Akibat membikin rakyat Indonesia menderita, Pemerintah Belanda memiliki kewajiban moral untuk melakukan balas budi melalui kesejahteraan penduduk. Maka, dibuatlah kebijakan Politik Etis oleh Sang Ratu Belanda pada awal abad ke-20.
Betapa luar biasanya C. Th. Van Deventer, karena mengkritik hanya melalui  artikel, tapi manjur menyentuh hati dan pikiran kemanusiaan terdalam Sang Ratu. Tidak perlu pakai unjuk rasa atau demontrasi segala. Setali tiga uang, betapa hebat Sang Ratu Wilhelmina, karena sangat rendah hati dan berbesar hati menerima kritik Van Deventer, hingga lahir Politik Etis. Ini adalah cermin kecerdasan intelegensi dan personaliti keduanya. Pun Ratu Wilhelmina bukan sekadar Ratu, tapi Negarawati.
Politik Etis
Politik etis atau politik balas budi adalah  pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kejahteraan bumi putera. Dalam Politik Etis, ada tiga program utama yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi (transmigrasi).
Melalui program kebijakan tersebut harapannya dapat membawa perubahan besar terhadap kemajuan di Hindia Belanda. Meski dalam praktiknya, tetap disalahgunakan untuk kepentingan dan keuntungan pemerintah Belanda, Politik Etis Ratu Wilhelmina tetap memberikan dampak positif bagi pribumi.
Program irigasi, jelas sampai sekarang masih ada jejaknya dan jadi pedoman untuk sistem pengairan pertanian di Indonesia. Untuk program transmigrasi, juga ada jejaknya, ada hasilnya. Meski kini urbanisasi tetap lebih menang.
Dalam bidang pendidikan, tentu rakyat Indonesia yang terdidik, pernah tahu sejarah bahwa dulu, dari Kebijakan Politik Etis, awalnya pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak-anak pegawai negeri dan penduduk yang mampu saja.
Tetapi tetap melahirkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memiliki kesadaran, jika rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan.
Hasilnya, berkat tokoh-tokoh tersebut, lahirlah zaman baru Indonesia, zaman pergerakan nasional. Karena lahir golongan terpelajar dan terdidik. Muncul organisasi-organisasi modern seperti Budi Utomo dan Sarikat Islam. Hebatnya lagi, para intelektual bumiputra tersebut tidak memandang suku, ras, agama dan perbedaan. Mereka lebih merasa bersama sebagai kaum bumiputra yang tertindas.
Yang perlu dicatat, perjuangan di masa Pergerakan Nasional dilakukan melalui pembentukan organisasi-organisasi yang diinisiasi oleh tokoh-tokoh seperti Wahidin Sudirohusodo, Sutomo, Gunawan, Cipto Mangunkusumo, R.T. Ario Tirtokusumo, Samanhudi, atau Ki Hajar Dewantara.
Mereka membentuk organisasi yang dibentuk tidak hanya terbatas bergerak dalam bidang politik tapi juga pendidikan dan sosial hingga menumbuhkan banyak sekolah dan lembaga pendidikan di Hindia Belanda di abad ke-20.