Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tong Kosong, Ilmu Padi, Politik Balas Budi, dan Ketakutan Kehilangan yang Bukan Milik

31 Maret 2022   13:09 Diperbarui: 31 Maret 2022   13:21 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Di layar kaca, di media massa, di media sosial, di dunia maya, sampai di dunia nyata, membedakan mana orang-orang yang benar-benar berilmu dan sekadar berlagak berilmu di negeri ini,  kini semakin mudah mengidentifikasinya.

Penuh orator miskin ilmu

Sehingga, mulai dari rakyat jelata, rakyat yang sok tak jelata, rakyat yang sok kaya, kalangan yang sok elite, hingga para pemimpin negeri, mana yang benar-benar tong kosong nyaring bunyinya saja. Mana yang benar-benar nyaring bunyinya, tapi seperti ilmu padi, mudah diketahui.

Mirisnya, beberapa orang yang seharusnya menjadi panutan di negeri ini, justru bicara di ruang publik, benar-benar  seperti tong kosong nyaring bunyinya, dan benar-benar tak membekas jejak seperti ilmu padi.

Peribahasa tong kosong nyaring bunyinya memiliki makna kebalikan dari peribahasa seperti ilmu padi, yaitu makin berisi makin merunduk.

Sejatinya,  kini tong kosong nyaring bunyinya maknanya sudah bergeser, tidak semata diberikan kepada seseorang yang banyak bicara namun tidak memiliki ilmu. Tetapi,  dapat juga ditujukan kepada orang yang ahli dalam menyampaikan pendapat dan mengkritik namun tidak terlalu menguasai bidang atau ilmu yang disampaikannya. Coba, siapa yang sekarang suka melakukan hal begitu di Indonesia?

Seiring dengan semakin banyaknya orang yang tong kosong nyaring bunyinya, namun tidak terlalu menguasai bidang atau ilmu yang disampaikannya, justru orang yang kompeten karena seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk, sekarang benar-benar banyak betulan merunduk. Malas terlibat dengan orang yang tong kosong nyaring bunyinya. Pasalnya, hanya bikin masalah dan buang-buang waktu. Pun banyak mudaratnya.

Banyak di negeri ini, orang yang tidak banyak bicara namun memiliki ilmu yang lebih. Seperti peneliti atau praktisi yang lebih banyak bekerja dan menggali pengetahuan lebih dalam. Karena kurang dihargai di negeri sendiri, mereka malah mengabdikan diri di negeri orang.

Semakin ke sini pun, dalam periode pemerintahan sekarang, Indonesia dipenuhi oleh para orator dan tukang cuap-cuap, yang dasarnya miskin ilmu. baik di dunia maya mau pun nyata, terus membikin kisruh suasana.

Akibat pendidikan, politik balas budi

Inilah akibatnya, bila pendidikan masih terpuruk, entah karena bagian dari skenario mengikuti jejak sikap penjajah kolonialisme atau memang karena ketidakmampuan stakeholder yang seharusnya amanah, dampaknya nyata. Rakyat terus berselimut derita dan berkain ketidakadilan, plus miskin ilmu, hingga mudah dibodohi, dikelabui.

Buntutnya mudah dibaca, rakyat yang masih tertekan karena penderitaan dan ketidakadilan, ditambah tingkat pendidikan yang rendah atau hasil pendidikan yang gagal, maka skenario membantu rakyat dengan berbagai program, intrik, taktik, politik dengan sejuta dalih, membikin hati dan pikiran rakyat bertekuk lutut merasa ada hutang budi kepada pemerintah.

Hutang budi itu karena menerima bantuan dari pemerintah dengan berbagai model, padahal semua bantuan itu, modalnya dari uang rakyat juga. Uang upeti.

Lihatlah, Kepala Desa seluruh Indonesia sampai membikin ikrar mendukung Presiden menjabat 3 periode. Ikut-ikutan politisi yang partainya masih kurang dan  belum kebagian kursi dari pemimpin negeri.

Politik balas budi itu sederhana. Zaman penjajahan kolonial, rakyat Indonesia tetap dibikin bodoh, satu tujuan di antaranya agar penjajah terus dapat menguasai lahan jajahan.

Politik rezim sekarang pun, nampaknya mengadopsi zaman penjajahan kolonialisme. Rakyat dibikin menderita dan dibuat tertekan, lalu di saat yang direncanakan dan tepat ada program bantuan diluncurkan untuk rakyat miskin.

Rakyat pun merasa pemerintah memihak mereka. Rakyat lemah ilmu pun tergerus hati dan pikirannya, merasa bahwa pemerintah ternyata memihak rakyat.

Jadilah, wujud balasan dari hutang budi yang paling diharapkan oleh yang empunya taktik, intrik, politik adalah SUARA. Yah, SUARA Rakyat untuk mendapatkan KURSI di parlemen dan pemerintahan.

Contoh program mengambil hati rakyat

Semisal, dari pandemi Covid-19, ada vaksin gratis. Dari mana modal beli vaksin? Tapi gratisnya saat diberikan kepada rakyat, rakyat yang hidup tertekan pun merasa bahwa itu bantuan pemerintah, uang untuk beli vaksin, ya uang rakyat. Padahal, di dalam pandemi Covid-19, tak terhitung betapa banyaknya maling dan koruptor yang rakus, memanfaatkan keadaan dengan mengeruk keuntungan pribadi di tengah rakyat menderita.

Siapa yang menikmati lahan sangat basah, jualan alat test Covid-19? Siapa yang jadi korban?

Setelah itu, karena corona mulai reda, seiring dengan itu, jualan alat test mulai sepi, meski untungnya sudah luar biasa, maka si pemodal pun cari peluang lain. Peluang itu pun menyasar pada hajat hidup orang banyak.

Minyak goreng pun jadi sasaran, sebab, siapa penguasa minyak goreng di negeri Katulistiwa ini? Tentu tak jauh dari para pemodal yang saling terkait. Minyak goreng dibikin langka. Harga pun naik.

Sampai-sampai pemerintah pun, mungkin memang sesuai skenario, harus mengalah kepada pengusaha minyak goreng dan mengorbankan rakyat.

Jelas, mungkin si penguasa minyak goreng, juga kelompok yang sama. Kelompok pemodal partai yang akhirnya dapat menjadi penguasa negeri.

Lucunya, mungkin demi mengalihkan perhatian sekaligus seolah agar dibilang punya rasa empati dan simpati, ada pihak yang ahlinya hanya orator, meminta para ibu-ibu kreatif. Pasalnya, memasak tidak harus selalu dengan minyak goreng, tapi bisa direbus. Di dunia maya, para tukang twitt pun terus menggelora, membela yang membayar mereka, meski kerjanya cuma mengadu domba dan meriuhkan suasana. Bayarannya juga dari uang rakyat. Mikir ga sih?

Inilah kisah Indonesia terkini. Bila waktu sehari semalam bisa 100 sampai 1000 jam, maka sepanjang waktu itu pula, orang-orang serakah dan rakus akan terus memainkan peran demi mempertahankan apa yang kini sedang digenggam. Marah-marah juga jadi pertunjukkan bersambung.

Jabatan dua preiode sesuai konstitusi pun, digoyang untuk bisa diubah menjadi tiga periode. Mengapa tidak sekalian empat, lima periode atau seumur hidup? Menyedihkan. Seolah mereka akan hidup 100 atau 1000 tahun. Kasihan, hidupnya selalu ketakutan. Ketakutan kehilangan yang bukan milik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun