunya

Seberapa kuat tubuhnya mampu bertahan

Seberapa banyak ruang yang diinginkan

Seberapa sabar sanggup menantikan .

Pada peraduan subuh

Dia bicarakan banyak cerita, tanpa setitikpun berbau keluh

Dengan kapal bertajuk ibadah keyakinannya, dia tenangkan jiwanya yang gaduh

Setelahnya, dia tertidur dengan wajah dibasuhi airmata dan badan rapuh nan lusuh

Dalam lelapnya,

Singa berotak ular, bermata elang tetaplah perempuan

Dibalik garang naluri hewannya, tetaplah dia sekuntum bunga

Akan mengalami layu, meski bersemi kembali kala disiram

Senna adalah bunga krisan

Memiliki banyak kelopak yang misterius dihitung jumlahnya

Semisterius sosoknya, dengan banyak fakta yang tak ada habisnya untuk dibaca

Cerita cita dan cintanya, tak akan pernah usang.

Maka untuknya yang masih saja diharubiru hidup,

Ini bukan catatan penutup

Bukan pula sajak penutup

Meski angka tahun masehi ini, segera tutup .

Tulisan ini akan jadi serupa kaca

Memantulkan jejak singgah, pada perbatasan kota

Menggambarkan warna kota, dalam sosok gadis remaja

Mencoretkan tuturan nasib, dengan tinta gadis kelana bernama Senna .

Perbatasan Kota ( mojokerto – Lamongan )

Desember 2012

Totenk MT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun