Mohon tunggu...
Torang Siagian
Torang Siagian Mohon Tunggu... -

Seorang karyawan swasta yang berdomisili di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

ASN Buruk, Cermin Pemerintahan yang Buruk

9 Maret 2016   11:00 Diperbarui: 9 Maret 2016   12:10 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingat pepatah "buruk muka,cermin dibelah?" Pepatah yang cocok untuk melihat kinerja ASN yang 'katanya' akan dikurangi jumlahnya. Menurut saya, kinerja 'buruk' ASN bisa jadi karena beberapa faktor dan tidak semata perorangan namun bisa dilihat dari sistem dan aturan yang ada saat ini. Benahin sistemnya secara masif dan detail. Silahkan berkaca kepada perusahaan-perusahaan swasta besar dalam hal penerapan sistem monitoring kinerja para pegawainya. Silahkan juga mengadopsi sistem yang sudah mapan di negara-negara maju,kalau memang sesuai dengan lingkungan budaya kita.

Saya dilahirkan dari keluarga yang Bapak dan Ibu saya berstatus ASN sejak tahun 1977. Keduanya mengawali karier dengan golongan 1A, golongan terendah di negara ini dan menghabiskan masa pengabdiannya pada tahun 2012 dengan golongan terakhir 2C. Saat ini mereka menikmati masa pensiun dan mendapatkan tunjangan pensiun dari pemerintah, yang jumlah cukup kecil. Menurut cerita Bapak, menyekolahkan kami hingga perguruan tinggi, dengan proses babak belur adalah pencapain tertinggi dalam hidupnya,dan saya bangga atas pengorbanan kedua orang tua saya yang menjadikan pendidikan anak-anak nya, sebagai prioritas utama.

Hampir 17 tahun lamanya,saya merasakan langsung hidup bersama kedua orangtua dan adik-adik saya dan bagaimana rasanya memiliki orang tua berstatus ASN golongan rendah di negara ini. Mengandalkan gaji dari pemerintah semata,mustahil untuk bisa hidup dengan baik dan bisa menyekolahkan anak-anaknya. Kami dididik oleh orangtua untuk bisa mengolah tanah pertanian yang kadang hanya sekedar meminjam dari orang lain.Hasil pertanian seperti jagung,kacang,padi,jahe dan singkong,sedikit banyak mengangkat pendapatan keluarga.

Pendapatan lainnya bisa didapatkan oleh jasa yang diberikan oleh kedua orangtua saya yang memang bekerja di DEPKES RI sebagai mantri (lulusan SPK, Sekolah Keperawatan). Orangtua saya mendapatkan tambahan penghasilan dengan mengobati orang-orang kampung yang sakit, membantu proses persalinan dan khitanan. Alhamdulillah,hasil dari jasa ini bisa mengangkat ekonomi keluarga. Pada saat yang bersamaan (era 80-90 an) sangat sedikit tenaga mantri yang ada di kampung kami.

Intinya bahwa penghasilan bulanan dari pemerintah melalui gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya, tergolong tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami,terlebih kami termasuk keluarga besar dengan 6 orang anak. Mencari tambahan lain di luar gaji mutlak dilakukan,hal ini bisa terlihat dengan jelas di mata saya. Apalagi bila ada momen2 khusus seperti lebaran, menghadiri acara adat, perayaan tertentu di kampung yang membutuhkan dana yang tidak sedikit.Mengandalkan gaji dari pemerintah semata, sesuatu yang mustahil untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga yang ada.

Bila bercermin kepada kehidupan keluarga saya ini, alangkah baiknya ada perbaikan kedepannya oleh pemerintah untuk mau memperhatikan ASN golongan rendah dan memiliki anggota keluarga yang cukup besar.

Di sisi lain, saya mengamati 'kinerja' kedua orangtua saya sepanjang yang saya bisa lihat dan alami. Untuk memahami betul 'kinerja' mereka, tidak lah mungkin bagi saya memulai baik dan buruknya. Saya sebagai anak yang berada di luar sistem ,tidak mengerti betul apa aturan dan bagaimana aturan yang dibuat selama ini bagi mereka.

Saya mencoba menyoroti frekuensi mereka bekerja.Saya masih ingat dan alami, bahwa Bapak dan Ibu saya hanya beberapa hari saja dalam seminggu,masuk 'kantor' (dalam hal ini Puskesmas). Bapak bahkan bisa dihitung beberapa kali saja dalam sebulan mengunjungi Puskesmas di tempat beliau bekerja. Alasan beliau adalah,karena minimnya infrastruktur jalan (jalan rusak dan tidak layak untuk dipergunakan),bangunan fisik dan tenaga pendukung lainnya yang minim, ditambah bahwa masyarakat yang berdiam di daerah tempat Bapak bertugas lebih nyaman bila menggunakan Puskesmas di kota kecamatan. Bapak saya praktis tidak melakukan kewajiban nya dengan baik, dan Bapak bertugas di daerah itu,sejak awal hingga pensiun. Pengabdian beliau sebagai ASN, tidak memberikan manfaat yang signifikan kepada masyarakat, namun faktor eksternal yang tidak bisa dikontrol oleh beliau lah yang membuat beliau tidak bekerja maksimal (saya tidak ingin membela beliau karena saya anaknya). Audit kinerja beliau, mungkin saja tidak ada selama ini atau bahkan audit kinerja ASN lainnya juga tidak ada, setingkat golongan rendah seperti Bapak saya.

Sedikit berbeda halnya dengan Ibu saya,yang letak Puskesmas nya hanya 3km dari rumah kami. Kinerja Ibu mungkin sedikit lebih baik bila melihat dari frekuensi beliau bekerja. Beliau bisa full dalam seminggu bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 2 siang. Namun kadang juga, saya melihat beliau hanya masuk kerja 2-3 kali seminggu. Alasan beliau cukup unik, pasien yang tidak ada, dokter kepala yang sedang keluar daerah, atau alasan sudah izin ke orang lain untuk menggantikan peran beliau untuk sementara.

Apa yang salah dengan kedua orangtua saya? Apa yang salah dengan ASN yang ditempatkan di daerah terpencil yang minim segalanya? Bagaimana menilai kinerja mereka?

Saya bekerja sebagai karyawan swasta yang dekat dengan ibukota negara. Kinerja saya dan rekan-rekan lainnya,dipantau dengan ketat melalui "People Meeting" yang jadwalnya 4 bulanan. Setiap karyawan diadu, dengan parameter yang disetujui sebelumnya. Karier seseorang ditentukan pada rapat itu. Di awal tahun, setiap karyawan wajib memberikan "goal" yang berisi kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dengan cukup detail berikut target hasil, target waktu. Kesepakatan bisa dibuat dengan terlebih dahulu mendiskusikannya antara karyawan dengan atasan langsung. Ada momen berikutnya disaat "goal" tadi ditagih melalui "performance review" biasanya dilakukan di pertengahan tahun. Karyawan dan atasan langsung mendiskusikan hasil-hasil yang telah dilakukan dan sekaligus mencari tahu bila ada kendala dalam mencapai "goal" yang telah disetujui di awal. Karyawan memiliki hak penuh untuk menyampaikan pendapatnya dan atasan langsung secara etika, wajib mendengar pendapat bawahannya. Penilaian atasan melalui kinerja bawahan bisa dilihat pada "performance review" ini.

Apakah bawahan bisa menilai atasan? Ada mekanisme tertentu yang melibatkan lembaga independen yang bisa mengetahui performa atasan dari sisi bawahan. Kuisioner dibuat, dan bawahan bisa menilai kinerja atasan dari beberapa hal. Bawahan tidak perlu takut untuk memberikan jawaban atas kuesioner yang ada karena identitas bawahan tidak dicantumkan. Ada jumlah minimal bawahan pada atasan tertentu yang bisa mengikuti kuisioner ini (atasan yang memiliki 3-5 bawahan). Cukup adil, bukan!

Dengan sistem seperti ini, saya tidak pernah melihat ada oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan keadaan,alias mencari muka di depan atasan langsung. Kinerja individu akan diadu dengan individu lainnya secara berkala dan disesuaikan dengan "goal" yang dimiliki masing-masing karyawan. Ada karyawan tertentu yang memiliki "goal" relatif mudah,sementara karyawan lain dengan jabatan dan pangkat yang sama memiliki "goal" yang cukup banyak,tentu saja akan berpengaruh besar dalam "people meeting".

Saya melihat, bahwa sistem seperti ini, membuat setiap karyawan akan bisa memposisikan diri selama minimal setahun. Bila ingin posisi santai,buatlah "goal" santai, namun jangan berharap akan mendapatkan karier yang cukup baik. Bila ingin sedikit sibuk, buatlah "goal" yang sibuk dan ada kemungkinan memiliki karier yang baik, dan bila ingin karier yang baik, berfikir lah dengan keras untuk membuat "goal" yang terukur,berkualitas baik dan bermanfaat bagi perusahaan.

Adil, sangat adil menurut saya. Masing-masing karyawanlah yang memiliki peran penting dan utama dalam menentukan karier pribadinya bukan orang lain. Tentu saja hal ini, bisa dilakukan bila ada sistem yang baik dan sistem yang disetujui bersama dan dijadikan acuan. Dan selama saya bekerja di perusahaan ini, saya melihat cukup banyak karyawan muda yang melejit secara karier dan karyawan tua nya tidak melihat hal ini dari sisi negatif. Ada kelegowoan melihat pencapaian masing-masing individu,tanpa melihat batasan umur. Bila sudah waktunya dan kinerja nya selama ini baik,kenapa tidak, karyawan muda yang akhirnya menduduki posisi dan karier yang bagus. Karier karyawan dibentuk,difikirkan,disepakati dan diuji bukan diberikan begitu saja. Karier karyawan dibuat oleh karyawan itu sendiri.

Target dan goal yang disetujui dari karyawan tingkat rendah hingga tinggi memiliki efek berantai yang berpengaruh besar pada perusahaan. Ada atasan yang cukup agresif dan bawahan-bawahannya tidak cukup mumpuni untuk melalukannya, hal-hal seperti ini bisa juga didiskusikan pada saat "people meeting". Atasan-atasan yang bagus menginginkan bawahan-bawahan yang bagus, dan untuk mendapatkan nya harus bisa mengemukakan argumentasi yang berasalan dan kuat dalam " people meeting" tersebut. Tidak semua karyawan bagus dari sisi kinerja namun ada kesempatan bagi setiap atasan untuk memgupgrade bawahan-bawahan tertentu dengan memberikan training atau pendampingan (mentoring). Sinergi atasan-bawahan sangat penting dalam hal ini.

Saya pikir ada yang bisa dilakukan dengan baik untuk membenahi kinerja ASN yang ada di negara ini. Bila sistemnya sudah dirasa baik,lakukan pilot test dulu baru kemudian diimplementasikan dengan menyeluruh. Dari sistem yang baik ini, sangat lah mudah untuk nantinya memberhentikan ASN yang kurang baik. Dan sangat mudah pula mengapresiasi kinerja ASN yang berprestasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun