Bisa jadi, andai Raden Ajeng (RA) Kartini masih hidup, yakin Beliau akan sedih melihat Ibu-Ibu di Indonesia sampai antre untuk membeli minyak goreng (migor) di negerinya sendiri. Negeri Rayuan Pulau Kelapa, yang kini juga sudah DIRAYU menjadi PULAU SAWIT.
Meski kini RA Kartini, telah tiada, di Alam sana, arwahnya, yakin sedih, sebab minyak goreng seharusnya tidak menjadi masalah untuk para Ibu-Ibu atau Kaum Wanita di Indonesia, sebab Dia tak pernah menulis surat tentang minyak goreng. Tetapi dalam surat-suratnya, ada ditemukan surat yang bicara pendidikan dan ketidak-adilan.
Setali tiga uang, selain sekarang khususnya kaum wanita Indonesia masih dihadapkan oleh masalah minyak goreng, wanita Indonesia yang identik sebagai ahli dapur, juga diterjang ketidak-adilan, karena barang-barang kebutuhan pokok di bulan Ramadhan 1443 Hijriah ini, hampir semuanya naik.
Bila surat-surat RA Kartini yang ditulis dalam memperjuangkan kaum wanita Indonesia, akhirnya dibukukan dalam Buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (HGTT), maka untuk kali ini, Indonesia yang bagi rakyat dirasakan TERUS GELAP, TERBIT GELAP LAGI (TGTGL)
Buku HGTT
Buku HGTT adalah kumpulan surat-surat RA Kartini. Dalam buku ini terkisah perjalanan hidup seorang RA Kartini, dan surat-suratnya yang isinya tentang cita-citanya untuk memajukan kaum wanita, harapan-harapanya dan perjalanan hidupnya.
RA Kartini, tidak pernah tahu bila kisah hidupnya dan surat-surat yang dikirim kepada para sahabat penanya di Belanda, dikumpulkan dan dibukukan oleh Mr. J. H. Abendanon.
Namun, setelah dikumpulkan dan dijadikan buku, Mr. J. H. Abendanon, ternyata memberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang (HGTT) atau Door Duisternis Tot Licht (DDTL) dalam bahasa Belanda.
Tentunya, mengapa Abendanon sampai memberi judul HGTT atau DDTL, karena sesuai dengan isi surat yang ditulis RA Kartini dalam memperjuangkan kaum wanita Indonesia yang tertindas. Harapannya, setelah suratnya disatukan dan terbit dalam buku HGTT, maka menjadi penerang bagi kaum wanita Indonesia. Faktanya benar, wanita Indonesia akhirnya tak tertindas lagi.
Tapi di zaman ini, rezim ini, ternyata sekadar beli minyak goreng, wanita Indonesia harus antre, kebutuhan pokok pun naik, diikuti kenaikan yang lainnya.
Surat-surat RA Kartini pada zaman itu, adalah bukti betapa besarnya keinginan Kartini untuk melepaskan wanita-wanita dari diskriminasi yang sudah membudaya.
Karenanya, Kartini ingin, sebagai seorang wanita, ia dan kaumnya juga sama diperlakukan seperti saudara atau teman-temannya yang pria. Tetapi, saat itu, Kartini harus dihadapkan dengan masalah adat kebudayaan daerah setempat, yaitu seorang wanita tidak bisa menentukan dan mewujudkan kehendak sendiri, harus mengikuti apa kata orang tua.
Latar inilah yang akhirnya membuat pikiran dan hati Kartini tergerak. Mengapa seorang perempuan harus dihalang-halangi untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi sedangkan laki-laki tidak.
Kartini yang mengidolakan kakaknya, dan ingin sekolah ke Belanda, ingin mendapatkan pendidikan yang tinggi, layaknya kakak keduanya, RMP Sasrokartono, yang pendidikannya cemerlang di TU Delft Belanda dan menguasai 26 bahasa.
Sayang, niatnya terhalang, membuat Kartini mengkritik dengan berkorespondensi dengan orang-orang Belanda. Beberapa orang yang berkirim surat dengan Kartini adalah Estella H. Zeehandelaar, J.H. Abendanon dan isterinya (Rosa Abendanon), serta Prof. Anton.
Di beberapa media Indonesia, ada yang sering mengangkat dua contoh surat RA Kartini, yang membuktikan bahwa Kartini memperjuangkan kaum wanita Indonesia. Di antaranya surat yang dikirim Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902. Isinya:
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."
Berikutnya, Surat Kartini untuk Ny. Van Kol, 21 Juli 1902), isinya:
"Pergilah, laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi... Pergilah! Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi." (Surat Kartini untuk Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).
Tak perlu saya perjelas lagi, apa maksud kedua surat Kartini tersebut, namun dalam surat yang dikirim untuk Ny. Van Kol, ada bicara hukum yang tidak adil, kepalsuan, serta mana yang baik dan buruk. Hal ini, mirip kejadian di Indonesia saat ini. Padahal, surat Kartini sudah ditulis sejak 120 tahun lalu. Miris.
Yah, Indonesia terkini TERUS GELAP, TERBIT GELAP LAGI (TGTGL), bukan HGTT seperti judul buku yang disematkan oleh Mr. J. H. Abendanon untuk perjuangan Kartini yang terbukti dari surat-suratnya.
Semoga, pada peringatan Hari Kartini (HK) edisi ke-58, Kartini di sana tidak sedih dengan kondisi wanita Indonesia sekarang, sebab kaum emak-emak dibikin antre minyak goreng oleh rezim.
Perlu dicatat, Kartini juga pasti ikhlas memperjuangkan emansipasi wanita Indonesia. Dia tentu juga tak pernah tahu, atas perjuangannya, setelah beliau tiada, ternyata dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan keputusan Presiden Nomor 108 pada 2 Mei 1964. Dan, hari kelahirannya 21 April 1879 selalu diperingati sebagai Hari Kartini.
Mengapa kini, ada yang merusak kenyamanan, kedamaian, dan kebahagiaan Ibu-Ibu, emak-emak Indonesia. Tidak adil dan bikin menderita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H