Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kusrin dan Branding Produk UKM

19 Februari 2016   16:57 Diperbarui: 19 Februari 2016   17:35 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Muhammad Kusrin (41) warga Desa Jati Kuwung, Kecamatan Karanganyar Jawa Tengah diringkus polisi. Kasus Kusrin menyita perhatian para netizen di dunia maya beberapa waktu lalu. Kusrin bukanlah tersangka teroris atau pencuri, dia hanya seorang pengusaha kecil.

Kusrin diamankan polisi karena memproduksi dan mengedarkan produk yang tidak memenuhi standar SNI (Standar Nasional Indonesia). Bersamaan dengan ditangkapnya Kusrin, polisi memusnahkan ratusan pesawat TV Rakitan produksi Kusrin.

Kusrin sosok pengusaha kecil yang kreatif. Ia merakit TV dari monitor tabung (Cathode Ray Tube) bekas komputer. Dari usahanya dia bukan hanya memperoleh penghasilan, namun juga memperkerjakan belasan karyawan di ‘home industry’ di Dusun Wonosari, Desa Jati Kuwung. Seperti dikutip beberapa media, dalam satu jam dia bisa merakit 4 unit TV. Satu unit televisi dibandrol Rp400 ribu – Rp500 ribu.

Kusrin tidak sampai dimejahijaukan, justru dia diundang ke Istana untuk bertemu langsung dengan Presiden Jokowi. Kusrin akhirnya memperoleh SNI dan mendapatkan bantuan modal dari Presiden Jokowi. Kusrin semakin mantap menekuni usahanya, bahkan dia berniat mempatenkan merek  Maxreen.

Kasus Kusrin memberi pelajaran banyak hal pada kita semua. Di tengah masih tingginya angka pengangguran, Kusrin yang cuma tamatan SD justru menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Sementara  jutaan lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran karena tidak terserap pasar tenaga kerja.

Jika negara kita ingin maju dan makmur, salah satu yang harus didorong semangat kewirausahaan (entrepreneurship). Seperti yang sudah sering kita dengar, David McClelland, sosiolog Amerika Serikat mengatakan, suatu negara akan makmur jika memiliki jumlah wirausahawan minimal 2 persen dari jumlah penduduknya.

Sebagai perbandingan, jumlah pengusaha di Singapura mencapai 7,2 persen dari total penduduknya, Thailand 4,1 persen, Korsel 4 persen, China dan Jepang 10% dan Amerika Serikat 11,5%. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, jumlah pengusaha di Indonesia baru mencapai 1,65 persen dari jumlah penduduk saat ini.

Jumlah usahawan  yang hanya 2 persen dari jumlah penduduk mengindikasikan hanya 2 orang dari 100 penduduk yang membuka lapangan pekerjaan. Jika dari 240 juta penduduk Indonesia yang menjadi usahawan hanya 1,65 persen, berarti ada sekitar 3,9 juta penduduk yang menciptakan lapangan kerja.  Andaikata satu pengusaha rata-rata mampu menciptakan 10 tenaga kerja, maka total tenaga kerja yang berhasil diserap sekitar 39 juta tenaga kerja.

Mengapa kewirausahaan sangat penting bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa? Jawabannya sederhana, karena wirausaha mampu menciptakan lapangan kerja, sehingga kita terlalu bergantung pada pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja.

Menimbang vitalnya peran pengusaha dalam menciptakan lapangan kerja dan kemakmuran, pemerintah mencanangkan ‘Gerakan Kewirausahaan Nasional’ (GKN). Program ini bertujuan melahirkan pengusaha baru. GKN ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2011 di era pemeritahan SBY.

Di bawah era pemerintahan Jokowi kita berharap GKN makin menunjukan gregetnya. Karena Jokowi dikenal sebagai presiden yang gandrung dengan ekonomi kerakyatan. Di sisi lain, dalam Nawacita pemerintahan Jokowi terselip amanat untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Tidak mudah menumbuhkan gelombang pengusaha baru Indonesia, karena kita masih menghadapi kendala struktural seperti permodalan, kualitas produk, dan pemasaran. Namun di tengah keterbatasan tersebut semangat kewirausahaan tetap menyala di bumi Indonesia. Hal ini terlihat dari sosok Kusrin.

Namun di balik kemunculan kasus Kusrin menandakan di era otonomi daerah, pemda belum optimal dalam mendorong semangat kewirausahaan. Harusnya pemda memfasilitasi pengusaha-pengusaha baru untuk tumbuh berkembang, baik dari segi permodalan, penguasaan teknologi, dan pemasaran produk.

Jangan-jangan Kusrin mencerminkan fenomena gunung es. Masih banyak Kusrin-Kusrin lain di berbagai daerah Indonesia tapi tidak terekspos media. Mereka sebenarnya potensial tapi sulit berkembang, karena dihadapkan pada berbagai persoalan teknis seperti tidak mengantongi sertifikat SNI atau memiliki hak cipta. Sungguh ironis, di sisi lain pemda getol mengundang investasi dari luar, di sisi lain mereka mengabaikan semangat kewirausahaan putra-putra daerah.

Pengusaha baru berskala UKM harus dibantu bukan semata alasan etis membantu yang lemah. Mereka layak dibantu karena ibarat bayi mereka harus diajarkan bagaimana cara berdiri, berjalan, sebelum akhirnya bisa berlari. Semua fase ini telah dilalui perusahaan-perusahaan besar. Bukankah perusahaan-perusahaan besar seperti McDonald’s, Toyota, dan Apple berawal dari perusahaan kecil.

Terkait UKM kita bisa mencontoh Singapura. Negara mungil ini dikenal piawai dalam menciptakan UKM tangguh. Pemerintah di sana melalui International Enterprise Singapore (IE Singapore) dan Association of Small and Medium Enterprises (ASME) mendorong tumbuhnya UKM. UKM di sana bukan hanya dibantu untuk menjadi pemain lokal, tapi juga dipacu menjadi global player melalui branding dan kepemilikan hak cipta.

Pemerintah Singapura sejak tiga dekade lalu telah mengubah arah kebijakan industrinya. Sampai tahun 80-an UKM di Singapura diarahkan untuk menjadi pemasok produk-produk manfaktur ke perusahaan multinasional. Namun dalam perkembangannya produk manufaktur UKM Singapura sulit bersaing dengan produk manufaktur dari Malaysia dan Tiongkok. Kedua negara ini menawarkan ongkos produksi yang lebih murah.

Akhirnya pemerintah Singapura putar haluan dengan mendorong UKM untuk fokus pada branding agar bisa tumbah secara langgeng. Hasilnya bisa kita lihat sendiri, BreadTalk dan Charles & Keith adalah contoh perusahaan UKM Singapura yang akhirnya menjadi besar karena melakukan branding

Bagaimana dengan Indonesia? Kita memiliki institusi seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional), dan Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif). Institusi ini sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk melahirkan UKM berdaya saing. Hanya saja yang kita tunggu sinergi seluruh pemangku kepentingan dan kebijakan visioner yang mudah dimplementasikan di lapangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun