Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Bola

Fondasi yang Tidak Diurus, Memercik Muka Sendiri

1 November 2022   11:59 Diperbarui: 1 November 2022   12:08 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang kini sedang terjadi dengan sepak bola nasional? Bila mengikuti pergerakannya,  memahami kedalaman apa yang sebenarnya sedang terjadi, maka di dalam hati akan ada perasaan yang bercampur aduk. Ada perasaan sedih berkepanjangan, ada rasa kecewa, pun tetap ada rasa bahagia. Dari tiga warna perasaan tersebut, pun akan sangat mudah di jabarkan mengapa sedihnya sampai berkepanjangan. Mengapa ada kecewa, tetapi juga ada bahagia. Terkait perasaan itu, saya tidak akan mengupasnya dalam artikel ini.

Saya akan mengulas hal yang tipis-tipis saja, menyoal kondisi federasi sepak bola nasional bernama PSSI, hingga Tragedi Kanjuruhan terjadi. Apa yang tipis-tipis itu? Dia adalah menyoal fondasi sepak bola nasional yang selama ini diabaikan oleh PSSI dan pada akhirnya, seperti "Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri".

Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri

Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri artinya suatu perbuatan/sikap/perilaku/pekerjaan/dll yang dilakukan tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya. Akhirnya, pelaku sendiri yang menanggung akibatnya. Peribahasa itu, tepat dianalogikan dengan sepak terjang PSSI selama ada di bumi Indonesia. Hal yang pada akhirnya membuat PSSI terkena hukuman sendiri dari perbuatannya adalah dibayar lunas pada dua kejadian di bulan Oktober 2022.

Kejadian pertama adalah pada 1 Oktober 2022 yang kini melegenda bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia, yaitu Tragedi Kanjuruhan yang dalam berita terbaru, korban nyawa melayang sudah berjumlah 134 orang. Pasalnya, masalah suporter belum pernah diurus dengan benar oleh PSSI.

Berikutnya, kejadian kedua, tetapi dianggap angin lalu baik oleh PSSI mau pun publik sepak bola nasional, adalah kekalahan telak Timnas Indonesia U-16 1-5 dalam Kualifikasi Piala Asia U-17 2023 dari Malaysia, yang notabene-nya menjadi seteru abadi Indonesia bukan hanya dalam cabang sepak bola, tetapi dalam multi masalah. Sejatinya, kekalahan tersebut, layak saya sebut sebagai Tragedi Sepak Bola Akar Rumput Indonesia (usia dini dan muda).

Wajib dipahami bahwa selama ini, apa yang diurusi oleh PSSI tidak lebih dari sekadar Kompetisi dan Timnas. Kompetisi pun lebih fokus pada Liga 1, 2, dan 3. Kompetisi turunannya yang justru menjadi fondasi untuk cikal bakal pemain Liga 3, Liga 2, Liga 1, hingga Timnas terus diambaikan dan bersembunyi pada Kompetisi Piala Suratin  serta Elite Pro Acedmy (EPA) yang tidak pernah mengakomodir keberadaan wadah sepak bola akar rumput yang sebenarnya.

Itulah maksud saya tentang hal yang tipis-tipis. Tragedi Kanjuruhan, akar masalahnya adalah suporter tidak pernah diurus dengan benar oleh PSSI. Padahal kedudukan suporter vital dalam industri sepak bola nasional. Tanpa suporter, maka sponsor tidak akan tertarik menjadi sponsor Klub atau Timnas Indonesia. Artinya, suporter adalah satu di antara fondasi sepak bola yang sama sekali tidak boleh diabaikan. Akibat mengabaikan suporter dan terjadi Tragedi Kanjuruhan yang menelan 134 korban jiwa, maka sebagai tanggungjwab moral, PSSI memastikan akan menggelar KLB pada Janurai 2023, sebab wajib sesuai statuta.

Mirisnya, hanya berselang sembilan hari, tepatnya 9 Oktober 2022, Indonesia juga dipermalukan oleh Malaysia, saat Timnas Indonesia U-16 dibantai 1-5. Ini juga saya sebut sebagai Tragedi Sepak Bola Indonesia. Sepak bola akar rumput adalah fondasi sepak bola nasional, tetapi PSSI hingga kini bahkan belum pernah membakukan dan membuat regulasi tentang keberadaan wadah Sekolah Sepak Bola (SSB) yang terbukti telah menjadi mesin penghasil pemain Indonesia. Pemain hasil binaan SSB hanya dipetik oleh Klub sampai Timnas secara gratisan. Inilah Tragedi tentang "Tidak menanam, tetapi memetik".


Fondasi sepak bola nasional

Mari kita pahami, mengapa suporter dan sepak bola akar rumput, adalah benar sebagai fondasi sepak bola nasional, yang selama ini tidak diurus dan dirawat dengan benar oleh PSSI, karena organisasi PSSI juga tidak dijalankan sesuai prosedur keorganisasian dan kepemimpinan yang benar. Para pengurus PSSI dipertanyakan kualitas kompetensi dan profesionalisenya, karena mereka duduk di PSSI juga karena permainan voters PSSI. Voters PSSI pun produk permainan yang bentengnya bernama statuta yang juga mereka cipta dari, oleh, dan untuk lingkaran mereka. Publik sepak bola nasional menyebut, lingkaran mereka hingga kini masih dipenuhi oleh pihak yang disebut sebagai mafia sepak bola Indonesia. Sepak bola ada voters, butuh logistik, makanya sangat empuk jadi kendaraan politik. Paham, kan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fondasi adalah dasar bangunan yang kuat, biasanya (terdapat) di bawah permukaan tanah tempat bangunan itu didirikan atau fundamen. Makna fondasi ini pun memiliki perluasan makna yang mengartikan fondasi tidak sekadar arti denotasi (arti sebenarnya) tentang bangunan rumah, tetapi dikonotasikan untuk semua hal, fondasi dianalogikan untuk semua persoalan yang pada intinya, apa pun bentuk perbuatan/sikap/perilaku/pekerjaan/dll fondasinya wajib kuat, kokoh (bangunan fisik), berkualitas, kompeten, profesional, dan sejenisnya untuk Sumber Daya Manusianya (SDM)nya.

Sebagai analogi, pada umumnya, material inti/utama untuk membangun fondasi rumah (fisik) yang lazim agar kuat dan kokoh terdiri dari besi cor, batu, semen, pasir, dan masih ada yang ditambah kapur. Kini, di zaman moderen, material fondasi sudah baku paketnya, yaitu besi, pasir, dan semen, penggunaan batu sudah berkurang.

Bila, pemilik rumah adalah SDM yang profesional, berkompeten, berkualitas, namun siapa yang dipercaya mengerjakan pembangunan rumah adalah SDM yang licik, maka fondasi rumah pun bisa berbahaya dan membahayakan pemilik rumah, sebab pekerja yang membangun (tukang/pemborong) nakal dengan mengurangi komposisi material yang tidak sesuai aturan/spesifikasi, maka dipastikan kokohnya rumah hanya kamuflase, dan setiap saat, rumah dalam bahaya rubuh atau hancur. Apalagi bila pemilik rumah adalah SDM yang tidak profesional, tidak berkompeten, tidak berkualitas, maka akan menjadi makanan empuk tukang/pemborong bangunan yang licik, yang bukan saja akan mengakali fondasi rumah, tetapi seluruh fisik bangunan rumah. Terbayang bagaimana kualitas rumah bila pembangunannya sudah rampung dan ditempati.

Rumah yang fondasinya dibangun dengan benar, kokoh dan kuat, lalu seluruh fisik rumah juga dibangun secara benar, akan tidak berarti bila pemilik rumahnya orang yang tidak profesional, tidak berkompeten, tidak berkualitas dalam pemahaman dan perawatan rumah. Rumah akan tetap cepat rusak.

Begitu pun bila fondasi rumah tidak kuat, meski pemiliknya SDM yang profesional, kompeten, dan berkualitas, tetapi karena rumahnya bukan dibangun sendiri (beli), meski pun dirawat dengan benar, maka si pemilik tidak tahu karena setiap saat rumah miliknya akan rusak atau hancur oleh kondisi alami atau kondisi lainnya.

Dari analogi tersebut, suporter dan sepak bola akar rumput adalah sama dengan fondasi bagi kokoh dan kuatnya PSSI yang bertanggungjwab atas sepak bola nasional. Saya bisa menyebut, suporter ibarat semen, sementara sepak bola akar rumput ibarat pasir. Kita tahu bagaiaman karakter semen dan pasir, namun bila keduanya disatukan dengan adonan yang pas, maka akan menjadi sangat kuat.

Kini, masalah suporter yang tidak diurus serius, yang seharusnya menjadi pekerjaan utama PSSI, justru memercik muka sendiri. KLB pun menjadi jawaban pertanggungjawaban moral. Tetapi, apakah KLB akan membuat sepak bola nasional membaik? Sementara hal yang tipis-tipis seperti masalah suporter dan sepak bola akar rumput yang tidak pernah diurus dengan benar, justru menjadi bumerang dan berujung menjadi kisah Tragedi yang memalukan, menyedihkan, mengecewakan. Apakah dengan KLB, fondasi sepak bola nasional yang kokoh dan kuat, suporter dan sepak bola akar rumput akan menjadi anak tiri kembali, hingga kepengurusan PSSI yang baru Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri, lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun