Saat penulis di usia yang sama dengan para film maker yang berada di Bentara Budaya Jakarta dan di dapuk sebagai finalis Festiva Film Pendek Indonesia 2016 yang di selenggarakan Kompas TV, seragam putih abu abu yang menjadi khasnya siswa SMA. Bikin film adalah hal yang sangat mewah, di awang awang dan sepertinya itu hanyalah mimpi belaka, membayangkannya pun tidak berani. Namun ternyata zaman memang telah berubah banyak, kini film maker tak melulu hadir di kota kota besar yang ada di negeri ini.
Saat hadir dalam screening film yang masuk final di ajang FFPI 2016, ternyata siswa siswa SMA yang lokasinya di daerah mampu berbicara banyak dari gelaran tahunan festival film pendek. Setahun yang lalu pun anak sekolahan asal daerah mampu unjuk gigi dan kini yang luar biasa adalah lima besar FFPI 2016 tak menyisakan wakil dari ibu kota, kelima film hasil besutan di kategori pelajar semuanya dari luar Jakarta!
Kelima film itu adalah “Terminal” yang merupakan karya dari SMKN 2 Kuripan NTB, selanjutnya ada film “ 2 Hari” yang di hasilkan oleh para pelajar SMAN 1 Muara Enim Sumatera Selatan. Wakil Jawa Tengah tampil ekpresif dengan sebuah film yang berjudul “ Izinkan Saya Menikahinya” yang di garap oleh film maker SMA Rembang Purbalingga, dari pulau Andalas satu wakilnya ajeg menjadi finalis dengan film “Kihung(Jalan Menikung)” garapan SMKN 5 Bandar Lampung. Finalis lainnya adalah dengan film “ Mata Hati Djoyokardi’ persembahan SMA Khadijah Surabaya.
Untuk kategori mahasiswa kali ini wakil ibu kota benar benar menampilkan gregetnya, dari lima finalis, empat di antaranya di wakili dari kampus ibu kota. Ada pun film yang masuk saringan menuju 5 besar adalah “Different” yang di garap oleh mahasiswa Universitas Bina Nusantara, “ I Love Me” persembahan Institut Kesenian Jakarta, “Omah” karya Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Jogjakarta, “Di Ujung Jari” karya Universitas Bina Karya,” Mereguk Asa Di Teluk Jakarta” yang di hasilkan sineas dari Universitas Negeri Jakarta.
Saat Putih Abu Abuer Menangkap Humanisme Cinta Terlarang Serta Kesialan Infrastruktur
Kekuatan cerita cinta Yono dan Yati yang terhalang tembok tebal dengan stigma tentang anak keturunan partai terlarang di Indonesia, meski Yati bukanlah seorang aktifis partai dia adalah cucu dari seorang yang pernah terlibat Partai Komunis Indonesia, apa daya cinta mereka kandas gegara sebuah perbedan dari sudut pandang partai yang terlarang di republik ini, isu sensitif ini di kemas dengan alur cerita yang mengharu biru dan ini merupakan kekuatan cerita film berjudul “ Izinkan Aku Menikahimu”.
Satu film yang menurut penulis merupakan anomali dari pembangunan di republik ini adalah jalinan cerita yang di tuturkan oleh film “Kihung(Jalan Menikung)”. Meski republik ini merdeka lebih dari tujuh dekade namun ‘kesialan infrastruktur’ masih mendera dan menjadi potret buram yang sepertinya ingin di sampaikan oleh pembuat film dari SMKN 5 Bandar Lampung, film bergenre dokumenter ini menceritakan betapa infrastruktur semestinya menjadi garapan serius bagi pemerintahan agar anak bangsa bisa mencicipi legitnya pembangunan dengan mempunyai jembatan yang memadai, namun apa daya ternyata desa Kihung harus merelakan tunas tunas bangsa bersekolah dengan cara berjibaku melewati sungai berarus deras, mimpi mempunyai jembatan adalah sebuah harapan bagi penduduk desa.
Humanisme Dalam Rekaman Lensa Keseharian
Sesuatu yang kita anggap remeh temeh ternyata memiliki kekuatan untuk di ceritakan kembali dalam rekaman lensa, sineas muda daerah ternyata bisa jempolan untuk hal ini, masih di kategori pelajar, ada film berjudul “Terminal” yang memberi pelajaran berarti bahwa tak semua yang ada di terminal itu berhati ‘buas’. Identiknya terminal yang lekat dengan dunia kriminalitas, di tepis dengan lelakon manusia yang berada di terminal. Tersebutlah calon penumpang yang tertinggal tasnya dan si copet kecil yang berusaha mengambil namun ia kalah cepat dengan anak lain yang menginginkan tas harus kembali ke pemiliknya. Ending cerita terminal berakhir ceria saat si pemilik tas memberikan roti, dan ternyata roti pemberian itu di bagi juga ke si copet kecil.
Fragmen menyentuh di sampaikan dalam potongan potongan cerita “Mata Hati Djoyokardi” keikhlasan kakek Djoyokardi yang menghidupi seorang yang cacat mental patut menjadi renungan, bahwa kita tak boleh menyerah dengan keadaan.Miskin bukan berarti harus menggadaikan diri sebagai peminta minta,meski kerja serabutan namun semangat kakek Djoyokardi patut mendapat apresiasi.
“2 Hari’ seakan menuntun kita bahwa kejujuran memang masih ada di sini, tentang Christabela yang menemukan mutiara berharga di sekolah barunya, sebuah pilihan dalam sikap tentang diskriminasi dan juga kejujuran yang teropong dalam kisah besutan SMAN 1 Muaraenim.
Kejutan Animasi, Sejujurnya Ini Keren Banget Bro!
Bentara Budaya Jakarta menjelang rebah petang, usai pemutaran film pendek hasil rekaan sineas muda kategori pelajar, tiba saatnya menonton film film kreasi para mahasiswa. Dalam beberapa hal memang mahasiswa yang sering di anggap sebagai agen perubahan suatu bangsa. Dan dalam benak penulis untuk kategori ini sangat mungkin kualitas film filmnya pun bisa di pertanggung jawabkan secara tema maupun ide cerita.
Namun yang membetot perhatian penulis adalah saat di putarnya sebuah film yang berjudul “Different”, lain dari yang lain, film ini menyuguhkan karya animasi dan tentu saja ini merupakan pembeda, sentuhan artistik pada film animasi membuat penonton memberikan aplaus akan adegan demi adegan antara seorang cewek tajir dan seorang pria sederhana yang saling mencinta namun “lalu lalang” mobil seakan menjadi dinding pemisah, di ending cerita ternyata kekuatan cinta mereka mampu meluluh lantakan dan menerbangkan mobil ke udara dan akhirnya mereka pun bisa bersatu. Salut untuk Mas Gerald dari Universitas Bina Nusantara yang meracik film ini selama setengah tahun.
Belajar dari Keadaan Sekitar Dan Mengasah Kepekaan Di Balik Sebuah Kamera
Ke empat finalis FFPI 2016 sebenarnya tak kalah keren dengan film animasi Different, satu film yang lumayan menarik adalah “Mereguk Asa Di Teluk Jakarta”, manusia perahu ternyata bukan melulu monopoli pengungsi asal negara lain yang melintas samudera. Seorang dari Indramayu ternyata menjadi manusia perahu untuk hidup di perairan teluk Jakarta untuk sekedar menyambung hidup, kerasnya Jakarta tak menyurutkan mereka untuk mengorek rezeki meski pada kenyataannya laut Jakarta kini berhamburan limbah dan sampah sehingga tangkapan ikan juga semakin berkurang.
Film “Di Ujung Jari” karya Universitas Bina Nusantara seakan beririsan tema dengan film “ I Love Me” yang di usung team film maker dari Institut Kesenian Jakarta, meski tentu berbeda cerita namun porsi cerita anak kekinian yang tak lepas dari gadget merupakan inti cerita, cukup menarik menonton dua film ini, tema yang merupakan patron keseharian kita dalam memperlakukan gadget seakan terangkum dalam film ini.
Satu satunya wakil daerah yang tersisa dari kategori mahasiswa adalah film “ Omah “ karya Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Jogjakarta, kerinduan merupakan alur epik dari film ini, seorang Emak yang kangen anaknya dan berharap sang buah hati untuk kembali pulang.
FFPI Kawah Candradimuka Para Sineas Muda Indonesia
Di mulai dengan pendaftaran ide cerita film di medio 10 Mei-11 Juni 2016 hingga di titik puncak saat screening dan juga awarding pada tanggal 20 Januari 2017 di Bentara Budaya Jakarta. FFPI 2016 yang memiliki juri yakni Ifa Isfansyah, Makbul Mubarak, Deddy Risnanto dan Frans Sartono merupakan kawah candradimuka bagi para sineas muda Indonesia, jalan panjang workshop film pendek di sepuluh kota di Indonesia, melalui berbagai seleksi hingga sharing session peserta dan juri.
Kompas TV hingga saat ini telah tiga kali menyelenggarakan FFPI, dengan besarnya animo peserta dari berbagai daerah, kita meyakini bahwa bila di fasilitasi dengan baik maka potensi berkembangnya dunia sinema Indonesia terlihat cerah.Idealisme mereka tampak dalam gambar gambar yang mewakili suasana yang aktual di bangsa ini, semoga dengan kontinyunya penyelenggaraan FFPI setiap tahun, semakin terasah pula kemampuan para penggiat film maker di nusantara, bravo untuk Kompas TV!
Dan Pemenangnya Adalah.....?
Film Pendek Kategori Pelajar :
Juara 1 : Film Izinkan Aku Menikahinya
Juara 2 : Film Mata Hati Djoyokardi
Juara 3: Film Terminal
Masing masing juara berhak membawa pulang sebesar 8 juta untuk juara 1, 6 juta juara 2 dan 4 juta untuk juara 3 plus voucher menginap di hotel Amaris.
Untuk kategori mahasiswa, juara 1 di gondol oleh film I Love Me, juara 2 film different dan juara ketiga film Mereguk Asa Di Teluk Jakarta. Hadiah uang 10 juta untuk juara 1, 8 juta untuk juara 2 dan juara 3 berhak mendapatkan uang sebesar 6 juta, selain itu ada juga voucher menginap di hotel Santika.
Selamat ya untuk para pemenang, semoga kita ketemu lagi tahun depan dan menyaksikan kembali hebatnya anak muda Indonesia yang memukau penonton dengan karya keren mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H