Bagaimana rakyat tidak akan ikut-ikutan memaksakan diri. Para pemimpin di negeri ini, pun meneladani memaksakan diri dalam berbagai hal. Untuk dapat kursi  duduk di pemerintahan daerah atau DPR atau pemerintah pusat, siapa yang murni atas dasar kemampuan dan kompetensi?
Sudah terbaca dan fakta, mereka mendapatkan kursi harus dengan cara utang, karena dimodali oleh cukong. Akibatnya, tak konsentrasi untuk amanah sebagai pemimpin, tapi malah sibuk bagaimana caranya mengembalikan utang dan balas budi kepada cukong.
Lihat, berapa triliun utang Indonesia sekarang. Siapa yang utang? Siapa yang suruh membayar? Sepertinya Indonesia akan menjadi milik asing seperti terjadi di negara lain, karena tak sanggup membayar utang.
Lihat, berapa banyak rakyat yang sok-sok an bergaya hidup hedon? Padahal faktanya bukan orang kaya. Lihat betapa bangganya orang-orang yang dijuluki crazy rich (super kaya) saat disorot kamera? Benarkah mereka super kaya sejati? Tapi ternyata hampir semuanya yang bangga disebut super kaya adalah sosok orang kaya baru (OKB).Â
Pokoknya, dari A sampai Z, persoalan memaksakan diri bagi rakyat hingga pemimpin di Indonesia, terjadi di semua lini.
Kapan memaksakan diri?
Sejatinya, untuk menjalani kehidupan yang keras sekarang, akan ada situasi di mana saya/kita harus memaksakan diri agar semuanya berjalan dengan seharusnya. Memaksakan diri di sini, adalah dalam bentuk positif, yaitu spirit  atau semangat. Sehingga, bila apa yang saya/kita lakukan tergolong memaksakan diri, maka ada pembenaran (justifikasi) bahwa itu karena semangat.
Semangat melakukan atau berbuat sesuatu agar tak dibilang memaksakan diri, memang wajib terukur, wajib dilakukan dengan kecerdasan intelegensi, kecerdasan personaliti (emosi), dan kecerdasan analisis.
Oleh karena itu, pahami dengan baik, apa saat saya memaksakan diri untuk sesuatu itu sudah benar? Kira-kira apa indikatornya, saat saya memaksakan diri dalam arti positif, semangat itu sudah benar-benar, benar?
Bila hasil dari apa yang saya atau kita lakukan, perbuat adalah berakhir buruk, rugi, mengecewakan, maka sejatinya, saya bukan melakukan sesuatu karena semangat positif, tapi benar karena saya memaksakan diri, tak mengukur diri.
Selanjutnya, bila dalam proses melakukan, berbuat sesuatu, saya sering emosi dan labil, maka itu adalah indikator saya memaksakan diri.