Rusia dan Ukrania perang. Apa bedanya dengan Indonesia yang rakyatnya hingga kini juga terpecah dan masih sengit dalam perang? Bedanya, Rusia dan Ukrania kini perang dengan senjata betulan, sehingga menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
Sementara di Indonesia, perangnya belum sampai menggunakan senjata. Tapi, baru sebatas perang kata-kata. Meski begitu, sudah ada korban. Korbannya pun mudah diidientifikasi dari kelompok yang mana, dan sangat mudah masuk bui, masuk jeruji besi.
Bila Rusia menyerang Ukrania dengan senjata baru 24 Februari 2022. Maka, sejak 2018, rakyat Indonesia sudah berperang kata-kata di kepemimpinan Presiden Indonesia yang sekarang masih menjabat.
Tentu, baik perang senjata Rusia-Ukrania dan perang kata-kata sesama rakyat Indonesia, bukanlah hal yang terjadi begitu saja. Ada sebabnya, ada pemicunya, ada provokatornya, ada pihak lain yang mengambil keuntungan dari akibat perang senjata mau pun perang kata-kata.
Coba kita pahami lebih dalam tentang perang agar tak gagal paham. Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna perang di antaranya adalah permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya). Juga bermakna pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih (tentara, laskar, pemberontak, dan sebagainya). Arti lainnya adalah perkelahian, konflik, serta cara mengungkapkan permusuhan dalam hal ideologi.
Sesuai makna tersebut, maka jelas bahwa Rusia dan Ukrania sedang perang dengan menggunakan senjata. Alasan atau sebab perang di antara yang sudah diungkap oleh beberapa pihak karena Ukrania didekati atau akan masuk NATO, yang jelas-jelas seteru abadi Rusia. Dunia juga tahu siapa Ukrania dan kepentingannya bagi Rusia, ditilik dari sejarahnya.
Bagaimana perang kata-kata di Indonesia yang kini terus membara dan entah kapan akan ada gencatan kata-kata? Yang pasti, perang kata-kata di Indonesia, tercatat sejak mencuatnya istilah Cebong, Kampret, hingga Kadrun.
Perang Rusia-Ukrania ego, di Indonesia?
Sejak perang senjata Rusia-Ukrania meletus, ternyata baru Selasa (8/3/2022) Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memberikan komentar melalui Twitter. Dalam komentarnya (cuitannya) Jokowi menyayangkan kegagalan Rusia dan Ukraina mengakhiri peperangan. Padahal, kedua negara telah tiga kali berunding sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari lalu.
Menurut Jokowi, gagalnya kesepakatan gencatan senjata di Ukraina bukan hanya mendorong eskalasi konflik bersenjata tetapi semakin bertambahnya korban jiwa dan krisis kemanusiaan di Ukraina.
Jokowi juga menyebut bahwa perang Rusia-Ukrania adalah persoalan ego, dan tindakan melupakan sisi kemanusiaan. Ia juga menilai peperangan "hanya menonjolkan kepentingan dan kekuasaan."
Bila Jokowi menyatakan perang senjata Rusia vs Ukrania adalah persoalan ego, hanya menonjolkan kepentingan dan kekuasaan, lalu apa bedanya perang kata-kata di Indonesia yang terus dilakukan oleh dua kubu? Malah, di kubu penguasa ditambah ada pasukan buzzer segala.
Bila perang senjata Rusia-Ukrania, korbannya adalah rakyat, perang kata-kata di Indonesia siapa korbannya? Rakyat juga, kan? Tapi rakyat mana yang lebih menjadi korban? Rakyat mana yang terus mendapat pembelaan?
Apalagi, bila perang kata-kata sudah membawa-bawa istilah Cebong, Kampret, dan Kadrun. Membaca cuitan yang saling lempar dan berbalas antara kedua kubu, bahasanya sudah lebih dari perang senjata Rusia-Ukrania. Lebih bikin darah mendidih, karena kata-katanya sudah sangat kasar dan saling menantang.
Istilah dibiarkan terus beredar
Bila Rusia-Ukrania sudah sampai melakukan 3 kali perundingan untuk mengakhiri perang senjata. Tetapi di Indonesia, perang kata-kata yang selalu membawa embel-embel cebong dan kampret/kadrun, malah baru sekadar imbauan yang tak mempan dalam praktiknya di lapangan.
Saya mencatat, upaya untuk mengakhiri ketegangan di masyarakat akibat Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019 sudah pernah dilakukan. Di antaranya saat Jokowi dan Prabowo Subianto, melakukan pertemuan pada Sabtu (13/7/2019) untuk mengakhiri ketegangan tersebut dalam konferensi pers di Stasiun MRT Senayan, Jakarta.
Jokowi dan Prabowo meminta pendukungnya untuk mengakhiri rivalitas itu. Bahkan, secara khusus Jokowi dan Prabowo berharap tidak ada lagi istilah "cebong" dan "kampret" yang selama tahun politik 2018 dan 2019 begitu bergema di masyarakat.
Selain pernyataan yang disampaikan saat Jokowi bertemu Prabowo, berbagai seruan untuk mengakhiri sebutan cebong dan kampret juga pernah disuarakan beberapa tokoh termasuk oleh DPR. Tetapi apa kenyataannya. Ternyata seruan, hanya sekadar seruan.
Malah, perseteruan Cebong dan Kampret justru terus berkobar. Lalu, nambah ada istilah Kadrun. Munculnya istilah Kadrun, langsung menenggelamkan istilah Kampret. Dan, kini Cebong terus perang kata-kata dengan Kadrun (yang di dalamnya ada kelompok Kampret).
Berdasarkan catatan yang tertulis di berbagai media massa, istilah Kadrun adalah akronim dari kicauan pada 22 Februari dan 12 Maret 2019, yang menyebut kadal gurun. Kemudian, penyebutan kadal gurun kembali berulang dan dikaitkan dengan paham radikal pada 15 Mei 2019.
Praktis, tercatat sejak 13 September 2019, tren percakapan Kadrun (kombinasi "kadrun" OR "kadal gurun") naik pesat. Penggunaannya makin masif sejak saat itu, mengalahkan tren volume penyebutan Kampret.
Bagi rakyat Indonesia yang aktif mengikuti pemberitaan media massa dan televisi serta cuitan di Twitter, maka akan sangat kental dan hafal serta mengenal siapa tokoh pencuit yang gagah berani terus menyerang dan memancing perang dengan kelompok Kadrun (Kampret) karena ada di pihak penguasa, dan mungkin makan dari hasil mencuit alias bekerja sebagai buzzer.
Perang Rusia-Ukrania, kata Jokowi adalah karena persoalan ego, hanya menonjolkan kepentingan dan kekuasaan. Kira-kira, perang kata-kata di Indonesia yang aktornya sangat mudah diidentifikasi, tapi tak pernah ada yang ditangkapi dan terus menabuh genderang permusuhan, perseteruan di setiap detik dan waktu, kapan akan diperintahkan dihentikan?
Jelas, perang senjata Rusia-Ukrania, latar belakangnya juga sama dengan perang kata-kata di Indonesia, seperti apa yang diungkap oleh Jokowi. Perang terus terjadi karena persoalan ego, hanya menonjolkan kepentingan dan kekuasaan. Apa saja dipersoalkan, digoreng, diapungkan jadi masalah demi memancing, memanasi, menantang, mencipta konflik, demi target tertentu, berdasarkan kepentingan dan keuntungan yang dituju. Tak peduli menyinggung SARA.
Selalu merasa yang paling benar. Nyinyir, nyolot, ngegas jadi tradisi dan budaya. Benar-benar tak cerminkan kecerdasan intelegensi dan personaliti, karena menghalalkan segala cara.
Rakyat terus jadi korban dan menanggung penderitaan berkepanjangan.
Kapan, penggunaan istilah Cebong dan Kadrun (Kampret) benar-benar disetop, dihentikan Pak Presiden. Setop ego, kepentingan, dan aji mumpung kekuasaan, apa bisa? Apa perang Cebong vs Kadrun (Kampret) akan dibiarkan terus berlangsung hingga 2024 dan terus berlanjut setelahnya, karena ego, kepentingan, dan kekuasaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H