"Sekarang Mang Jaja terpaksa di pasung," ujar Emak dengan suara lirih.
"Kok di pasung,kenapa Mak?"
"Sejak keluar dari tahanan dan menerima kenyataan anak anaknya seperti itu, pikiran Mang Jaja menjadi kacau, mungkin depresi atau gimana gitu, kerap mengamuk dan membahayakan orang orang.Akhirnya terpaksa Mang Jaja dipasung." Papar Emak panjang lebar.
Hasan bergidik mendengar penjelasan Emak, seorang yang dulu dihormati kini malah menjadi gila.
       **********
Sehari lagi bulan puasa akan berakhir, besok lebaran akan tiba, Hasan menikmati liburan lebaran di kampung, bertemu kembali dengan teman masa kecilnya. Terbayang nostalgia berenang di sungai Cipager, main layangan di sawah Kadoya atau mungutin mangga di bukit Bubulak.
Rajawetan tetap menjadi kampung yang sejuk dengan hawa pegunungan. Tadi pagi Hasan berkunjung ke rumah Mang Jaja, rumah megah itu kini tak terawat, hanya ada bibi sendirian, dan Hasan sempat menengok Mang Jaja.
Mantan camat yang dulu berwibawa itu, kini meracau tak karuan, ah Mang Jaja menjadi gila dan terpasung di belakang rumah. Sempat Hasan memberikan beberap lembar seratus ribuan untuk Bibi, berkali kali Bibi mengucapkan terima kasih padanya.
"Tragis juga ya Mak nasib Mang Jaja,"ungkap Hasan pilu.
Emak mengangguk pelan, tangannya mengisikan beras ke kulit ketupat. Hasan menatap ke arah gunung Ciremai yang berdiri anggun. Ah ternyata memang jalan hidup orang tidak pernah ada yang menyangka.
Dahulu ia dihina oleh Mang Jaja dengan hinaan sehina hinanya,Mang Jaja yang pongah karena pangkat dan jabatan, tapi kini Mang Jaja jadi hilang ingatan. Bagaimana pun Mang Jaja adalah adik Abah,paman baginya.
" Mungkin selepas lebaran kita bawa Mang Jaja kita bawa ke rumah sakit jiwa untuk dirawat,"ujar Hasan kepada Emak.
"Lho kok kamu mau maunya seperti itu Hasan?"