2022 - 2023 hanya berbeda angka. Kisah kehidupan akan sama. Konsiten bercermin agar selalu mampu melihat diri sendiri, melihat ke belakang. Memanfaatkan setiap kesempatan dengan kaya hati cerdas akal pikiran. Perbaiki kegagalan,  raih impian tidak memaksakan, sesuai kemampuan di jalan  yang benar dan kebaikan.
(Supartono JW.31122022)
Euforia menjelang hadirnya angka 2023 yang berarti tahun 2022 bergeser ke tahun baru, selalu luar biasa di belahan dunia mana saja, tidak terkecuali di Indonesia.Â
Tradisinya, ada acara begadang hingga detik-detik pergantian tahun. Ada terompet. Ada BBQ-an. Ada menerbangkan balon/lentera ke langit. Ada konser musik. Ada konvoi kendaraan. Ada pesta kembang api.
Semua di lakukan di berbagai tempat. Di desa sampai kota. Di rumah, komplek, tempat keramaian, tempat wisata, dll. Semua sekadar memaknai hadirnya hari permulaan tahun, awal tahun baru.
Sejatinya tahun 2022 dan 2023 hanya hanya berbeda angka. Kisah kehidupannya baik di 2022 atau 2023 tentu akan sama. Ada bahagia ada derita. Ada susah, ada mudah. Ada senang, ada sedih. Ada berhasil, ada gagal, dan seterusnya.
Dalam prosesnya, setiap manusia akan merasakan itu semua. Sebagai catatan, yang konsisten bercermin, melihat siapa dirinya. Merefleksi diri. Melihat apa yang sudah dilewati di belakang. Apakah gagal atau berhasil. Semua dijadikan pedoman untuk tidak mengulang kesalahan.
Siapa yang memanfaatkan setiap kesempatan yang datang. Menyambutnya dengan kaya hati, cerdas akal dan pikiran, tentu akan dimudahkan, dijauhkan dari kegagalan. Akan selalu ada jalan demi meraih impian. Tetapi mengalir. Tidak memaksakan diri di luar batas dan kemampuan. Di jalan yang benar dan kebaikan.
Itulah hakikat menyambut hadirnya awal permulaan tahun, seperti sejarahnya.
Sejarah tahun baru
Dari berbagai literasi, perayaan tahun baru, awalnya dimulai di Timur Tengah pada 2000 SM. Selanjutnya, penduduk Mesopotamia merayakan pergantian tahun saat matahari tepat berada di atas katulistiwa, atau tepatnya 20 Maret.Â
Karenanya, hingga kini, para bangsa persia masih merayakan tahun baru pada tanggal 20, 21, atau 22 Maret, yang disebut Nowruz. Hal ini menandakan dimulainya musim semi. Nowruz adalah tradisi 3.000 tahun yang unik dan tradisi festival tertua di dunia. Dirayakan oleh negara-negara di antaranya: Iran, Afghanistan, Azerbaijan, Kazakhstan,Pakistan, Turki, dan Uzbekistan.
Sementara China merayakan tahun baru saat matahari terbenam di bulan baru dalam tanda Aquarius (akhir Januari atau awal Februari). Menurut kalender Ibrani, tahun baru didasarkan pada 12 bulan lunar (13 dalam tahun-tahun tertentu) dari 29 atau 30 hari.Â
Lalu, hari tahun baru Yahudi atau Rosh Hashanah dapat jatuh kapan saja dari 6 September hingga 5 Oktober dalam kalender Gregorian.Â
Dalam Kalender Islam (Hijr) lebih banyak digunakan didasarkan pada 12 bulan lunar yang terdiri dari 29 atau 30 hari. Dengan demikian, tahun baru islam secara bertahap mundur melalui kalender Gregorian yang lebih panjang.Â
Berbeda dengan umat Hindu, tahun baru Hindu dimulai pada hari setelah bulan baru pertama atau setelah ekuinoks musim semi.
Tahun Baru Masehi
Mengapa tahun baru yang kini diperingati oleh bangsa di seluruh dunia adalah Tahun Baru Masehi?
Kisahnya, penanggalan Masehi, Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.Â
Dalam mendesain kalender baru, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah Mesir, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir kuno.Â
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.Â
Nama Januari diambil dari nama dewa dalam mitologi Romawi, yaitu Dewa Janus yang memiliki dua wajah yang menghadap ke depan dan belakang. Penduduk Romawi meyakini bahwa Dewa Janus adalah dewa permulaan sekaligus dewa penjaga pintu masuk.Â
Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh pada tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Dan, pada akhirnya, Tahun Masehi, baru dihitung dan ditetapkan sejak kelahiran Isa Al-Masih dari Nazaret, yang mulai diadopsi di Eropa Barat pada sekitar abad ke-8. Sejak itu lah setiap tanggal 31 Desember malam akan dilakukan malam pergantian tahun baru dengan segala perayaan yang dilakukan negara-negara di seluruh belahan dunia.
Pada akhirnya, lakukanlah segala sesuatu, tahu apa latar belakang dan sejarah mengapa hal tersebut dilakukan dan menjadi tradisi. Maka, apa yang kita lakukan akan berisi dan bermakna. Tidak sekadar numpang lewat karena sekadar ikut-ikutan.
Jangan sampai, merayakan tradisi tahun baru dengan.penuh euforia, tetapi begitu masuk tahun baru, tidak ada yang diubah karena tidak bercermin. Tetap miskin hati. Â miskin akal pikiran. Berbuat pun di jalan tidak benar dan jauh dari kebaikan.
Jadi, memasuki tahun baru. Yang sudah berhasil dipertahankan dan ditingkatkan. Yang belum tercapai, rebut kesempatan dan raih dengan perjuangan yang kreatif-inovatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H