Mohon tunggu...
Topaz Aditia
Topaz Aditia Mohon Tunggu... Musisi - Bohemian Thinker

Pemetik Dawai Dawai Lucu | Petualang Roda Dua | Peselancar Literatur | Arsenal FC

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Healing: Sebuah Paradoks Utopia

5 Oktober 2022   17:15 Diperbarui: 5 Oktober 2022   17:19 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di sudut sebuah restoran terlihat seorang ayah bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia pra-remaja. Mereka tampak sedang menikmati kebersamaan di Minggu siang itu. 

Pemandangan seperti ini sebenarnya sangat membuat hati tenteram. Karena berkumpul bersama keluarga pastinya merupakan sebuah momentum indah yang akan dikenang sepanjang masa oleh masing-masing individu di dalamnya. 

Namun sayangnya, kali ini bukan itu yang terjadi.  

Ada sebuah anomali yang saya saksikan sedang terjadi di tengah keharmonisan tersebut. Mereka berkumpul dan duduk berdekatan... namun tanpa suara dan interaksi dengan sesamanya. Sang ayah sedang sibuk scrolling sesuatu di layar hpnya. Sang bunda tampak aktif kedua ibu jari tangannya mengetik teks di hpnya. 

Sedangkan kedua anaknya terlihat sedang bermain game online. Jangankan mengobrol atau bersenda gurau, adegan saling bertukar pandang satu sama lain saja tidak terjadi. Lalu di mana letak nilai kebersamaannya? 

Sementara itu di tempat yang sama, sepasang insan dengan gestur pedekate terlihat mengorder dua gelas cappuccino. Duduk terpisahkan oleh sebuah meja kecil, mereka tampak gugup untuk mencari materi awal perbincangan. Sang pria muda sesekali mengucapkan sepatah-dua patah kalimat diiringi dengan senyuman kecil. 

Disambut oleh sang wanita dengan tertawa sambil menutup bibir menggunakan telapak tangannya. Adegan yang sungguh sangat manusiawi dan wajar terjadi di kehidupan sosial dari masa ke masa. Kali ini saya optimis. 

Namun tak lama kemudian, semua menjadi hening. 

Dua gelas cappuccino pesanan yang baru saja diantar oleh seorang waitress seolah menjadi penutup semua kisah di atas. Ketika masing-masing dari pasangan tersebut mengeluarkan hpnya dan mulai sibuk dengan dunianya masing-masing. 

"jiwa-jiwa hampa di tengah gempita teknologi. Mereka telah menciptakan surganya sendiri. Tanpa proses kematian"

Media sosial: Hegemoni Marxis ortodoks di balik kebebasan berekspresi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun