PENGERTIAN HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Menurut prof. R. Subekti, SH hukum perdata adalah semua hukum dasar yang mengatur segala kepentingan perseorangan.
Sedangkan menurut prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masihoen sofwan, sh berpendapat bawah hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan satu warga negara dengan yang lain.
Sedangkan dalam buku Hukum Perdata Dan Islam di Indonesia karangan Prof. Dr. H. Ahmad Rofiqq. M.A, menjelaskan bahwa hukum perdata ialah suatu hukum di dalam islam yang mengatur hubungan antara individu dengan individu dan individu dengan kelompok di lingkungan negara indonesia.
PRINSIP PERKAWINAN MENURUT UU1 TAHUN 1974 DAN KHI
Defini perkawinan juga sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 yang berbunyi: Perkawinan menurut hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kata miitsaaqan ghaliidhan ini ditarik dari firman Allah SWT:
"Dan bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu,padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (miitsaaqanghaliizhan)".
Berkenaan dengan tujuan perkawinan tersebut dimuat dalam pasal berikutnya yaitu pasal 3 yang berbunyi: "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (tenteram, cinta dan kasih sayang)".
Tujuan ini juga dirumuskan melalui firman Allah SWT: "Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih saying. Sesugguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berfikir.
Menurut UU. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, definisi perkawinan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 adalah: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut pasal diatas sebuah perkawinan memiliki sebuah ikatan yang erat dengan agama, kerohanian sehingga tidak hanya memiliki unsur lahiriyah saja melainkan memiliki unsur bathiniyah juga (Rohani), sebagaimana disebutkan dalam Pancasila pada sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip perkawinan yang hidup dan tumbuh di masyarakat menurut UU No. 1 Tahun 1974 disyaratkan adanya persetujuan dari kedua belah pihak (calon mempelai), sebagai syarat/peminangan, pemberian mahar, dalam akad nikah, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, wali dari pihak, calon mempelai perempuan dan setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.