Sebaliknya, rakyat yang tidak setuju Ibu Kota RI dipindah, dari berbagai lapisan, ternyata bisa disimpulkan alasannya seirama. Antara lain, waktunya tidak tepat di saat rakyat terpuruk dan sedang pandemi corona. Presiden ternyata berubah sikap, IKN baru pakai dana APBN. Berikutnya, kekawatiran tentang alam Kalimantan yang akan rusak. Potensi dampak destruktif terhadap keamanan lingkungan, bahkan dikhawatirkan konflik horizontal. Dan, yang paling nyaring adalah, sebenarnya IKN baru itu melayani dan mengikuti keinginan siapa?
Benarkah bila 270 juta sekian rakyat Indonesia dimintai tanggapan via voting misalnya. Kira-kira apakah yang menang jumlahnya, pihak rakyat yang setuju atau yang tidak setuju?
Selain itu, rakyat juga tahu. Rakyat tak merasa dilibatkan. Pembahasan  Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) di DPR pun.dibahas dan diputuskan secara kilat. Siapa yang pesan?
Banyak pihak yang menyebut DPR menunjukkan cara ugal-ugalan membahas UU IKN. Ini tanpa disadari atau memang disengaja, semakin membuka kedok bahwa anggota dewan, lewat koalisi partai politik di parlemen hanya menjadi kepanjangan tangan dari ambisi politik pemerintah yang sudah disetir pihak pemodal.
Banyak pihak pun menilai pemerintah saat ini tak ubahnya pemerintahan Orde Baru yang kerap melegitimasi Pancasila demi kepentingan oligarki.
Melalui Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, katanya, pemerintah kerap melakukan tafsir sepihak terhadap Pancasila yang justru menunjukkan ketidakkonsistenan mereka dan kerap mengingkarinya.
Sepertinya, UU IKN adalah ambisi politik pemerintah yang oportunis. Ambisi mencipta sejarah. Sebelumnya sudah ada ambisi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yang ceritanya kini juga sudah membuka mata rakyat. Itu ambisi dan kepentingan siapa, tapi APBN juga diembat. Lihat pula ambisi untuk 2024! Luar biasa.
Ambisi yang positif, benar dan baik, niscaya akan dimudahkan segala urusannya.Berambisilah untuk hal yang amanah. Berambisilah di jalan yang benar dan halal. Berambisilah untuk kemaslahatan rakyat. Bukan ambisi untuk kepentingan diri, kelompok, golongan, partai, oligarki, Â dinasti, dan pemodal/cukong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H