Di antara maha karya yang menjadi cerminan dirinya adalah sebuah patung berjudul "Ia Ada dengan Ketiadaannya."Patung ini bukan hanya sekadar karya seni, tetapi juga manifesto filosofis tentang perjalanan hidup manusia. Dalam bentuk abstraknya, patung ini mengundang penafsiran yang tak berkesudahan, mampu berbicara dari berbagai sudut pandang. Ada elemen kekuatan, ketenangan, sekaligus kehampaan, yang menjelaskan bahwa kehidupan adalah siklus, sebuah lingkaran abadi yang bermula dan berakhir pada Sang Pencipta.
Melalui karya ini, Amrizal menghadirkan gagasan bahwa setiap bentuk yang terlihat adalah bayangan dari apa yang tak nampak, bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanyalah sebatas persinggahan sementara. Karya ini tidak hanya estetis tetapi juga menghidupkan dialog spiritual, mengingatkan bahwa setiap kita akan kembali pada-Nya. Dengan pernyataan tegas tetapi penuh lirisisme, patung ini mengajarkan bahwa untuk benar-benar mengenali diri, kita harus memahami jejak-jejak alam, dan dalam memahami alam, kita akan menemukan Tuhan.
Lebih dari sekadar seniman, Amrizal adalah seorang filsuf dalam bentuk dan ruang. Ia membebaskan seni dari sekat-sekat fisikal, menjadikannya sebagai medium yang dapat menyatukan manusia dengan kebenaran yang lebih tinggi. Setiap karyanya adalah kitab tanpa huruf, yang berbicara dengan bahasa universal yang melampaui ruang dan waktu. Patung "Ia Ada dengan Ketiadaannya" adalah bukti nyata bahwa seni memiliki kuasa untuk menjadi doa, renungan, dan bahkan perjalanan rohani menuju makna hidup yang sejati.
Amrizal percaya bahwa seni harus mampu mencerminkan peradaban manusia dan menjadi penghubung antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ia juga mengajarkan bahwa sebuah karya seni harus memiliki konteks budaya dan filosofi yang mendalam. Sebagai seorang pendidik, ia selalu menekankan pentingnya memahami sejarah dan makna di balik sebuah karya, bukan sekadar teknik atau bentuknya.
Bagi Amrizal Salayan, teknologi bukan sekadar alat, melainkan sebuah jembatan antara ide dan realisasi. Namun, ia percaya bahwa teknologi harus didekati dengan bijaksana---dijadikan katalisator kreativitas, bukan belenggu yang memenjarakan imajinasi. Dalam berbagai kesempatan, ia sering mengingatkan bahwa kemajuan teknologi harus disandingkan dengan kearifan lokal. Sebagai contoh, ia mengutip pacul, alat tradisional yang dalam situasi tertentu justru lebih efektif daripada traktor dalam kondisi tertentu. Filosofi ini meresap ke dalam setiap karya dan ajarannya, menyatukan elemen tradisional dengan sentuhan modern yang harmonis.
Namun, Amrizal juga melihat ancaman di balik kemudahan yang ditawarkan teknologi. Generasi modern, menurutnya, terkadang terjebak dalam kenyamanan, hingga kreativitas mereka terkikis oleh kemalasan berpikir. Dalam pandangannya, teknologi semestinya menjadi tangga menuju puncak inovasi, bukan sekadar alat yang membuat manusia bergantung. Ia menekankan pentingnya menjadikan teknologi sebagai sarana untuk memperkaya pemikiran kritis dan membuka wawasan, bukan sebaliknya.
Filosofi ini tidak hanya berhenti pada kata-kata, tetapi juga tercermin dalam karya-karyanya. Amrizal selalu berusaha menggambarkan keseimbangan antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan modernitas. Karya-karyanya berbicara tentang harmoni yang tercipta ketika manusia mampu memahami alat sebagai pelengkap, bukan pengganti.
Hingga saat ini, Amrizal terus menjadi sosok yang menginspirasi banyak orang melalui seni dan dedikasinya sebagai seorang pendidik. Ia adalah perwujudan nyata dari prinsip bahwa keterbatasan bukanlah penghalang, melainkan bara api yang mengobarkan semangat untuk melampaui diri. Dalam setiap langkahnya, ia menunjukkan bahwa teknologi hanyalah alat, sedangkan kreativitas dan pemikiran kritis adalah inti dari kemajuan yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H