Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kusrin dan Branding Produk UKM

19 Februari 2016   16:57 Diperbarui: 19 Februari 2016   17:35 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tidak mudah menumbuhkan gelombang pengusaha baru Indonesia, karena kita masih menghadapi kendala struktural seperti permodalan, kualitas produk, dan pemasaran. Namun di tengah keterbatasan tersebut semangat kewirausahaan tetap menyala di bumi Indonesia. Hal ini terlihat dari sosok Kusrin.

Namun di balik kemunculan kasus Kusrin menandakan di era otonomi daerah, pemda belum optimal dalam mendorong semangat kewirausahaan. Harusnya pemda memfasilitasi pengusaha-pengusaha baru untuk tumbuh berkembang, baik dari segi permodalan, penguasaan teknologi, dan pemasaran produk.

Jangan-jangan Kusrin mencerminkan fenomena gunung es. Masih banyak Kusrin-Kusrin lain di berbagai daerah Indonesia tapi tidak terekspos media. Mereka sebenarnya potensial tapi sulit berkembang, karena dihadapkan pada berbagai persoalan teknis seperti tidak mengantongi sertifikat SNI atau memiliki hak cipta. Sungguh ironis, di sisi lain pemda getol mengundang investasi dari luar, di sisi lain mereka mengabaikan semangat kewirausahaan putra-putra daerah.

Pengusaha baru berskala UKM harus dibantu bukan semata alasan etis membantu yang lemah. Mereka layak dibantu karena ibarat bayi mereka harus diajarkan bagaimana cara berdiri, berjalan, sebelum akhirnya bisa berlari. Semua fase ini telah dilalui perusahaan-perusahaan besar. Bukankah perusahaan-perusahaan besar seperti McDonald’s, Toyota, dan Apple berawal dari perusahaan kecil.

Terkait UKM kita bisa mencontoh Singapura. Negara mungil ini dikenal piawai dalam menciptakan UKM tangguh. Pemerintah di sana melalui International Enterprise Singapore (IE Singapore) dan Association of Small and Medium Enterprises (ASME) mendorong tumbuhnya UKM. UKM di sana bukan hanya dibantu untuk menjadi pemain lokal, tapi juga dipacu menjadi global player melalui branding dan kepemilikan hak cipta.

Pemerintah Singapura sejak tiga dekade lalu telah mengubah arah kebijakan industrinya. Sampai tahun 80-an UKM di Singapura diarahkan untuk menjadi pemasok produk-produk manfaktur ke perusahaan multinasional. Namun dalam perkembangannya produk manufaktur UKM Singapura sulit bersaing dengan produk manufaktur dari Malaysia dan Tiongkok. Kedua negara ini menawarkan ongkos produksi yang lebih murah.

Akhirnya pemerintah Singapura putar haluan dengan mendorong UKM untuk fokus pada branding agar bisa tumbah secara langgeng. Hasilnya bisa kita lihat sendiri, BreadTalk dan Charles & Keith adalah contoh perusahaan UKM Singapura yang akhirnya menjadi besar karena melakukan branding

Bagaimana dengan Indonesia? Kita memiliki institusi seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional), dan Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif). Institusi ini sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk melahirkan UKM berdaya saing. Hanya saja yang kita tunggu sinergi seluruh pemangku kepentingan dan kebijakan visioner yang mudah dimplementasikan di lapangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun