Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sengkarut EPA Liga 1 dan Klub Liga 3, Bagaimana PSSI?

5 Agustus 2022   14:28 Diperbarui: 5 Agustus 2022   14:43 1969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kini selain Kompetisi Liga 1 sudah bergulir, publik sepak bola nasional juga sedang dimanjakan oleh gelaran Piala AFF U-16 2022. 

Terlebih, Timnas Indonesia U-16 baru saja membikin publik  Indonesia terbuai euforia lagi, pasalnya Garuda Belia, baru menang atas Tim Singapura U-16 (selevel SSB di Indonesia), setelah sebelumnya tampil tidak sesuai ekspetasi saat hanya mampu bikin 1 gol ke gawang Filipina U-16 yang levelnya juga seperti SSB di Indonesia.

Sengakarut EPA Liga 1

Selama ini, persoalan sepak bola akar rumput, baik menyoal wadah yang baku, kompetisi, dan regulasi pemain, semuanya terus dibikin abu-abu alias tidak jelas.

Akibatnya, saat Klub Liga 1 memiliki kewajiban harus menyiapkan tim U-14, U-16, dan U-18 untuk Kompetisi Elite Pro Academy (EPA), sudah bukan rahasia lagi, banyak Klub Liga 1 yang malah memanfaatkan situasi. 

Bukannya menyiapkan Tim sendiri, dari pembinaan akar rumput di Klub, malah ada yang mencari keuntungan dengan menjual tiket U-14, U-16, dan U-18 kepada pihak lain, tampil dengan bendera Klubnya, tapi pihak yang saya istilahkan membeli tiket, bukan hanya menyiapkan tim dan anggaran seutuhnya, pihak pembeli tiket pun harus membayar kepada Klub Liga 1 yang tiket timnya dibeli.

Padahal, publik sepak bola nasional juga tahu, ada beberapa Klub Liga 1 yang membina pemain akar rumput seutuhnya di akademi yang dibuatnya. Bahkan, setiap pemain sesuai kelompok umur yang masuk dalam skuat Klub Liga 1 tersebut, mendapat kontrak dan bayaran dari Klub.

Tahun ini, berita seorang pemain harus membayar 20an juta demi dapat bergabung dengan Tim EPA salah satu Klub Liga 1, malah sudah beredar dari mulut ke mulut. Sementara, budaya seleksi terbuka baik yang dilakukan oleh klub Liga 1 demi mendapatkan secara instan pemain untuk skuatnya, juga malah terus mentradisi.

Enak sekali Klub Liga 1 yang demikian. Begitu pemain seleksi terbuka terpilih, pemain diminta untuk menghadap SSBnya untuk dibuatkan Surat Keluar, karena terpilih di Klub Liga 1 bersangkutan. Lebih dari itu, publik juga sudah tahu, seleksi terbuka yang dilakukan oleh makelar Klub, peserta seleksi pun dikenai biaya pendaftaran.

Tidak menanam, tidak menyiram, tidak merawat, tidak memelihara, tetapi maunya memetik. Malah, yang dipetik pun pakai dalih seleksi terbuka, bayar pendaftaran seleksi. Begitu terpilih, masih ada kewajiban minta Surat Keluar dari SSB yang telah menanam, menyiram, merawat, dan memelihara.

Wahai PSSI, dengan situasi penyiapan Tim EPA oleh Klub-Klub Liga 1 yang demikian dan banyak yang tidak beretika, apakah EPA masih layak digulirkan? Apa latar belakang, visi-misi, tujuan, sasaran EPA sudah dipatuhi oleh Klub Liga 1?

Kasihan Klub Liga 1 yang benar-benar telah melakukan pembinaan dan mengeluarkan banyak biaya demi membentuk Tim EPA di Klubnya, tapi Klub lainnya malah menjadikan EPA untuk hal yang memalukan.

Liga 3 sama memilukan, buat gaya-gaya-an?

Setali tiga uang dengan penyiapan Tim EPA oleh beberapa Klub Liga 1, yang instan, tidak menanam tapi memetik, dijadikan lahan bisnis, diperjual-belikan, tidak ada regulasi pemain yang menguntungkan SSB, dan tidak beretika, apa yang dilakukan oleh Klub-Klub Liga 3 pun sama.

Klub-Klub Liga 3 pun meniru budaya Klub Liga 1, Liga 2, dan penyiapan Tim EPA Liga 1. Membentuk tim dengan seleksi terbuka. 

Bila untuk EPA, sasarannya mencari pemain istan, gratisan, dan dapat uang dari anak-anak SSB, maka Klub Liga 3 melakukan seleksi terbuka pada anak-anak yang masih SSB untuk membentuk Tim Soeratin (U-13, U-15, dan U-17). Sementara untuk kompetisi Liga 3-nya, pemain anggota Klub Askab/Askot lintas daerah menjadi sasarannya.

Atas situasi ini, seharusnya Asprov, Askab, Askot memiliki regulasi yang tegas. Tidak boleh Klub Liga 3 ikut-ikutan sembarangan melakukan seleksi terbuka, seperti EPA Liga 1. Jelas, yang direkrut adalah pemain yang sudah dibina dan menjadi anggota SSB dan Klub Askab dan Askot. 

Jadi, bila pemain SSB dan Klub Anggota Askab dan Askot ada yang terpilih dan direkrut, Klub Liga 3 bersangkutan juga ada komunikasi dengan SSB dan Klub. Ada etikanya, ada suratnya, diketahui oleh Askab dan Askot.

Sebab, selama ini, berharap pada para pemain SSB, pemain Klub serta para orangtua pemain bersangkutan sangat sulit. Para orangtua, demi mimpi anaknya menjadi pemain EPA, Klub Liga 3 hingga pemain Timnas, menabrak semua regulasi di SSB mau pun Klub. 

Malah, ikut seleksi terbuka untuk EPA atau Klub Liga 3 pun diam-diam, kucing-kucingan. Sama dengan para pemain yang direkrut Klub Liga 3. Mereka pikir, mereka bisa masuk Tim EPA atau Liga 3 adalah hasil jerih payahnya sendiri. Mengabaikan SSB dan Klub yang telah berdarah-darah membina, mengarahkan, hingga membiayai.

Banyaknya Klub Liga 3 yang tampil di setiap Asprov, sejatinya menjadikan sepak bola nasional sangat semarak. Selain itu, para pesepak bola yang direkrut oleh Klub Liga 3 juga mendapatkan kontrak yang imbasnya ada transpor/honor/gaji. 

Liga 3 pun seolah membuka lahan pekerjaan. Sebab banyak para masyarakat yang kini hanya menggantungkan hidup hanya dari bermain sepak bola. Sayangnya, Liga 3 bentuknya turnamen, musiman, sehingga tak dapat menggaransi para pesepak bola untuk hidup dari honor di liga 3.

Sudah begitu, banyaknya Klub Liga 3 yang pemiliknya juga bukan Sultan, maka menyiapkan tim pun dengan cara murahan. Merekrut pemain tanpa etika organisasi, asal comot, bak kehidupan di hutan.

Untuk apa di setiap Kabupaten, setiap Kota banyak Klub Liga 3? Apa punya Klub Liga 3 hanya buat gaya-gaya-an? Tetapi pola berpikirnya instan. Tiba saat, tiba akal? Pun tidak punya program pembinaan.

Untuk apa kuantitas tetapi tidak berkualitas? Mengapa setiap Asprov tidak ditentukan saja hanya ada 18 Klub Liga 3. 18 Klub itu pun yang terverifikasi, punya segala kemampuan dan persyaratan sebagai Klub Liga 3, membina pemain sendiri atau ada kerjasama dengan pihak lain, maka Liga 3 putaran setiap Asprov menjadi Kompetisi Penuh, bukan turnamen. 

Dengan Liga 3 digelar menjadi kompetisi penuh di setiap Asprov, akan banyak sekali hal baik yang dapat dipetik, termasuk para pemain tidak makan dari sepak bola hanya mingguan/bulanan, tapi tahun.

Bagaimana PSSI? Apa sengkarut (tidak karuan)-nya EPA dan Liga 3 ini bisa disolusi agar tidak terus kusut?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun