Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik dan Marketing: Serupa tapi Tidak Sama

16 November 2015   11:13 Diperbarui: 16 November 2015   11:36 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Istimewa"][/caption]

Penelitian di Amerika Serikat membuktikan pola perilaku yang sama ketika orang memutuskan untuk memilih sesuatu. Hal ini bermanfaat bukan hanya diterapkan di dunia marketing tapi juga politik.

Sebentar lagi iklim politik kita akan semarak menyusul akan digelarnya Pilkada Serentak. Bisa dipastikan tim sukses masing-masing calon pasangan akan mengerahkan semua kemampuannya untuk memenangkan calon yang diusung. Bukan tidak mungkin parta-partai pengusung akan menyewa konsultan politik yang sejatinya melakukan aktivitas yang lazim dilakukan di dunia pemasaran, seperti riset konstituen, riset elektabilitas calon yang diusung dan calon lain yang menjadi kompetitor, menentukan positioning calon, menyusun materi kampanye, hingga pemilihan media untuk beriklan (media placement).

Praktik marketing politik di Indonesia mulai ramai sejak runtuhnya rezim orde baru. Liberalisasi politik yang melahirkan multi partai dan pemilihan langsung (Pilpres dan Pilkada) membuat peserta pemilu (partai politik, calon legislatif, calon presiden, calon kepala daerah) memasuki baru baru, yakni era kompetisi yang sesungguhnya. Mirip dengan yang terjadi di dunia bisnis, dimana setiap merek (layanan dan jasa) bersaing untuk mendapatkan konsumen dan pelanggan.

Seberapa dekat marketing dengan politik? Jonah Berger dalam bukunya “Contagious” Rahasia di Balik Produk dan Gagasan Yang Populer", memaparkan hasil eksperimen peniliti musik Adrian North, David Hargreaves, dan Jennifer McKendrick. Eksperimen tersebut untuk mengetahui bagaimana musik yang diperdengarkan di supermarket memengaruhi perilaku belanja.

Ketika musik Perancis dimainkan, kebanyakan pembeli memilih wine dari Perancis. Ketika musik Jerman diputar, kebanyakan pembeli membeli wine buatan Jerman. Menurut Jonah dengan memicu konsumen untuk berpikir tentang negara-negara lain, musik berpengaruh terhadap penjualan produk tertentu. Musik membuat gagasan-gagasan yang berhubungan dengan negara tersebut lebih mudah diakses, dan gagasan yang mudah diakses itu ikut memengaruhi perilaku.

Eksperimen di atas membuktikan bagaimana sebuah pemicu bisa menimbulkan perilaku tertentu. Hasil penelitian di ranah politik ternyata menyiratkan hal yang sama, dimana pemicu bisa mengarahkan perilaku pemilih. Seperti di Indonesia, pemilu di Amerika Serikat juga diselenggarakan di sarana publik seperti gedung pemadam kebakaran, pengadilan, sekolah, atau gereja. Yang mencengangkan, ternyata gedung tempat pemungutan suara ikut menentukan perilaku pemilih.

Jonah dan kawan-kawan melakukan penilitan terhadap hasil pemilu tahun 2000 di Arizona. Penilitian difokuskan pada pemungutan suara untuk menentukan usulan menaikan pajak penjualan dari 5,0 persen menjadi 5,6 persen guna mendukung pendanaan sekolah-sekolah negeri. Prakarsa ini telah menjadi perdebatan yang hangat.

Hasilnya di gedung sekolah yang menjadi TPS, jumlah suara yang mendukung prakarsa pendanaan sekolah angkanya 10 ribu lebih tinggi dibandingkan gedung-gedung lain yang menjadi TPS. Temuan lain, pemilih yang tinggal dekat sekolah dan ditentukan untuk memilih di gedung sekolah versus pemilih yang tinggal dekat sekolah tapi harus memberikan suara di tempat lain. Persentase orang yang memilih di sekolah dan mendukung kenaikan dana untuk pendidikan secara signifikan lebih tinggi. Dalam kasus ini gedung sekolah menjadi pemicu orang untuk memilih kenaikan dana pendidikan.

Pada kasus Indonesia kita bisa memahami mengapa menjelang hari pencoblosan KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai penyelenggara Pemilu memerintahkan semua partai politik membersihkan berbagai atribut (bendera partai, spanduk/selebaran kampanye, foto kandidat), karena dikhawatirkan akan memengaruhi pilihan orang ketika masuk ke dalam bilik suara, meskipun di kepalanya sudah ada calon yang akan dicoblosnya. Dalam kontek di atas, berbagai atribut tersebut dikhawatirkan menjadi pemicu yang mengarahkan pilihan orang saat pencoblosan di dalam bilik suara.

Marketing Politik

Firmanzah dalam bukunya “Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas” menjelaskan kegunaan marketing dalam dunia politik. Menurut Firmanzah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, semakin terintegrasinya masyarakat global, dan tekanan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, institusi politik membutuhkan pendekatan alternatif lain untuk membangun hubungan dengan konstituen dan masyarakat luas. Di sini marketing sebagai sebuah disiplin ilmu yang berkembang dalam dunia bisnis diasumsikan berguna bagi institusi politik.

Meski begitu tetap ada perbedaan yang mendasar antara politik dan marketing. Dalam politik sesungguhnya yang dijual sesuatu yang intangible seperti nilai-nilai dan gagasan. Sementara marketing menjual yang tangible, yaitu produk atau jasa. Walaupun dalam perkembangan selanjutnya karena persaingan yang makin sengit, produsen juga melekatkan sesuatu yang intangible pada produk mereka. Misalnya menciptakan kesan merek (brand image) dan asosiasi merek (brand association) terhadap produk/jasa mereka.

Menurut Firmanzah, marketing politik tetap berbeda dengan marketing komersial. Marketing politik bukanlah konsep untuk menjual partai politik atau kandidat presidensial ke pemilih, namun sebuah konsep yang menawarkan bagaimana sebuah partai politik atau kontestan bisa membuat program yang berhubungan dengan permasalahan yang aktual.

Mengikuti logika Firmanzah berarti partai politik harus berorientasi pada konstituen (constituent oriented) dan responsif terhadap tuntutan konstituen. Di samping itu, partai politik harus pandai mengomunikasikan visi dan misi mereka dengan bahasa dan medium yang relevan dengan konstituen. Dalam konteks ini partai politik bisa belajar dari pemasar di dunia bisnis.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah MARKETING edisi Oktober 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun