Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Bebal, Tetapi Peka, Memeka, Punya Kepekaan

23 Agustus 2022   11:12 Diperbarui: 23 Agustus 2022   11:19 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap-perbuatan, bahasa lisan-tulisan seseorang adalah cermin kepekaan seseorang.

(Supartono JW.23082022)

Speedometer PEKA, MEMEKA, dan KEPEKAAN adalah merasa, mudah bergerak, menerima dan meneruskan pengaruh, peduli, tidak egois, tidak individualis, mampu mengontrol emosi, mampu bersosialisasi, bermoral, tahu diri, sadar diri, punya rasa memiliki, punya rasa empati-simpati, santun, rendah hati,  membumi.

(Supartono JW.23082022)

Bila ada manusia dewasa yang usianya sudah melintasi bangku sekolah dan kuliah, tetapi tetap tidak tertanam rasa peka dan kepekaan terhadap diri dan lingkungan sosialnya, siapa yang gagal? Apa pendidikan di dalam rumah atau keluarganya? Pendidikan formal di bangku sekolah dan kuliah? Atau pendidikan di masyarakat dalam kehidupan nyata? Atau kehidupan mereka jauh dari budaya keteladanan?

Teraktual, di +62 kini juga terus bergulir kasus-kasus yang muaranya bersumber dari tidak adanya rasa peka, memeka, dan kepekaan, tetapi pada akhirnya membuat hati dan pikiran rakyat seantero negeri ini terus diaduk-aduk dan tergerus perasaannya. Ada kasus pembunuhan aparat, ada rencana kenaikan BBM lagi. Rakyat terus menjadi kambing hitam.

Dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berkekeluargaan, rasa peka, memeka, dan kepekaan juga terus menjadi barang mahal, karena semakin menipis suri keteladanan, semakin sulit hati dan pikiran orang-orang menjadi manusia. Lebih mementingkan diri sendiri, keluarganya, kelompok, golongan, dan sejenisnya. Prek dengan peka-memeka, kepekaan! Apa itu?

Peka, memeka, kepekaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peka adalah mudah merasa, mudah terangsang, mudah bergerak, tidak lalai, mudah menerima atau meneruskan pengaruh. Sementara memeka adalah memedulikan, memerhatikan.  Dan, kepekaan yaitu
perihal peka, perihal mudah bergerak, kesanggupan bereaksi terhadap suatu keadaan.

Pertanyaannya, apakah saya adalah orang yang peka, memeka, dan memiliki kepekaan terhadap kondisi dan situasi diri sendiri, keluarga, saudara, sahabat, teman, orang lain, masyarakat, lingkungan kerja, lingkungan kekeluargaan dalam perkumpulan organisasi olah raga dan kemasyarakatan?

Zaman semakin maju. Komunikasi antar manusia dalam dunia nyata dan maya pun semakin tidak terbatas dan tidak ada sekat. Manusia berpendidikan, tidak berpendidikan, kaya, miskin, anak-anak, remaja, dewasa, dapat berkomunikasi dengan benar, dengan baik, dengan buruk,  dengan sesuka hatinya dalam media sosial tidak perlu pakai moderasi layaknya di media massa. 

Moderasi berarti penghidaran kekerasan atau penghindaran keekstreman. Kata ini adalah serapan dari kata "moderat", yang berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke arah jalan tengah, sebab hadirnya media sosial menjadi pintu kebebasan berekspresi dan berkomunikasi setiap manusia tanpa sekat dan tanpa batas, pun bisa tanpa etika, tata krama, dan sopan santun.

Seiring dengan itu, media sosial juga semakin membukakan mata bahwa ternyata, manusia-manusia yang sudah mengecap dunia pendidikan formal pun, melalui komunikasi bahasa lisan dan tulisannya, melalui sikapnya, banyak yang tidak berbeda dalam kecerdasan intelegensi (otak) dan personality (kepribadian, mental, emosi) dengan manusia-manusia yang belum sempat mengenyam bangku sekolah atau kuliah. Tetap tak peka dan tak punya kepekaan.

Sehingga, manusia yang tidak peka dan tidak memiliki kepekaan, faktanya tidak dapat dibedakan dari sisi berpendidikan atau tidak berpendidikan, karena peka dan kepekaan adalah soal intelegensi/pikiran (otak) dan personality/pribadi (hati).

Gagal memahami, menguasai fungsi bahasa

Bisa jadi manusia-manusia yang gagal memiliki rasa peka dan kepekaan, adalah manusia-manusia yang gagal dalam menguasai bahasa atau gagal memahami fungsi bahasa dalam kehidupannya. 

Bila setiap manusia paham dan menguasai fungsi bahasa untuk kehidupan, maka dengan bahasa komunikasi dalam setiap langkah gerak dalam kehidupannya, baik dengan bahasa Ibu (daerah) atau bahasa Indonesia, manusia akan menyadari mengapa INTELEKTUAL (otak) dirinya berkembang, banyak yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Mengapa dirinya berSOSIALisi dalam keluarga dan masyarakat? Mengapa dirinya mampu atau belum mampu mengendalikan EMOSIONAL? Mengapa dirinya mampu atau belum mampu mengANALISIS tindakan atau persoalan? Mengapa dirinya menjadi KREATIF, IMAJINATIF, INOVATIF atau bebal dalam kreativitas, imajinasi, inovasi? Mengapa dirinya hanya berIMAN di mulut, bukan dihati dan perbuatan?

Kata lainnya, bila manusia memahami dan menguasai fungsi bahasa dengan benar, maka dalam proses perkembangan dan kehidupannya, akan ada peekembangan dan kematangan dalam diri manusia yang yang signifikan, yaitu memiliki rapor intelektual, sosial, emosiinal, kreatif-imajinatif-inovatif, iman (ISEAKI) yang=LULUS.

Manusia yang lemah dan gagal tidak memiliki rasa peka karena tidak mudah merasa, tidak mudah terangsang, tidak mudah bergerak, lalai, tidak mudah menerima atau meneruskan pengaruh. Tidak memeka, yaitu tidak memedulikan, tidak memerhatikan.  Tidak punya kepekaan yaitu tidak peka, tidak mudah bergerak, tidak ada kesanggupan bereaksi terhadap suatu keadaan, biasanya juga lemah dalam hal tahu diri, sadar diri, jauh dari rasa peduli, rasa memiliki, rasa empati-simpati, tidak santun, tidak rendah hati, tidak membumi.

Yang bebal peka dan kepekaan

Agar saya terus menjadi manusia yang peka dan memiliki kepekaan, tidak bebal (sukar mengerti atau tidak cepat menanggapi sesuatu), penting bagi saya memahami pondasi peka dan kepekaan itu.

Peka, memeka, dan kepekaan adalah sifat penting yang wajib dimiliki seseorang. Pasalnya, sifat peka memeka, dan  kepekaan sudah pasti mempunyai manfaat di kehidupan sehari-hari di antaranya:

Pertama, membentuk pribadi yang lebih peduli, tidak egois, dan tidak individualis
Sifat peka, memeka, kepekaan akan mengantarkan seseorang lebih memahami posisi orang lain. Dengan begitu, dia akan lebih peduli terhadap sesama dan terhindar dari sifat egois atau individualis. 

Kedua, memiliki rasa peka, memeka, dan kepekaan, membantu proses mengatur emosi. Seseorang dengan rasa peka, memeka, dan kepekaan,  cenderung lebih mudah merasakan suatu emosi. Bukan saja emosi diri sendiri, melainkan juga emosi orang-orang sekitar. Lambat laun hal ini akan bermanfaat untuk mengatur atau mengendalikan emosi dalam diri.

Ketiga, membantu dalam mengasah kemampuan dalam menjalin hubungan sosial. Rasa peka, memeka, dan kepekaan seseorang terhadap sekitar akan membuat seseorang pandai menempatkan diri. Akan bisa bersikap sesuai situasi dan kondisi. Hal ini tentu akan berpengaruh dalam kehidupannya di lingkungan sosial. Akan lebih mudah dalam menjalin hubungan sosial yang baru. Sebab, mereka mempunyai kemampuan untuk membaca situasi dan memahami orang lain, sehingga tahu bagaimana harus bersikap.

Keempat, membantu mendorong pembentukan nilai moral dalam diri. Peka, memeka, dan kepekaan akan membuka mata seseorang untuk melihat sekitar. Dengan begitu, seorang akan lebih terlatih mengidentifikasi benar dan salah. Atau dengan kata lain, kepekaan akan membantu membentuk nilai-nilai moral dalam diri.

Kelima, membuat senantiasa merasa lebih bersyukur dan bahagia. Peka, memeka, dan kepekaan akan membuat seseorang lebih menyadari setiap hal yang ada di sekitarnya. Hal ini akan membuat seseorang yang punya kepekaan lebih bersyukur dan menjalani hidup dengan bahagia.

Karenanya orang yang peka, memeka, dan punya kepekaan, ciri utamanya adalah:
1. Punya kepedulian tinggi.
2. Dapat menangkap perasaan orang lain.
3. Benar-benar mendengarkan cerita orang lain.
4. Orang lain datang untuk bercerita mengenai masalahnya, kemudian meminta nasihat.
5. Selalu atau sering mencoba untuk coba membantu orang lain yang mengalami masalah.
6. Tanpa sadar sering memikirkan bagaimana perasaan orang lain.
7. Sering kali merasa lelah atau kewalahan dalam situasi sosial.
8. Mengetahui perilaku orang yang tidak jujur.

Apakah saya adalah orang yang selalu mengasah rasa peka, memeka, dan rasa kepekaan dalam diri? Bila saya selalu berusaha untuk jadi pendengar yang baik. Berusaha untuk selalu memahami perasaan dan kondisi yang sedang dialami orang lain. Berusaha untuk selalu memahami berbagai situasi dan kondisi yang sedang dialami. Berusaha untuk selalu menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain. Berusaha untuk selalu tergerak dalam menambah jejaring pertemanan dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda atau beragam.

Itu artinya saya sudah punya rasa peka, memeka, dan punya rasa kepekaan. Apakah saya sudah seperti itu dalam berkehidupan sosial? Apakah kini saya benar-benar sudah memahami dan menguasai fungsi bahasa hingga saya rnenjadi manusia yang peka, memeka, dan punya kepekaan, karena ISEAKI.
dalam diri saya berkembang?

Percuma sekolah, kuliah, ikut seminar, ikut pelatihan kepemimpinan-keorganisasian, ikut diklat, ikut kursus, studi banding, dll. tetapi hati dan pikiran yang berwujud sikap ISEAKI saya dalam kehidupan nyata tetap tak lulus rapornya. Tetap tidak punya rasa peka, memeka, dan tak punya kepekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun