Apa? Masya Allah... Sudah ada tiga tumpukkan uang di atas meja. Katanya, semua untukku. Kali ini, dengan nada ketus. “Silakan ambil!” Aku cukup dibuat bingung.
Mas. Maaf. Apa yang terjadi ini? “Ambil saja!” katamu lagi tanpa basa-basi. Sampeyan masih terus berdiri. Aku pun ikut berdiri.
Maaf mas. Jujur, aku memang masih butuh uang. Tapi, aku kan selalu ingat kata-katamu dulu. Ah, sampeyan kan selalu mengajarkan padaku dan pada mereka tentang banyak hal. Dapatkan uang yang halal, jangan syubhat, apalagi haram.
Betul. Aku masih ingat mas. Bla bla bla... Ah, bagiku mas ini kan contoh teladan buat banyak orang. Sampeyan ini kan simbol pribadi yang jujur, amanah, dapat dipercaya gitu lho kata-kata dan perbuatannya.
Iya, mas? Ya iyalah. Sampeyan kan telah banyak ajarkan aku tentang nilai-nilai perjuangan. Tentang nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Harus selalu bersikap setia pada kebaikan, karena hal itu akan membuat hidup seseorang menjadi tenang. Kata sampeyan, kebaikan akhirnya akan mengantar kita bertemu Tuhan. Benar, kan?
Aku akan selalu catat baik-baik mas. Sampeyan selalu mengingatkan. Perjuangan harus selalu ditegakkan. Walau berjalan di atas kerikil tajam, melewati banyak jurang yang menganga, atau lautan luas yang dalam. Aku ingat selalu kata-katamu, mas.
Sampeyan selalu mengingatkan tentang kesabaran dalam kebenaran. Tentang konsistensi, sikap istiqomah. Perjuangan yang benar memang memerlukan kesabaran. Tidak boleh ada putus asa atau menyerah. Sampeyan selalu menyitir syair lagu, “Ku yakin sampai di sana!”. Ah, itu kan kata-kata yang mirip di zaman kita mahasiswa dulu, mas. “Yakin usaha sampai...”. Betul, aku masih sangat ingat kata-kata itu. Hahahahahahahahahaha...
Blek. Tumpukan uang yang keempat menampar mulutku. Maaf, apa yang terjadi mas? Sampeyan masih terus terdiam. Ada nada kemarahan terpancar dari wajahmu. Tanganmu masih menggenggam gepokan uang itu. Apa yang barusan terjadi? Ah, aku masih belum memperoleh jawaban.
“Jangan ucapkan lagi kata-kata itu!” katamu dengan nada tinggi.
Iya, mas. Benar. Sampeyan lebih tahu tentang hal itu. Maafkan aku. Seharusnya, aku tak perlu lagi berlagak khotbah di hadapanmu. Iya, karena sampeyan jauh lebih tahu semuanya dari pada aku.
Masalahnya, mengapa sampeyan harus dengan cara seperti itu? Maafkan aku jika telah salah dan lancang bicara.