Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Si Cemerlang

12 Februari 2022   20:59 Diperbarui: 13 Februari 2022   13:56 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi  Supartono JW


Jadilah cemerlang yang kreatif-imajinatif-inovatif, mencipta-berkarya, tahu malu-tahu diri-tahu membalas budi, menerangi-menyinari karena cerdas intelegensi-personaliti. Bukan pecundang-pemakai ide orang, mengekor, tumpul  hati dan pikiran, hidup pulas di zona nyaman, gayanya segudang. (Supartono JW.12022022)

Makna gaya di antaranya adalah kesanggupan untuk berbuat dan sebagainya atau kekuatan. Tapi, mengapa kini banyak orang yang gaya, sok gaya, kebanyakan gaya dan sejenisnya? Sampai ada juga malah mati gaya. Padahal faktanya, gaya yang ditampilkan, hanyalah meniru, menjiplak, plagiat, copy paste,  mengekor dari gaya orang lain, pihak lain. 

Mengapa lahir sindiran terhadap orang yang gaya, sok gaya, kebanyakan gaya dan sejenisnya? Sampai ada juga yang malah sampai mati gaya.

Mirisnya lagi, orang yang gaya, sok gaya, kebanyakan gaya dan sejenisnya, biasanya hanya kelompok pemakai ide orang, pemakai karya orang, sehingga mau segaya apa pun, orang lain yang mengenal dan dekat dengan orang-orang itu, sudah tahu rahasia dapurnya.

Karenanya, budaya jadi bangsa pemakai produk/karya bangsa asing atau orang lain, sepertinya menjadi label yang sulit ditanggalkan bagi warga +62, mulai dari rakyat jelata hingga rakyat yang sok tak jelata.

Ini adalah buah dari terpuruknya pendidikan di Indonesia selama ini. Buah dari kegagalan pendidikan karakter bangsa. Miskinnya keteladanan para pemimpin negeri yang justru gemar mencipta rakyat resah demi kepentingannya sendiri, dinastinya, oligarkinya.

Jadilah cemerlang

Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah nasib rakyat Indonesia yang terus mementingkan gaya, sok gaya, kebanyakan gaya dan sejenisnya? Padahal tong kosong nyaring bunyinya. 

Tradisinya mengekor, meniru, tak kreatif, tak imajinatif. Sudah begitu, saat ikut-ikutan gaya orang lain, seolah yang dilakukan adalah gayanya sendiri. Hasil karyanya. Hasil jerih payahnya. 

Lihatlah. Sekarang ada berapa partai politik di Indonesia. Perkembangannya seperti beranak pinak. Lepas dari partai ini dan itu, karena mampu berdiri sendiri, maka sok bikin partai baru. Padahal keilmuan, pengalaman, dan kompetensinya tak cukup untuk sok berdiri sendiri. 

Di luar partai politik, di berbagai bidang, orang-orang pun melepaskan diri dari kelompok/grupnya, tempat kerjanya dll, demi membikin kelompok/grup sendiri/tempat kerja sendiri. Karena niatnya sok gaya, kompetensi juga tak cukup, tentu alam akan mudah menyeleksi.

Uniknya, hampir semua orang-orang yang sok gaya ini, rata-rata lupa kacang akan kulitnya, tak pandai berterima kasih, tak tahu diri, tak tahu membalas budi. Sebab memang kecerdasan intelegensi dan personalitinya belum lulus, karena memang berpendidikan rendah atau ada yang sudah mengantongi ijazah pendidikan tinggi tapi memang pribadinya terpuruk.

Lihatlah media sosial (medsos), khususnya Twitter. Setiap saat orang-orang bercuit. Saya perhatikan beberapa, orangnya itu-itu saja. Cuitannya nyinyir, memperkeruh suasana, nantangin.  Pokoknya nyampahin hati. Tapi, terus dibiarkan beredar karena mungkin mereka dibayar. 

Semakin diperhatikan, rasanya geli membaca setiap cuitan yang gayanya sudah basi. Lebih miris, dari setiap cuitannya, jadi terukur kecerdasan intelegensi dan personalitinya. Kalau cuitannya skenario dari yang bayar, maka saya bilang, cuma segitu kompetensinya? Apalagi bila cuitannya asli karya si pencuit, kadang yang ada justru timbul rasa kasihan. Kok bisa ada orang seperti itu, mencuit dan mencuit, seolah hidup mereka hanya antara kelompok mereka dan lawan politiknya atau lawan dll. Ingat, banyak rakyat yang tak masuk di dua kelompok itu. Jadi, harusnya malu mengumbar cuitan yang membunuh karakter diri sendiri. Hidupnya malah menyerahkan diri jadi Si pecundang. 

Siapa pun bila dasarnya cerdas intelegensi dan personaliti, setiap langkah hidupnya akan tenang dan nyaman. Bahkan dia bisa jadi Si Cemerlang untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Cemerlang itu, bercahaya atau bersinar sangat terang, berkilauan, cerdas otak, indah, elok, bagus (baik).

Orang-orang yang cemerlang, tradisinya adalah kaya ide, kreatif-imajinatif, inovatif. Menginspirasi, mencipta karya. Hatinya ikhlas dan tulus. Makanya, tahu diri, tahu malu, tahu membalas budi, dan rendah hati. Tidak gaya, sok gaya, kebanyakan gaya dan sejenisnya? Tidak mengekor, menjiplak, meniru, dan cuma. jadi pemakai karya dan produk orang lain.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun