Naluri jurnalistikku bangkit. Ah.... ini orang news value-nya tinggi. Â Terlalu mahal tidak digali. Terlalu istimewa jika dibiarkan berlalu begitu saja. Orang ini harus diberi panggung. Diberi tempat. Biar jadi inspirasi, jadi contoh buat petugas kesehatan, para bidan desa, terutama.
Pengumuman petugas airline untuk segera boarding menghentikan obrolan kami. Berbaris kami menuju pintu keberangkatan dan selanjutnya bergegas menuju pesawat. Â Terbang ke Surabaya dan selanjutnya ke Banjarmasin. Di kepala saya sudah banyak informasi yang didapat. Tinggal menggali lagi di Banjarmasin.
Malam itu, selepas mengisi perut kami lanjut ngobrol di lobi Hotel G'Sign, Banjarmasin.  Oni mulai mengisahkan perjalanan panjangnya.  "Tamat dari Lela (Sekolah Perawat Kesehatan Sta. Elisabeth Lela, Sikka-pen) tahun 1992 saya ke Surabaya. Ambil D3 Kebidanan di Mardi Sentosa Surabaya. Tahun 1995 tamat. Kemudian  saya jadi bidan desa di Malang,  Jawa Timur," tuturnya.
Berprofesi sebagai bidan desa di Malang ditekuni Oni selama tiga tahun. Tahun  1998, Oni lulus tes pegawai negeri sipil di Flores Timur, kampung halamannya.  Lulus seleksi, Oni ditempatkan di Desa Turubeang, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur setahun sesudahnya, yakni  tahun 1999. "Saya ditempatkan pertama di Turubeang," katanya tersenyum.
Mendengar Turubeang saya terperangah, tak percaya. Membayangkan di tahun 1998, seorang perempuan muda ditempatkan di ujung timur Pulau Flores ini dengan semua kekurangannya.
Di Flores Timur, Turubeang (maaf) masih identik dengan  ketertinggalan. Bulan Maret 2019 lalu ketika  kaki menjejak desa ini untuk pertama kali, saya terhenyak. Semua akses sulit.  Ruas jalan minta ampun parahnya. Hanya dua unit pick up  milik warga Turubeang yang rutin melewati. Pagi ke Larantuka, sore balik ke Turubeang.  Ruas jalan tanah berbatu dari Danau Asmara menuju Turubeang  parah. Lubang menganga di mana-mana. Serba bopeng.
Pertama kali datang itu, saya berguyon kepada warga setempat, Turubeang belum merdeka. Merdeka dari penderitaan, maksud saya. Bukan merdeka dari penjajah.
Listrik belum ada. Warga yang mampu membeli generator zet untuk penerangan. Sinyal handphone jadi barang mahal. Siapa saja yang mau menelepon atau mengirim SMS mesti keluar kampung menuju hutan mencari 'titik sinyal'. Mau nonton televisi, susah. Siaran radio hanya datang dari Maumere dan Makassar.
Desa Turubeang yang sekarang ini desa baru. Sebelum  gempa tektonik mengguncang Flores 12 Desember 1992, Turubeang asli terletak di pinggir pantai. Gempa disertai tsunami hebat itu menyapu dan menghilangkan desa ini dengan lebih dari separuh warganya tanpa jejak. Warga yang selamat kemudian pindah ke bukit dan menetap hingga sekarang.
Di desa dengan fasilitas seadanya inilah medan bakti pertama Oni sebagai abdi negara, bidan desa di  Flores Timur. "Kami jalan kaki dari Riangpuho ke Turubeang. Jalan pikul dengan semua perlengkapan makan minum, tas pakaian dan semua keperluan rumah," kenang Oni.