Jadilah cemerlang yang kreatif-imajinatif-inovatif, mencipta-berkarya, tahu malu-tahu diri-tahu membalas budi, menerangi-menyinari karena cerdas intelegensi-personaliti. Bukan pecundang-pemakai ide orang, mengekor, tumpul  hati dan pikiran, hidup pulas di zona nyaman, gayanya segudang. (Supartono JW.12022022)
Makna gaya di antaranya adalah kesanggupan untuk berbuat dan sebagainya atau kekuatan. Tapi, mengapa kini banyak orang yang gaya, sok gaya, kebanyakan gaya dan sejenisnya? Sampai ada juga malah mati gaya. Padahal faktanya, gaya yang ditampilkan, hanyalah meniru, menjiplak, plagiat, copy paste, mengekor dari gaya orang lain, pihak lain.Â
Mengapa lahir sindiran terhadap orang yang gaya, sok gaya, kebanyakan gaya dan sejenisnya? Sampai ada juga yang malah sampai mati gaya.
Mirisnya lagi, orang yang gaya, sok gaya, kebanyakan gaya dan sejenisnya, biasanya hanya kelompok pemakai ide orang, pemakai karya orang, sehingga mau segaya apa pun, orang lain yang mengenal dan dekat dengan orang-orang itu, sudah tahu rahasia dapurnya.
Karenanya, budaya jadi bangsa pemakai produk/karya bangsa asing atau orang lain, sepertinya menjadi label yang sulit ditanggalkan bagi warga +62, mulai dari rakyat jelata hingga rakyat yang sok tak jelata.
Ini adalah buah dari terpuruknya pendidikan di Indonesia selama ini. Buah dari kegagalan pendidikan karakter bangsa. Miskinnya keteladanan para pemimpin negeri yang justru gemar mencipta rakyat resah demi kepentingannya sendiri, dinastinya, oligarkinya.
Jadilah cemerlang
Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah nasib rakyat Indonesia yang terus mementingkan gaya, sok gaya, kebanyakan gaya dan sejenisnya? Padahal tong kosong nyaring bunyinya.Â
Tradisinya mengekor, meniru, tak kreatif, tak imajinatif. Sudah begitu, saat ikut-ikutan gaya orang lain, seolah yang dilakukan adalah gayanya sendiri. Hasil karyanya. Hasil jerih payahnya.Â
Lihatlah. Sekarang ada berapa partai politik di Indonesia. Perkembangannya seperti beranak pinak. Lepas dari partai ini dan itu, karena mampu berdiri sendiri, maka sok bikin partai baru. Padahal keilmuan, pengalaman, dan kompetensinya tak cukup untuk sok berdiri sendiri.Â
Di luar partai politik, di berbagai bidang, orang-orang pun melepaskan diri dari kelompok/grupnya, tempat kerjanya dll, demi membikin kelompok/grup sendiri/tempat kerja sendiri. Karena niatnya sok gaya, kompetensi juga tak cukup, tentu alam akan mudah menyeleksi.