Saya mengukur diri, tahu diri, tahu batas kemampuan dan kompetensi. Sebab, jabatan Sekjen bukan untuk coba-coba apalagi sekadar gaya-gaya-an. Terlebih, PSSI tidak pernah berhenti dituntut oleh publik sepak bola nasional untuk berprestasi. Jadi, Sekjen memang wajib dipegang oleh yang memiliki kompetensi, sesuai kualifikasi, plus mahir dalam bahasa asing (terutama Inggris).
Saat saya tahu, ternyata ada delapan pelamar yang tidak hadir tes, termasuk saya. Saya tak henti mengikuti perkembangan seleksi yang akhirnya diikuti oleh 24 pelamar, di dalamnya ada Ratu Tisha. Pada akhirnya, ekspetasi dan prediksi saya tepat. Setelah melalui seluruh proses seleksi, Ratu Tisha terpilih menjadi Sekjen.
Setelah menjadi Sekjen, Ratu Tisha pun cukup berkelas menjalankan jobnya bahkan meraih beberapa prestasi, Â termasuk menjadi Wakil Presiden AFF, membawa Shin Tae-yong ke Indonesia, hingga terpilihnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Ukur diri
Jujur, dengan jumlah 100 orang mendaftar sebagai balon Ketua, Wakil, dan Exco PSSI, dan menilik nama-namanya, saya kembali seperti sedang bercermin dengan pengalaman saya melamar menjadi Sekjen, namun sebelum tes sudah tahu diri, sudah mengukur diri, sejatinya saya punya kompetensi dan pengalaman terkait organisasi, kepemimpinan, dan sepak bola di bagian yang mana.
Setelah bercermin, saya sangat yakin dapat membantu PSSI dan sepak bola Indonesia di bagian mana. Bukan menjadi Sekjen. Tetapi saya sangat yakin mampu dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk sepak bola Indonesia di bagian yang sangat vital, lho. Orang-orang PSSI dan sahabat-sahabat saya, tentu tahu itu.
Karenanya, saya berharap, dari 100 orang yang sudah mendaftar menjadi balon Ketua, Wakil, dan Exco PSSI, tolonglah bercermin lagi. Lihat diri sendiri. Lihat kemampuan diri sendiri. Lalu, pikirkan apa tujuannya mendaftar? Untuk apa?
Ingat, publik sepak bola nasional sedang sensitif karena PSSI tidak kunjung memberikan prestasi tetapi sebaliknya terus memberikan sakit hati. Jadi, menjadi Ketua, Wakil, dan Exco PSSI bukan untuk gaya-gaya-an. Bukan untuk coba-coba, atau numpang tenar secara instan.
PSSI kini butuh dibersihkan dari tangan-tangan kotor. Karenanya wajib dipimpin oleh Ketua, Wakil, dan Exco yang kompeten, kaya hati dan kaya harta, bukan menjadikan PSSI kendaraan politik, tempat cari makan, dan sarang mafia.
Lihatlah, sosok-sosok yang dicurigai kotor (mafia) oleh publik, ternyata sebagian besar masih ada di dalam 100 orang yang mendaftar itu. Mau ke mana PSSI bila mereka masih terus menjadi benalu?
Meski, Ketua Pemilihan PSSI, Amir Burhannudin memberikan apresiasi yang tinggi terhadap antusiasme para pendaftar yang berasal dari berbagai latar belakang profesi. Tetapi benarkah, hal itu menunjukkan bahwa banyak yang berkeinginan untuk membangun masa depan PSSI lebih maju dan berprestasi? Atau menunjukkan bahwa mafia sepak bola nasional tidak mau enyah dari PSSI?