Di sudut sebuah restoran terlihat seorang ayah bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia pra-remaja. Mereka tampak sedang menikmati kebersamaan di Minggu siang itu.Â
Pemandangan seperti ini sebenarnya sangat membuat hati tenteram. Karena berkumpul bersama keluarga pastinya merupakan sebuah momentum indah yang akan dikenang sepanjang masa oleh masing-masing individu di dalamnya.Â
Namun sayangnya, kali ini bukan itu yang terjadi. Â
Ada sebuah anomali yang saya saksikan sedang terjadi di tengah keharmonisan tersebut. Mereka berkumpul dan duduk berdekatan... namun tanpa suara dan interaksi dengan sesamanya. Sang ayah sedang sibuk scrolling sesuatu di layar hpnya. Sang bunda tampak aktif kedua ibu jari tangannya mengetik teks di hpnya.Â
Sedangkan kedua anaknya terlihat sedang bermain game online. Jangankan mengobrol atau bersenda gurau, adegan saling bertukar pandang satu sama lain saja tidak terjadi. Lalu di mana letak nilai kebersamaannya?Â
Sementara itu di tempat yang sama, sepasang insan dengan gestur pedekate terlihat mengorder dua gelas cappuccino. Duduk terpisahkan oleh sebuah meja kecil, mereka tampak gugup untuk mencari materi awal perbincangan. Sang pria muda sesekali mengucapkan sepatah-dua patah kalimat diiringi dengan senyuman kecil.Â
Disambut oleh sang wanita dengan tertawa sambil menutup bibir menggunakan telapak tangannya. Adegan yang sungguh sangat manusiawi dan wajar terjadi di kehidupan sosial dari masa ke masa. Kali ini saya optimis.Â
Namun tak lama kemudian, semua menjadi hening.Â
Dua gelas cappuccino pesanan yang baru saja diantar oleh seorang waitress seolah menjadi penutup semua kisah di atas. Ketika masing-masing dari pasangan tersebut mengeluarkan hpnya dan mulai sibuk dengan dunianya masing-masing.Â
"jiwa-jiwa hampa di tengah gempita teknologi. Mereka telah menciptakan surganya sendiri. Tanpa proses kematian"
Media sosial: Hegemoni Marxis ortodoks di balik kebebasan berekspresi