Pendahuluan
Dalam sistem hukum waris Islam, terdapat konsep penting yang dikenal sebagai "wasiat wajibah". Wasiat wajibah merupakan salah satu instrumen hukum yang memungkinkan seseorang untuk mengatur pembagian harta waris mereka di luar ketentuan waris yang ditetapkan oleh syariat Islam. Konsep wasiat wajibah memiliki peran yang signifikan dalam mengatur pewarisan harta, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan anak angkat.
Penerapan hukum waris Islam terhadap anak angkat seringkali menjadi permasalahan di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, dalam hukum Islam, pewarisan didasarkan pada hubungan darah atau nasab, sehingga anak angkat secara hukum tidak memiliki hak untuk mewarisi orang tua angkat mereka. Namun, dengan adanya konsep wasiat wajibah, ada celah hukum yang memungkinkan pewarisan kepada anak angkat.
Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang konsep dan dasar hukum wasiat wajibah dalam konteks hukum waris Islam, dengan fokus khusus pada anak angkat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang konsep wasiat wajibah dan posisi anak angkat dalam hukum waris Islam. Selain itu, artikel ini juga bertujuan memberikan rekomendasi kepada hakim agar menerapkan ketentuan wasiat wajibah dengan hati-hati dan tafsir yang cermat, demi keadilan dalam penerapan hukum waris terhadap anak angkat.
Dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai teori wasiat wajibah, diharapkan dapat ditemukan solusi yang adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam untuk memperbaiki penerapan hukum waris Islam di Indonesia
Alasan mengapa memilih judul ini
karena dalam skirpsi ini meneliti mengenai wasiat wajibah bagi anak angkat. Skirpsi ini menganalisis apakah ketentuan dalam KHI bisa dan cocok di terapkan di masyarakat.
Isi
Dalam hukum Islam, aspek utama dalam pewarisan adalah adanya hubungan darah atau nasab. Oleh karena itu, anak angkat tidak memiliki hak untuk saling mewarisi dengan orang tua angkat mereka. Namun, anak angkat dapat menerima hak melalui wasiat wajibah sesuai dengan ketentuan Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI). Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberikan putusan yang mewajibkan pemberian wasiat kepada orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada pihak tertentu dalam keadaan tertentu. Orang tua angkat memiliki kewajiban untuk memberikan wasiat wajibah kepada anak angkat mereka demi kepentingan anak tersebut, sesuai dengan tanggung jawab mereka dalam memenuhi kebutuhan anak angkat.
Dalam konteks hukum perdata, pengangkatan anak memiliki konsekuensi hukum yang menyebabkan anak angkat memiliki kedudukan yang setara dengan anak kandung dari orang tua angkatnya. Anak angkat juga memiliki hak untuk mewarisi harta dari orang tua angkat mereka. Namun, dalam hukum adat, konsekuensi hukum pengangkatan anak dapat berbeda-beda tergantung pada kelembagaan pengangkatan anak yang berlaku di wilayah tertentu. Hal ini mempengaruhi baik kedudukan maupun hak waris anak angkat.
Namun, dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak memiliki akibat hukum terkait dengan hubungan darah, hubungan wali-mewali, maupun hak waris dengan orang tua angkat. Anak angkat tetap dianggap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya dan tetap menggunakan nama ayah kandung mereka. Hubungan antara anak angkat dan orang tua angkat dalam hukum Islam serupa dengan hubungan antara individu lain, kecuali adanya ikatan kasih sayang dan bantuan sosial yang diberikan oleh orang tua angkat untuk mendidik, memberi cinta, dan membiayai kebutuhan anak angkat.
Dengan demikian, terdapat perbedaan signifikan dalam akibat hukum pengangkatan anak antara hukum perdata, hukum adat, dan hukum Islam. Dalam hukum perdata, anak angkat memiliki kedudukan dan hak waris yang setara dengan anak kandung. Di sisi lain, dalam hukum adat, akibat hukum pengangkatan anak bervariasi tergantung pada kelembagaan pengangkatan yang berlaku di wilayah tertentu. Sementara dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak memiliki pengaruh terhadap hubungan darah, hubungan wali-mewali, dan hak waris, tetapi didasarkan pada kasih sayang dan bantuan sosial yang diberikan oleh orang tua angkat kepada anak angkat dalam mendidik dan memenuhi kebutuhan mereka.
Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat. Menurut pasal ini, jika orang tua angkat dari seorang anak angkat meninggal, anak angkat berhak menerima wasiat wajibah dengan batasan maksimal 1/3 dari harta warisan yang diwasiatkan. KHI mewajibkan adanya wasiat kepada anak angkat atau orang tua angkat berdasarkan pertimbangan kemaslahatan atau untuk menghindari kemadharatan, meskipun dalam nash tidak secara spesifik dijelaskan mengenai kewajiban berwasiat kepada mereka. Dalam rangka menerapkan keadilan dan menjaga ketentraman masyarakat, pemerintah, melalui keputusan ulil amri atau pemimpin, mengatur bahwa wasiat kepada anak angkat menjadi wajib dengan batasan maksimal 1/3 dari harta warisan.
Dalam situasi ketika seseorang yang meninggal lupa untuk memberikan wasiat kepada anak angkat atau orang tua angkatnya, pemerintah, yang diwakili oleh Pengadilan Agama, memiliki wewenang untuk melaksanakan wasiat wajibah tersebut. Ketetapan KHI mengenai aturan tentang wasiat wajibah ini mengacu pada pendapat Ibn Hazm. Namun, dalam kitab-kitab fiqih tradisional, tidak dikenal adanya konsep wasiat wajibah, meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang berhak menerima wasiat wajibah.
Menurut Ibn Hazm, yang berhak menerima wasiat wajibah adalah kerabat dekat yang memiliki hubungan darah melalui nasab, baik dari pihak ayah maupun ibu. Namun, dalam KHI, yang berhak menerima wasiat wajibah adalah anak angkat.
Dengan demikian, dalam hukum waris Islam, KHI mengatur tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat dengan batasan maksimal 1/3 dari harta warisan. Meskipun konsep wasiat wajibah tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqih tradisional, KHI mengadopsi pendapat Ibn Hazm tentang siapa yang berhak menerima wasiat wajibah, yaitu anak angkat.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang membatasi harta yang diwasiatkan kepada anak angkat maksimal 1/3 dari harta peninggalan, merupakan suatu konsep baru yang mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Pasal ini dirancang dengan memperhatikan kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia, dengan menggabungkan aspek hukum adat dan melakukan koreksi sehingga tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini dilakukan dalam rangka mengaktualisasikan hukum Islam agar sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, serta memenuhi asas kemanfaatan dan asas keadilan, yang dalam hukum Islam dikenal sebagai asas maslahah dan asas 'adalah.
Kemaslahatan yang dihasilkan ketika anak angkat atau orang tua angkat diberikan wasiat wajibah adalah untuk menjaga keadilan dan ketentraman dalam keluarga. Meskipun anak angkat bukanlah anak kandung, namun orang tua angkat memiliki kewajiban yang sama terhadap anak angkat seperti halnya anak kandung. Oleh karena itu, menurut penulis, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 209 ayat (2) KHI sudah sesuai dengan hukum Islam karena memperhatikan asas maslahah dan asas 'adalah, yang merupakan prinsip utama dalam hukum Islam.
Apa rencana skripsi yang akan di tulis dan beserta argumenya
Rencana judul skripsi yang akan saya ambil adalah mengenai status perkawinan jika akad seorang mempelai pria di wakilkan. Kenapa saya mengambil judul ini, karena saya rasa di msyarakat awam banyak yang belum paham dan kurang mengerti akan hal tersebut. Jadi saya akan meneliti mengenai hal tesebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H