Peningkatan aktivitas militer di Laut China Selatan juga menambah ketegangan dan meningkatkan ancaman konflik terbuka. Menurut laporan dari International Institute for Strategic Studies, berbagai negara telah memperkuat kehadiran militer mereka di kawasan ini, dengan membangun dan memperkuat basis militer di pulau-pulau yang diperebutkan serta meningkatkan frekuensi patroli laut dan udara. Langkah-langkah ini, meskipun bertujuan untuk mengamankan klaim teritorial, sering kali dilihat sebagai tindakan provokatif oleh negara-negara lain yang memiliki klaim bersaing.
Pencemaran lingkungan laut menjadi permasalahan lain yang mengancam Laut China Selatan. Aktivitas eksploratif dan ekstraktif, seperti pengeboran minyak dan gas, serta pembuangan limbah dari kapal dan aktivitas industri, telah menyebabkan kerusakan pada habitat laut dan mengancam keanekaragaman hayati. Studi oleh Marine Pollution Bulletin menunjukkan bahwa polutan seperti minyak bumi dan bahan kimia dari operasi industri telah terdeteksi dalam konsentrasi yang tinggi di beberapa area, menimbulkan efek buruk pada kehidupan laut dan kesehatan manusia di kawasan pesisir.
Ancaman Konflik di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia
Meskipun Indonesia tidak memiliki klaim teritorial langsung di Laut China Selatan, negara ini memiliki kepentingan strategis dalam menjaga stabilitas kawasan karena kedekatannya dengan perairan vital Indonesia, seperti perairan Natuna yang berdekatan dengan wilayah klaim "Sepuluh Garis Putus" dari China (U.S. Energy Information Administration, 2024). Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog regional untuk memastikan bahwa stabilitas kawasan terjaga, mengingat potensi dampak konflik di Laut China Selatan terhadap keamanan nasional dan stabilitas regional, seperti yang terlihat dalam upaya peningkatan patroli dan kerja sama keamanan maritim di kawasan ASEAN (Nugraha, 2021).
Konflik terbuka di Laut China Selatan dapat mengancam jalur pelayaran internasional yang melewati perairan Indonesia, terutama di Selat Malaka, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia yang menjadi penghubung antara Samudra Hindia dan Pasifik. Global Conflict Tracker (2024) menegaskan gangguan dalam jalur ini dapat berdampak serius terhadap arus perdagangan internasional, dan secara langsung mengganggu ekonomi Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan perekonomian yang sebagian besar bergantung pada sektor maritim, kestabilan di Laut China Selatan sangat penting untuk menjaga kelancaran ekspor dan impor, serta stabilitas harga barang-barang pokok di Indonesia.
Kegiatan militer yang meningkat di Laut China Selatan juga menimbulkan kekhawatiran akan pelanggaran kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinennya. Insiden seperti kapal-kapal asing yang memasuki perairan ZEE Indonesia tanpa izin, yang telah beberapa kali dihadapi oleh Angkatan Laut Indonesia, berpotensi memicu konfrontasi. Situasi ini membutuhkan diplomasi yang cermat dan penegakan hukum maritim yang tegas untuk mencegah pelanggaran kedaulatan dan mempertahankan integritas teritorial Indonesia.
Selanjutnya, pencemaran lingkungan laut akibat konflik dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan di Laut China Selatan dapat merusak ekosistem laut di perairan Indonesia, yang kaya akan keanekaragaman hayati. Aktivitas seperti pengeboran minyak ilegal, pembuangan limbah industri, dan penangkapan ikan dengan cara yang merusak, seperti penggunaan bom ikan atau cyanide, berdampak negatif pada habitat terumbu karang dan populasi ikan. Kerusakan ini tidak hanya mengancam keanekaragaman biologis, tetapi juga mata pencaharian nelayan lokal dan industri pariwisata maritim yang bergantung pada keindahan alam dan keanekaragaman hayati laut Indonesia.
Visi Indonesia melalui Unity Harmony Oceanic Ventures
Unity Harmony Oceanic Ventures merupakan konsep visioner dari Indonesia yang bertujuan untuk memperkuat kerjasama maritim yang inklusif, damai, dan berkelanjutan di Laut China Selatan (Al-Mujaddid, 2024). Al-Mujaddid juga menegaskan melalui konsep ini, Indonesia mengajak semua negara yang terlibat dan memiliki kepentingan di kawasan ini untuk berkolaborasi dalam menciptakan stabilitas dan kemajuan ekonomi yang berkelanjutan. Gagasan ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk mempromosikan dialog dan kerjasama antarnegara di kawasan yang seringkali tegang dan konfliktual ini, dengan harapan bahwa pendekatan kolaboratif dapat meredakan ketegangan dan membangun kepercayaan di antara negara-negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan.
Visi Unity Harmony Oceanic Ventures didasarkan pada beberapa prinsip utama yang konsisten dengan norma-norma internasional dan kepentingan regional. Prinsip-prinsip ini termasuk penghormatan yang ketat terhadap hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang menetapkan pedoman jelas tentang hak dan kewajiban negara di lautan. Selain itu, visi ini juga menekankan pentingnya kerjasama regional dalam mengelola sumber daya alam yang berkelanjutan dan mengembangkan ekonomi maritim yang inklusif, yang memungkinkan semua pihak untuk merasakan manfaat dari pertumbuhan dan keamanan yang stabil di kawasan ini. Melalui pendekatan yang memprioritaskan diplomasi dan konsensus, Indonesia berharap untuk menginspirasi transformasi yang positif dalam cara negara-negara di Laut China Selatan mengelola konflik dan potensi mereka.
Sebagai negara maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi strategis dan kapasitas unik untuk bertindak sebagai mediator dan penyedia solusi dalam mengatasi tantangan di Laut China Selatan. Melalui Unity Harmony Oceanic Ventures, Indonesia berkomitmen untuk memanfaatkan peran ini secara maksimal, memfasilitasi dialog dan kerja sama yang bisa mengurangi konflik dan meningkatkan keamanan maritim (Al-Mujaddid, 2024). Konsep ini tidak hanya menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam diplomasi maritim, tetapi juga keinginannya untuk memastikan bahwa Laut China Selatan tetap sebagai zona damai dan makmur yang mendorong kerjasama ekonomi dan keamanan, serta pelestarian lingkungan bagi generasi mendatang.